Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua adalah hak istimewa yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk mengelola urusan lokal sesuai inisiatif sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak mendasar masyarakat Papua. Pemberian hak istimewa tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa tata kelola pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua memenuhi prinsip keadilan, mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat, mendukung penegakan hukum, dan menunjukkan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Papua, terutama bagi masyarakat Asli Papua. Pemberian dana otonomi khusus bagi Provinsi Papua pada dasarnya ditujukan untuk mendukung percepatan implementasi otonomi khusus di Provinsi Papua. Hal ini bertujuan untuk mencapai berbagai tujuan, termasuk mewujudkan keadilan, menegakkan supremasi hukum, menghormati hak asasi manusia (HAM), mempercepat pembangunan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan, serta memajukan masyarakat Papua. Selain itu, pemberian dana ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan dan keseimbangan pembangunan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Pemberian status otonomi khusus kepada Papua didasarkan pada empat akar permasalahan serius. Pertama, proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia pada tahun 1964, masih diwarnai oleh keinginan sebagian elit lokal untuk memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri. Pasca tahun 1964, muncul gerakan-gerakan separatisme yang menuntut pemisahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, terdapat pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan oleh negara, menyebabkan konflik yang berkepanjangan karena trauma dan dendam yang terakumulasi. Ketiga, kegagalan pemerintah dalam membangun sektor pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat di wilayah tersebut. Keempat, adanya marginalisasi dan diskriminasi terhadap arus migrasi, seperti yang dijelaskan oleh Mustikawati & Maulana pada tahun 2020.
Otonomi Khusus diberlakukan di Provinsi Papua sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Kemudian, Provinsi Papua Barat juga mendapatkan pemberlakuan otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 yang mengubah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang.
Dalam pelaksanaan otonomi khusus untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, pemerintah mengalokasikan dana tambahan infrastruktur. Besaran dana ini ditentukan melalui kesepakatan antara Pemerintah dan DPR, dengan penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur. Dana otonomi khusus setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional, terutama difokuskan pada pembiayaan pendidikan dan kesehatan, masing-masing minimal 30% dan 15%.
Selain Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) juga mendapatkan alokasi dana otonomi khusus yang dimulai pada tahun 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana ini dialokasikan untuk 20 tahun dengan rincian 2% dari plafon DAU nasional untuk tahun pertama hingga tahun kelima belas, dan 1% untuk tahun keenam belas hingga tahun kedua puluh. Tujuan alokasi dana ini adalah untuk membantu daerah dalam membiayai pembangunan, pemberdayaan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, kesehatan, dan sosial.
Bagi Papua, Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) membawa harapan baru untuk mengatasi berbagai permasalahan yang telah berlangsung selama bertahun-tahun sejak kemerdekaan Indonesia. Namun, terdapat kendala dalam formulasi dan implementasi Otsus Papua. Salah satunya adalah adanya kebijakan nasional dalam bentuk Peraturan Perundang-undangan yang tidak sejalan dan tidak selaras dengan Undang-Undang Otsus. Bahkan, banyak lembaga pemerintahan yang tidak memiliki pengetahuan tentang Otonomi Khusus Papua, sehingga kebijakannya menjadi bertentangan. Tokoh politik berpendapat bahwa pemerintah pusat tidak melakukan sosialisasi terkait UU Otsus di tingkat Kementerian/Lembaga. Di tingkat daerah, banyak aparat penyelenggara pemerintahan yang kurang memahami filosofi dan substansi dari Undang-Undang Otsus Papua. Akibatnya, terjadi kemunculan birokrasi konvensional, dan perencanaan pembangunan dilaksanakan secara konvensional pula.
Meskipun kebijakan otonomi khusus telah diimplementasikan, banyak elit politik lokal sejak awal telah meragukan bahwa kebijakan ini akan membawa perubahan signifikan bagi masyarakat Papua. Skeptisisme masyarakat Papua terhadap kebijakan otonomi khusus dapat disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:
- Pertama, pemerintah pusat belum melakukan pendekatan dialog yang maksimal dalam menyelesaikan konflik di Papua.
- Kedua, regulasi penerapan otonomi khusus belum sepenuhnya mengakomodir hak-hak substansial masyarakat Papua.
- Ketiga, penyelesaian problematika pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Papua belum mencapai titik tuntas.
- Keempat, masyarakat lokal merasa tersisih karena adanya arus migrasi masuk ke Papua.
- Kelima, kesenjangan dan kemiskinan di wilayah tersebut belum diatasi secara maksimal. (Kharisma et al., 2020).
Beberapa akar masalah di balik kegagalan implementasi Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dan Papua Barat, serta kegagalan penyelesaian secara menyeluruh atas berbagai persoalan di Tanah Papua pada umumnya, dapat disebabkan oleh beberapa faktor kompleks.
Simon Patrice Morin menyatakan bahwa meskipun dana otonomi khusus (otsus) memiliki jumlah yang signifikan, hal ini tidak langsung meningkatkan kesejahteraan orang asli Papua ke tingkat yang memuaskan. Ia menyoroti beberapa kendala yang dihadapi, termasuk perencanaan yang belum tepat sasaran, pelaksanaan dengan manajemen pemerintahan daerah yang belum optimal, sistem pengawasan yang tidak transparan dan efektif terhadap penggunaan dana otsus dari pusat hingga ke daerah yang tidak optimal, serta kurangnya pemahaman aparat pemerintah daerah dan bahkan pemerintah nasional terhadap tujuan pembuatan undang-undang, sehingga kurangnya singkronisasi dalam penyusunan program untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Simon juga menekankan bahwa penilaian keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan otonomi khusus (otsus) sangat tergantung pada persepsi masing-masing individu. Menurutnya, apakah otsus dianggap berhasil atau gagal berkaitan erat dengan rasa dan persepsi setiap orang. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa sejak diberlakukannya otonomi khusus, telah terjadi banyak perubahan di Tanah Papua, terutama dalam pembangunan fisik infrastruktur pemerintahan. Hal ini memungkinkan daerah-daerah yang sebelumnya kurang dikenal dapat menjadi lebih dikenal oleh masyarakat.
Namun sejauh ini kebijakan otonomi khusus yang diberikan di Papua dan Papua  Barat masih jauh dari harapan. Kebijakan otonomi khusus ditambah dengan serangkaian  regulasi untuk menstimulasi diharapkan untuk dapat mewujudkan keadilan dan  kesejahteraan masyarakat yang merata berdasarkan karakteristik daerah, budaya,  agama, dan historis. Namun justru sebaliknya otonomi khusus belum mampu mengatasi permasalahan di Papua. Konsekuensi dari status otonomi khusus Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan kucuran dana fiskal dari pemerintah pusat setiap tahun. Data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) mulai dari tahun 2002 -- 2013 terjadi peningkatan Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) namun tidak diiringi dengan laju penurunan angka penduduk miskin (Imam & Hafiz, 2019). Semangat dari otonomi khusus sendiri justru diterapkan dengan tidak memperhatikan kondisi aktual di Papua. Digulirkannya otonomi khusus justru membuat masyarakat dihantui ketakutan, kekhawatiran, dan ketidakpastian. Terdapat ketakutan akan sumber daya alam yang dieksploitasi secara besar-besaran tanpa memperhatikan lingkungan dan tidak memberikan alasan aspek kemanfaatan bagi masyarakat setempat (Marit & Warami, 2018).
Hingga saat ini, kebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Papua dan Papua Barat masih jauh dari harapan. Meskipun telah disertai dengan serangkaian regulasi untuk mendorong, diharapkan dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat yang merata berdasarkan karakteristik daerah, budaya, agama, dan sejarah, kenyataannya otonomi khusus belum berhasil mengatasi berbagai permasalahan di Papua.
Konsekuensi dari pemberian status otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Papua Barat adalah mendapatkan alokasi dana fiskal dari pemerintah pusat setiap tahun. Namun, data yang dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun 2002 hingga 2013 menunjukkan peningkatan Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) tanpa diiringi oleh penurunan angka penduduk miskin (Imam & Hafiz, 2019).
Semangat dari otonomi khusus tampaknya diterapkan tanpa memperhatikan kondisi aktual di Papua. Sebaliknya, implementasi otonomi khusus justru menimbulkan ketakutan, kekhawatiran, dan ketidakpastian di kalangan masyarakat. Ada kekhawatiran terkait eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran tanpa memperhatikan dampak lingkungan dan tanpa memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat setempat (Marit & Warami, 2018).
Untuk mengatasi berbagai problematika yang muncul, diperlukan penyelesaian yang terjadi pada masa ini serta perancangan kembali model penyelenggaraan otonomi khusus di masa depan yang ideal. Tahap pertama dalam penyelesaian problematika otonomi khusus mencakup langkah-langkah seperti, melakukan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana otonomi khusus guna meminimalisir potensi penyalahgunaan, menangani secara tuntas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di wilayah Papua, meningkatkan partisipasi masyarakat, transparansi, dan akuntabilitas para pemangku jabatan yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan otonomi khusus.
Pascapemberlakuan otonomi khusus, perhatian pemerintah terhadap Papua seharusnya tidak berakhir. Fokus yang diberikan haruslah melibatkan evaluasi dan perbaikan terhadap praktik otonomi khusus di Papua untuk memastikan efektivitasnya dalam mencapai tujuan kesejahteraan dan keadilan.
Otonomi daerah adalah suatu kondisi di mana daerah memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi terbaiknya secara optimal. Untuk mencapai kondisi ini, prinsip dasarnya adalah bahwa sebagian besar persoalan seharusnya diserahkan kepada daerah untuk diidentifikasi, dirumuskan, dan dipecahkan, kecuali untuk masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa.
Namun, dampak negatif dari otonomi daerah juga muncul. Ini mencakup peluang bagi oknum-oknum di tingkat daerah untuk melakukan berbagai pelanggaran, konflik antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, serta munculnya kesenjangan antara daerah yang memiliki pendapatan tinggi dan daerah yang masih berkembang. Terlihat bahwa masih ada banyak permasalahan yang menyertai pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dicari solusi dan diselesaikan agar tujuan awal dan cita-cita mulia dari otonomi daerah dapat tercapai dengan baik.
Perlu diingat bahwa penting bagi pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan terhadap dana otonomi khusus dan melaksanakan tindakan pemberantasan korupsi terkait potensi penyelewengan dana yang disalurkan. Alasan utamanya adalah bahwa dana otonomi khusus seharusnya diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua (Imam & Hafiz, 2019).
Urgensi dari harapan untuk melakukan pengawasan terletak pada kebutuhan untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan dari pusat benar-benar diimplementasikan dalam program-program yang telah direncanakan. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama dalam mengevaluasi penggunaan dana dengan merancang grand design atau master plan sebagai upaya pembangunan jangka panjang. Pengawasan ini menjadi sangat penting untuk meminimalisir risiko korupsi dan memastikan efektivitas penggunaan dana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H