Kreatifitasnya kembali teruji saat mengikuti seleksi kepala sekolah penggerak, di akhir tahun 2021 lalu. Ia menuturkan, jadwal seleksi dari pusat diterimanya saat sedang menunggui Ibunya yang dirawat di salah satu RS di kota Ambon. Salah satu tahapan yang harus diikuti dalam seleksi itu adalah simulasi mengajar dan wawancara dengan asesor. Ia harus mempersiapkan diri, menyusun rencana pembelajarannya dalam keadaan yang “tidak baik-baik saja”. Ia sempat pasrah melihat tanggal simulasi dan wawancara. Pasalnya, ia tidak tahu kapan sang Ibu bisa pulang ke rumah. Tapi ia tidak mau menyerah. “Saya berpikir, jika ini yang Tuhan beri, Ia pasti buka jalan”, katanya sambil tersenyum. Keyakinannya terjawab. Sehari menjelang tahapan yang dilakukan secara online itu, sang Ibu diperbolehkan pulang ke rumah. Perjalanan dari kota Ambon ke kampungnya hampir setengah hari. Tidak hanya perjalanan darat. Mereka harus menyeberangi laut menggunakan kapal ferry yang menghubungkan kedua pulau. Tiba di rumah, hari sudah mulai gelap. Lelah. Tetapi ia harus menyediakan alat peraga untuk simulasi besok pagi. Tema pembelajaran yang ia siapkan adalah tentang binatang ayam. Karena keluarganya memelihara beberapa ekor ayam, ia pun memilih seekor ayam yang baik untuk dijadikan alat peraga. Sebelum merebahkan tubuhnya yang penat, ia mengurung ayam itu dalam timbil, kurungan ayam yang terbuat dari anyaman bambu.
Pagi harinya, ia bangun dengan penuh semangat. Setengah jam sebelum zoom meeting dimulai, ia telah siap. Tapi, betapa terkejutnya Iren. Ketika membuka timbil, ia tak menemukan ayamnya. Ia menjadi panik dan bertanya pada seisi rumah. Rupanya “alat peraga” itu telah dilepas oleh suaminya. Sang suami tidak mengetahui untuk apa ayam itu dikurung. Karena sudah pagi dan saatnya ayam-ayam mencari makan, maka ia pun melepas ayam itu dari kurungan. Pada menit-menit kritis Iren harus mengubah alat peraga. Sudah hampir pukul 8 pagi, ayam-ayam tak lagi ada di halaman rumahnya.
Tak mau frustrasi dengan ayam yang telah bebas itu, ia pun dengan sigap menyiapkan kalender bekas, menempelkan potongan-potongan kertas di atasnya menyerupai saku, dan menggambar telur ayam. Saat ia telah tersambung di zoom meeting, tiba-tiba seekor ayam berjalan ke arahnya. Rupanya sang suami berusaha menebus kekeliruannya. Menemukan kembali ayam yang telah lepas. Plong.
Sepuluh menit simulasi berjalan dengan baik. Iren berhasil menghipnosis para asesor dengan ayamnya. “Mereka hanya diam terpaku memandang saya setelah beberapa menit saya menyelesaikan simulasi saya. Hingga saya menyapa mereka dan mengatakan bahwa saya sudah selesai. Mereka tergagap menjawab saya“, ceritanya sambil tertawa. Iren pun lulus seleksi menjadi kepala sekolah penggerak dan PAUD yang dipimpinnya menjadi sekolah penggerak. “Begitulah kalau menjadi guru PAUD“, lanjutnya. Harus punya banyak ide dan kreatifitas. Tidak terpaku pada satu model pembelajaran. Tidak bergantung pada apa yang ada atau disediakan.
Ketangguhannya menghadapi berbagai tantangan dan mencari solusi juga nampak saat pandemi covid-19 melanda Indonesia sejak tahun 2020. Pandemi ini menyebabkan PAUD Pelangi Asih di Jakarta harus ditutup. Pembelajaran online dirasa tak efektif bagi PAUD. Anak maupun guru kesulitan menjalani proses pembelajaran ini. Tapi di sisi lain, kondisi ini memberi peluang besar bagi para guru untuk mengembangkan kompetensi mereka. Berbagai kegiatan dapat diikuti dengan biaya yang jauh lebih murah, karena dilakukan secara online. Memang, ada kendala.
Jaringan internet di daerah 3T seringkali mengalami kendala. Ikut-ikutan 3t juga: ter-lambat, terbatas, tersendat. Tapi mereka pantang menyerah. Iren cukup bahagia ketika mendapati guru-guru yang berjuang “mengejar“ sinyal demi mengikuti kegiatan. Ia sendiri punya pengalaman yang sama. Ketika mengikuti kegiatan secara online dan bertugas presentasi, jaringan internet tiba-tiba hilang karena cuaca buruk.
Ditambah lagi baterei HP sekarat karena listrik padam sejak semalam. Hal yang biasa terjadi di daerahnya. Di saat-saat kritis seperti itu Ia harus bergegas ke pantai atau bahkan ke desa sebelah, tempat jaringan internet lebih stabil. Untuk mengisi baterai HP, mesin mobil terus dihidupkan. Lega rasanya ketika kegiatan itu berakhir dengan baik.
Pengalaman-pengalaman seperti itu sudah menjadi hal yang biasa. “beginilah kondisinya”, ujarnya berusaha maklum. Ia melanjutkan, “kami berada di daerah 3T. Keadaannya jauh berbeda dengan di daerah non 3T. Kami tidak ingin ketinggalan. Maka kami harus mengikuti berbagai kegiatan dan meningkatkan kompetensi.“ (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H