Mohon tunggu...
Louisa Charlene Budi Setiawan
Louisa Charlene Budi Setiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya mahasiswi Universitas Airlangga dengan minat terhadap hewan, dimana ketertarikan ini mendorong saya untuk menempuh pendidikan sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Botulisme dan Kekurangan Dokter Hewan: Tantangan Kesehatan Fauna di Indonesia

30 Desember 2024   09:39 Diperbarui: 30 Desember 2024   09:39 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kesehatan fauna merupakan salah satu elemen penting dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian ekosistem Indonesia. Salah satu tantangan besar yang dihadapi adalah penyakit botulisme, yang dapat mengancam tidak hanya hewan peliharaan tetapi juga keberlangsungan peternakan. Diketahui sebagai penyakit langka tetapi fatal, minimnya jumlah dokter hewan menambah kompleksitas situasi ini. Saat ini, Indonesia hanya memiliki sekitar 13.500 dokter hewan aktif, jauh dari kebutuhan ideal sebanyak 50.000 dokter (PB PDHI). Kekurangan tenaga medis veteriner ini tidak hanya menghambat pengendalian botulisme, tetapi juga menantang upaya menjaga kesehatan fauna secara keseluruhan. Penyakit member pengaruh besar pada populasi ternak yang berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional. Mari bahas apa itu botulisme, peran strategis dokter hewan, serta langkah-langkah pencegahan untuk menjaga kesehatan fauna di Indonesia.

Mengenal Botulisme

Botulisme merupakan penyakit fatal neuroparalitik yang mengakibatkan kelumpuhan saraf tidak hanya terhadap manusia, tetapi juga terhadap hewan mamalia, serta ikan (Natalia, 2013). Penyakit ini diakibatkan oleh paparan terhadap botulinum, alias neurotoksin yang dihasilkan oleh bakteri anaerob gram-positif penghasil spora, Clostridium botulinum. Neurotoksin botulinum memblokir stimulasi serat motorik. Akibatnya, terjadi kelumpuhan saraf kranial yang menyebabkan lemahnya otot, dimana kemudian berujung mengakibatkan kelumpuhan otot pernapasan. Apabila otot pernapasan sudah terdampak oleh neurotoksin ini, maka kematian menjadi hal yang tidak dapat dihindari.

Bukan Penyakit Zoonotik

Neurotoksin ini menghasilkan toksin imunologis yang berbeda berdasarkan tipenya, di mana terdapat 8 tipe yang bervariasi dari A hingga G. Botulisme pada hewan sendiri biasanya diakibatkan oleh serotipe B, C, dan D (Coleman, 1998). Terdapat berbagai kasus botulisme terhadap hewan ternak tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit ini dapat menular kepada hewan domestik, misalnya anjing. Meskipun penyakit ini dapat menjangkit kesehatan hewan dan manusia, botulinum bukan termasuk penyakit zoonotik karena ada perbedaan pada jenis serotipe yang berdampak pada manusia dan hewan. Aktivitas Clostridium botulinum menjadi titik awal terjadinya dekomposisi bangkai hewan maupun sayuran, kondisi inilah yang akan mendorong spora bakteri ini untuk bergerminasi dan menghasilkan toksin.

Penyebaran Botulisme

Transmisi dari bakteri ini dapat terjadi akibat berbagai hal seperti:

1.  Feedborne botulism: Penularan melalui konsumsi makanan yang terkontaminasi maupun akibat pengawetan makanan yang tidak disimpan dengan baik.

2. Wound botulism: Penularan melalui infeksi luka.

3. Intestinal botulism: Penularan yang baru aktif ketika adanya interaksi spora Clostridium botulinum dengan sistem pencernaan.

4. Inhalation botulism: Ditularkan melalui toksin yang teraerosolkan (inhalation botulism) (Bossi et al., 2004). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun