Mohon tunggu...
Louis Pariama
Louis Pariama Mohon Tunggu... Lainnya - Pendeta

suka baca dan jalan-jalan, menaruh perhatian pada persoalan-persoalan sosial, isu perempuan dan anak serta masyarakat dan budaya lokal

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu, Guru dan Sahabat Putraku

20 Desember 2022   08:48 Diperbarui: 20 Desember 2022   13:26 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu saat berlibur bersama Niel

Ibu sedang menggunting rambut Niel
Ibu sedang menggunting rambut Niel
Niel menemani Ibu bernyanyi di Gereja bersama kelompok Lansia
Niel menemani Ibu bernyanyi di Gereja bersama kelompok Lansia
Ibu melatih Niel bermain pianika
Ibu melatih Niel bermain pianika

Dari balik pagar aku melambaikan tangan kepada anakku, Niel. Dadah Mama!" seru Niel sambil membalas lambaianku. Tangan kirinya menggenggam erat leher Ibu yang sedang menggendongnya. Seperti biasa, Niel yang masih berusia 2 tahun itu akan menjalani siang harinya bersama Ibu selama aku bekerja.

Ibu seorang pensiunan Guru SMP. Ia punya 7 orang anak. Selain ketujuh anaknya ada beberapa anak lain yang diasuh Ibu sejak mereka remaja. Anak kerabat yang datang dari desa untuk bersekolah di kota kecil tempatnya tinggal. Semua anak Ibu telah berkeluarga dan tinggal berpencar di berbagai dearah. Sudah lama Ibu menjanda. Sejak anaknya yang bungsu masih berumur 10 tahun. Pernah kutanya kepada Ibu kenapa tidak menikah lagi. Sambil tersenyum, Ibu berkata, "adakah yang mau menikah dengan janda beranak tujuh?"

Tak mudah menjalani tugas sebagai orangtua tunggal apalagi dengan 7 orang anak. Ibu harus menyekolahkan ketujuh anaknya. Karena gaji guru tak seberapa, Ibu menitipkan jualan di kantin sekolah. Ia pandai membuat mie, pisang molen dan jalangkote. Setiap malam, setelah segala persiapan sebagai guru dibereskan, ia mengerjakan jualannya. Seringkali ia tertidur sejenak di kursi tempatnya duduk lalu kemudian terbangun dan melanjutkan pekerjaannya.

Sejak aku menikah dengan putranya yang keenam, Ibu tinggal bersama kami. Ibu selalu ikut ke mana kami pergi, karena pekerjaan suamiku mengharuskan kami pindah secara periodik. Seingatku, kami telah tinggal di lima tempat yang berbeda. Di kota maupun di desa.

Kehadiran Ibu di tengah hidup dan keluargaku adalah anugerah bagiku. Jika banyak orang punya masalah dengan mertua, aku sebaliknya. Ibu sangat bersahabat. Ia menyambutku dengan tangan terbuka, mengajari dan membantuku banyak hal. Ia paham betul kalau aku tak bisa dan tak suka memasak. Ia tak pernah mempersoalkannya atau bahkan sekedar menyuruhku belajar memasak. Ia mengambil alih pekerjaan itu. Masakan Ibu sangat enak. Mungkin karena ia menumbuhkan bumbu cinta di dalamnya

Ibu mengajariku memanfaatkan potensi yang ada dan sebisa mungkin mengurangi pengeluaran. Ia belajar menjahit agar tak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli apa yang sebenarnya bisa ia jahit. Ia menjahit seprei, taplak meja, bahkan baju untuk putraku. Ibu juga belajar menggunting rambut sehingga kami tak perlu mengeluarkan uang untuk sekedar gunting rambut. Ibulah tukang gunting rambut favorit putraku. Ia akan duduk dengan tenang jika ibu yang menggunting rambutnya. Ibu juga suka berkebun. Sejak pensiun, hobi berkebun terus dilakoni Ibu. Ia bertangan dingin. Apa saja yang ditanamnya akan tumbuh subur. Halaman rumah yang tak seberapa luas pun akan disulap Ibu menjadi kebun sayur. Berbagai jenis sayuran ditanamnya. Ibu membuat kami bisa menikmati sayuran organik dari halaman sendiri dan mengirit pengeluaran, di mana pun kami berada. Saat bertugas di kota maupun di desa. Dari Ibu aku belajar memanfaatkan lahan untuk berkebun dan berbagai potensi lain dan merasakan manfaatnya. Aku berhasil belajar menggunting rambut (khusus laki-laki) tetapi gagal dalam menjahit.

Bagian terpenting dari kehadiran Ibu adalah perannya dalam mengasuh Niel. Kami punya pola asuh yang sama. Anak sulungku itu begitu dekat dengan Ibu. Tak ada yang perlu kurisaukan jika ada Ibu di rumah bersama Niel. Berbagai hal mereka lakukan bersama. Jika banyak orang dewasa menjauhkan anak-anak dari aktivitas mereka, lain halnya dengan Ibu. Ia memperkenalkan Niel pada banyak hal. Ia melibatkan Niel dalam setiap aktivitasnya. Kala Ibu asik membaca, ia akan memberikan sebuah buku kepada Niel dan membiarkannya membolak-balik lembaran buku itu walau posisinya terbalik

Bersama Ibu, Niel belajar sambil bermain. Seringkali sepulang kerja aku menemukan Niel sedang asik bermain di kebun. Memetik tomat, mengejar kupu-kupu, mengumpulkan dedaunan yang gugur. Jika aku berteriak panik agar ia tidak berlari-lari di kebun, Ibu hanya tertawa melihatnya. Bagaimana jika ia jatuh? Tak mengapa. Tokh hanya kotor sedikit, paling-paling ada lecet kecil. Dibiarkannya Niel menjelajahi isi kebun itu dan bertanya apa ini, apa itu?".  Ibu akan menjawab semua pertanyaannya dengan lembut. Ibu memang seorang guru.

Keahlian memasak dan membuat kue juga diwariskannya kepada Niel. Seringkali sepulang kerja aku disambut Niel dengan tangan dan muka bermandikan tepung. Jika sudah melihat Niel seperti itu, aku tahu ada kue atau mie lezat buatan Ibu di atas meja makan. Ya, Ibu mengajari putraku melakukan apa yang seringkali dianggap pekerjaan perempuan. Ibu telah mematahkan stereotipe gender bahwa dapur adalah urusan perempuan. Ibu melapangkan jalanku untuk mengajari anakku sadar gender sejak dini. Setelah usianya sedikit lebih besar, Ibu membiarkan Niel mencuci peralatan makannya, walau hasilnya jauh dari sempurna.

Hari-hari Ibu tidak hanya dihabiskannya di rumah bersama Niel. Ibu punya bakat menyanyi dan bermain musik. Ia adalah guru kesenian. Sejak muda Ia sudah menjadi pelatih paduan suara bahkan grup Qasidah di kota kecil tempatnya bertugas. Setelah pensiun, Ibu terlibat aktif dalam kegiatan gereja. Ia dengan senang hati melatih paduan suara di jemaat tempat suamiku melayani. Ia pun aktif dalam kelompok pelayanan lanjut usia (lansia). Di mana Niel ketika Ibu menjalani aktivitas itu? Ia selalu setia menemani Ibu. Ia akan menggandeng tangan Ibu menuju tempat ibadah, duduk manis di sampingnya selama ibadah berlangsung. Ia menjadi anggota persekutuan lansia" yang paling muda  Niel pun dengan sabar menemani Ibu latihan menyanyi bersama teman-teman lansianya. Jika kelompok lansia itu bernyanyi di gereja, Niel akan berdiri di samping Ibu sambil memegang erat tangan Ibu.

Bakat seni pun Ibu turunkan kepada Niel. Sejak bayi Niel terbiasa dininabobokan oleh Ibu, khususnya di siang hari saat aku belum pulang kerja. Walau suaranya mulai parau karena usia, Ibu tetap bernyanyi untuk Niel. Seringkali aku mendapati Niel kecil sedang asik berjoget diiringi nyanyian dan permainan musik Ibu. Di lain waktu mereka akan duduk berdua di bawah pohon kersen di samping rumah, di mana Ibu mengajarinya bermain pianika.

Hubungan Ibu dan Niel tidak sebatas Oma dan Cucu. Mereka bersahabat. Niel selalu menceritakan pengalamannya ketika tidak bersama Ibu dan Ibu dengan serius mendengarnya. Begitupun sebaliknya. Apakah semua keinginan Niel dipenuhi Ibu? Tentu tidak! Apakah Niel tidak bisa berpisah dari Ibu? Jawabannya pun tidak! Setiap tahun Ibu pasti pulang ke Manado selama beberapa minggu untuk mengunjungi keluarganya. Dengan senang hati Niel akan mengantar Ibu ke terminal Bus dan dengan girang menjemputnya saat pulang. Sesekali ia akan meminta untuk menelpon Ibu. Mungkin mereka belajar menciptakan rindu Saat Niel berusia 4 tahun dengan girang ia menjalani hampir dua bulan liburan yang menyenangkan bersama Ibu yang kala itu berusi 73 tahun. Mereka mengunjungi beberapa kota. Hanya mereka berdua!

Akh, masih banyak kisah yang ingin kututurkan tentang Ibu. Tapi aku harus menahan niatku, karena semakin aku bercerita tentangnya semakin besar rinduku padanya. Ibu seorang perempuan hebat, bagiku. Ia telah mengajariku banyak hal. Ia telah melakukan banyak hal untukku. Ia menginspirasi hidupku. Ingin rasanya memberi hadiah buat hari ibu untuknya. Tapi Ibu telah meninggal 6 tahun yang lalu ketika Niel masih berusia 7 tahun. Saat itu aku melihat Niel menangis sedih. Kemudian ia memutuskan untuk menempati kamar Ibu. Kini, setiap kali mengajak Niel menyiangi kebun di halaman, terlintas wajah Ibu. Setiap kali Niel membantu mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, mencuci, atau membuat kue ala kadarnya, aku teringat pada Ibu. Setiap kali mendengar Niel bernyanyi atau memainkan musik, aku mengenang Ibu. Setiap kali saat Niel berkata "Aku rindu Oma", aku akan mengantarnya ke makam Ibu. Karena memandang foto saja seringkali tak cukup untuk mengobati rindu.

Ibu saat berlibur bersama Niel
Ibu saat berlibur bersama Niel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun