Mohon tunggu...
Madahrosi
Madahrosi Mohon Tunggu... Freelancer - a stoic enthusiast

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Kaisar Romawi, Marcus Aurelius Jadi Gubernur Jakarta?

30 Januari 2020   15:24 Diperbarui: 3 Februari 2020   16:12 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ketidaktahuan membutuhkan pendidikan. Kesadaran dapat diusahakan lewat pendidikan termasuk pendisiplinan lewat aturan. Stoisisme atau stoikisme berpandangan bahwa yang menjadi kendali kita adalah opini, penilaian, persepsi, refleksi (faktor internal). Terhadap banjir Jakarta, kita dapat melihat dengan jelas bagaimana orang-orang saling menuding. Ada juga yang berkelik dan berteori melawan data-data yang ada. 

Bagi Marcus, kita gagal berhadapan dengan bencana. Gubernur gagal mengendalikan opininya, para pecinta gubernur gagal, dan para pengkritik gubernur pun gagal. Berhadapan dengan yang namanya bencana hanya satu yang dibutuhkan yaitu menolong para korban. 

Prinsip utama Marcus Aurelius adalah Summum Bonum, the highest good, kebaikan tertinggi. Istilah ini awalnya dari Cicero, tetapi kemudian memberikan inspirasi bagi  Marcus seperti dalam tulisannya "If it is right, do it. If it is true, say it". 

Baginya, hendaknya kita selalu dituntut untuk melakukan kebaikan dalam setiap peristiwa dengan mengontrol apa-apa yang kita bisa kita kontrol yaitu kata-kata, pikiran, hasrat, ambisi, amarah yang berasal dari dalam diri kita. Hidup sebagai pemimpin dan sebagai pribadi adalah orang yang berintegritas dan yang berkeutamaan. Summum Bonum bagi Marcus Aurelius adalah virtuous life.

Pada waktu pemerintahan Kaisar Marcus Aurelius, saya yakin belum ada kemacetan karena belum ada mobil dan motor. Namun tidak ada salahnya untuk membahas kemacetan Jakarta dengan perspektif Marcus Aurelius. Kemacetan disebabkan oleh jumlah kendaraan yang tak terkendali.Meskipun sudah ada busway, ganjil-genap, MRT, LRT, namun kemacetan tetap menjadi persoalan yang jauh dari solusi. Mudah-mudahan ide memindahkan ibu kota sedikit banyak mengurangi, meski tidak akan menghilangkan kemacetan sepenuhnya. 

Saya kira ajaran Marcus Aurelius juga tidak terlalu banyak menolong. Namun, Stoisisme sangat membantu pribadi-pribadi yang sering terjebak dalam kemacetan Jakarta. 

Dikotomi antara hal-hal yang berada di dalam kendali kita dan yang berada di luar kendali kita dapat bermanfaat bagi orang-orang yang melewati jalan-jalan Jakarta yang sering macet. Kemacetan, pengendara, situasi jalan, adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita. 

Yang menjadi kendali kita adalah pikiran, suasana hati atau emosi, dan kesadaran kita. Dengan begitu, ketika macet kita tetap bisa memikirkan rencana kita ketika sampai di kantor atau ide-ide kreatif untuk menyenangkan pacar, anak, ataupun isteri di rumah.  

Hal yang mungkin akan menjadi sorotan Marcus Aurelius adalah penebangan pohon di sekitar Monas dengan alasan revitalisasi. Bagi Marcus Aurelius, menempatkan diri selaras dengam kosmos atau dunia menjadi sangat penting. Menebang pohon karena faktor estetika bukanlah faktor yang dianjurkan oleh Marcus Aurelius. 

Bukankah pohon adalah sumber oksigen, jadi jika ditebang bisa mempengaruhi dunia (baca butterfly effect)? Bukankah Jakarta membutuhkan ruang hijau lebih banyak? Apakah penebangan phohon adalah hal yang rasional dan urgent? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin akan ditanyakan oleh Marcus Aurelius untuk pemerintah. Ajarannya dan para filsuf stoik lainnya menekankan optimalisasi rasio kita dengan hidup yang berkeutaman. 

Dengan optimalisasi rasio, kita menjadi manusia yang lebih rasional dan lebih fokus membenahi hal-hal yang berada dalam kendali kita. Untuk dapat melakukan itu para filsuf stoik menawarkan empat keutamaan yang perlu kita lakukan yaitu wisdom/prudence, temperance, courage/fortitude, dan justice. Sengaja saya tidak menerjemahkannya karena saya belum menemukan kata yang representatif dalam bahasa Indonesia. Rasanya jika hanya diterjemahkan sebagai kebijaksanaan, kontrol diri, keberanian, dan keadilan belum cukup menggambarkan maksud dari para filsuf stoik.  Saya akan membahasnya di lain kesempatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun