Natal sudah di depan mata. Tinggal tiga hari. Arus mudik mulai ramai. Kemarin, 21 Desember 2022 penumpang tiba dan berangkat di bandara Sam Ratulangi Manado mencapai 5.158 orang. Rekor tertinggi selama pandemi. Penumpang kapal laut juga membludak. Tradisi mudik saat Natal, seperti halnya hari raya agama lainnya tak dapat dihindari.
Seorang teman pernah berseloroh. Alangkah tak adilnya kita, ketika kita susah atau sakit saudara kita adalah orang-orang sekitar kita. Yang membantu kita. Tapi begitu Natal, saudara kita adalah yang di kampung halaman. Yang di sekitar kita itu cuma tetangga.
Merayakan Natal itu rasanya memang paling afdal jika berkumpul bersama keluarga. Sebagai perantau saya tahu betul bagaimana rasanya rindu pada suasana itu. Maka, harus pandai-pandai menabung supaya bisa pulang kampung untuk kumpul keluarga. Tahu sendiri harga tiket gila-gilaan di masa libur begini. Sudah resikonya perantau. Syukur kalo bisa pulang kampung setiap tahun, lengkap dengan seluruh anggota keluarga. Kalau dana tak mencukupi terpaksa harus menahan diri. Ada pula yang terpaksa pergi sendiri karena tak mampu menahan rindu. Saya pernah mengalami pulang kampung lengkap dengan anggota keluarga, pulang sendiri dan bahkan mengirim anak menggantikan kehadiran saya. Tak mudah, tapi itu pilihan yang baik supaya bisa mengunjungi orang tua dan sanak saudara.
Ya.... apalagi yang mengesankan dari Natal kalau bukan kesempatan untuk mengunjungi? Saya ingat betul kebiasaan waktu kecil. Di malam Natal yang oleh orang Ambon disebut "Malam Kajadiang" selesai doa bersama di rumah (tepat pukul 12.00) kami akan mengunjungi saudara-saudara Papa yang lebih tua. Sementara Papa akan dikunjungi oleh adik-adiknya. Itu aturannya. Yang muda wajib mengunjungi yang tua. Maka jadilah kampung kecil yang biasanya sunyi itu berubah ramai karena acara kunjungan di malam Natal.
Natal dan perkunjungan tak dapat dipisahkan. Karena kisah Natal memang adalah kisah perkunjungan. Siapa yang mengunjungi? Allah! Siapa yang dikunjungi? Manusia! Allah mengunjungi manusia. Allah yang Mahakudus mengunjungi manusia yang berdosa.Â
Andar Ismail dalam bukunya, Selamat Berguna, menyebut cerita Natal adalah cerita Allah menyowani manusia. Ini keliru, tulisnya. Sowan itu yang junior respek kepada senior. Yang rendah menghadap kepada yang tinggi. Manusia yang harusnya sowan kepada Allah, bukan Allah yang sowan kepada manusia. Itulah kabar baik Natal. Allah mau datang mengunjungi manusia yang berdosa. Mengapa Allah yang Mahatinggi itu mau sowan kepada manusia yang rendah? Penulis Injil Yohanes menulis, karena kasihNya bagi dunia (Yohanes 3:16).
"Kekeliruan" yang jadi berita baik Natal itu juga yang dilakukan Yesus selama hidupNya di dunia. Ia mengunjungi manusia yang (dianggap) rendah. Ia mengunjungi para perempuan, seperti dalam kisah perkunjunganNya ke rumah Maria dan Marta. Ia mengunjungi orang yang sakit dan lemah lesu. Orang yang buta, tuli, pendarahan, dan berbagai penyakit lain, juga orang yang berduka karena kematian anggota keluarga. Ia mengunjungi orang asing dan dicap kafir, seperti dalam kisah percakapan dengan Perempuan Samaria.Â
Ia mengunjungi orang tak bermoral, misalnya Lazarus si pemungut cukai itu. Ia mengunjungi orang yang dikucilkan, seperti penderita kusta yang mesti menjauhi orang lain supaya tidak mencemarkan mereka. Yesus mengunjungi mereka yang sering dianggap tak layak, kecil dan rendah itu karena Ia mengasihi dan menerima mereka. KunjunganNya kepada mereka yang rendah, kecil dan lemah itu memulihkan mereka. Mengangkat kembali kemanusiaan mereka.
Maka, kalau kita punya kesempatan pulang, pulanglah. Kunjungilah orangtua dan sanak saudara. Bagaimana jika tidak? Mungkin lain waktu ada kesempatan untuk itu. Namun apakah kita pulang atau tidak, merayakan Natal adalah merayakan perkunjungan Allah bagi kita. Ia mengasihi kita, Ia menghormati kemanusiaan kita. Di sisi lain, merayakan Natal adalah merayakan kesempatan kita untuk mengunjungi Allah melalui sesama. Siapa yang akan kita kunjungi?
Kembali ke masa kanak-kanak. Setelah kunjungan kepada yang lebih tua di malan Natal, selepas ibadah Natal tanggal 25 Desember adalah kesempatan kami berkeliling. Dari rumah ke rumah. Sasaran utama adalah rumah para petinggi. Rumah Pendeta, rumah Raja (kepala desa), rumah Guru. Mungkin karena sopan santun tadi. Yang muda mengunjungi yang tua, yang rendah mengunjungi yang tinggi. Tapi mungkin juga karena di situ ada kue dan minuman Natal. Bukankah itu yang dicari anak-anak? Dulu belum ada "donat" alias doi Natal. Angpao
Sudahlah... cerita masa kanak-kanak bikin tambah rindu. Padahal saya tak bisa pulang kampung di Natal tahun ini. Tapi semangat berkunjung mesti tetap dijaga.Â