Ketika langit berkerudung hitam kuseruput arabika seseorang
Kaupun mulai bermain-main dengan pena di tangan
Di setiap coretanmu selalu perihal kopi hujan dan kenangan
Agaknya itulah caramu melipat tilam mimpi yang basah kemaren malam
Jua sepat yang tertinggal di secangkir kopi yang tumpah hari itu
Kemudian aku melagu, senandung rindu yang terkoyak waktu
Tatapanku sendu, tetapi kau masih saja bergelut dengan cawan-cawan rasamu
Ah ...! Inikah nikmat dalam pahit atau tawar pada manis
Ketika kuusap separuh napas jaman, lebih dahulu aku berteriak pada langit
Wahai gumpalan-gumpalan hitam
Mandilah resah dan gelisah
Buang segala gundah
Jadikanlah rintikmu berkah seperti mantra para penyihir yang menghipnotis orang-orang
Terdengar hujan kian menderas
Pertanda melepas takdirnya
Aku tersenyum kecut memandangmu yang masih bergelut rindu di atas kopi hujan dan masa lalu
Hingga kopiku dingin dan hambar saat rekah wajahmu memancar
Ada tetesan darah menetes di atas bibirmu
Tersudut aku dalam renjana waktu
Kutertidur tanpa tahu hari, sudahkan berlalu meruang dan wewaktu
Atau justru diri ini yang tak tahu malu
Berbantal selembut salju kepada matahari yang enggan menyinari diri
Aku masih saja bertilam mimpi
Matesih, 12-12-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H