Marcus Auerelius adalah seorang kaisar Romawi yang memimpin kekaisaran Romawi dari tahun 161 M sampai 180 M. Dia bukanlah anak biologis dari Kaisar sebelumnya yaitu Kaisar Antonius, namun karena Kaisar Antonius tidak memiliki anak laki-laki maka dia menunjuk Marcus menjadi kaisar Roma.Â
Tentu, penunjukkan dia menjadi kaisar bukanlah seperti cerita terjadinya candi Prambanan yang konon dibangun oleh para jin dalam satu malam (tentu saja ini mitos). Marcus dipilih menjadi Kaisar karena keyakinan Kaisar Antonius yang sudah mengenal kepribadiannya sejak cukup lama. Hal yang menarik bagi saya adalah bahwa Marcus ini sejak masih belia sudah menyenangi filsafat khususnya filsafat aliran Stoa.
Dia merupakan praktisi filsafat Stoa sampai akhir hayatnya, meskipun dia tidak mendirikan akademi seperti Plato, Epicurus, Aristoteles, dan lain-lain. Dia juga tidak memiliki murid yang berguru padanya. Namun pengaruhnya sangat besar sampai saat ini khususnya bagi para pecinta Stoisisme yang sangat berkembang di Barat, sebagai salah satu alternatif worldview atau way of life karena Stoisisme adalah aliran Filsafat yang sangat praktis dan sangat universal.Â
Kebijaksaan Marcus Aurelius diketahui oleh banyak orang sampai dewasa ini ternyata berasal dari tulisan-tulisan jurnalnya yang tidak dimaksudkan untuk diterbitkan. Namun karena orang-orang yang menemukan jurnalnya melihat bahwa tulisan tersebut adalah kekayaan intelektual yang dapat menginspirasi banyak orang untuk menjadi lebih baik maka kemudian tulisan-tulisan tersebut dikompilasi dalam sebuah buku yang berjudul Eis Heauton atau kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yang berjudul Meditations.
Selama kepemimpinannya sebagai kaisar Romawi, kurang lebih 20 tahun lamanya, Marcus menghadapi persoalan yang begitu kompleks seperti serangan musuh-musuh kekaisaran, wabah penyakit pes yang melanda ibukota Roma, dan masalah kenegaraan lainnya. Belum lagi duka yang dialaminya karena kehilangan beberapa anaknya.Â
Menghadapi masalah kenegaraan dan pribadi, Marcus lewat catatan-catatannya hariannya dalam Meditations, menunjukkan kualitasnya sebagai seorang pribadi yang memiliki keutamaan yang sangat unggul.
Saya akan mencoba menjelaskan perspektif  Sang Kaisar dalam konteks Jakarta sebagai ibukota negara tercintaku, tercintamu, tercinta kita. Jakarta memiliki masalah klasik yaitu banjir dan kemacetan. Belum lama ini, Jakarta dilanda banjir yang sangat dasyat. Banyak warga yang mengalami kerugian materi bahkan banyak yang kehilangan nyawa.Â
Terhadap bencana alam, termasuk banjir, para filsuf stoik, termasuk Marcus Aurelius, berpandangan bahwa kejadian tersebut adalah kejadian yang di luar kendali gubernur dan warga Jakarta. Hal-hal eksternal adalah hal-hal yang berada di luar kendali kita misalnya alam, orang lain, cuaca, penyakit, dan lain-lain.Â
Memang banjir bukanlah semata-mata kejadian alam murni seperti gempa bumi atau gunung berapi. Namun banjir dapat dipahami sebagai konsekuensi dari kedunguan (saya meminjam istilah yang sering digaungkan oleh Rocky Gerung) manusia yang merusak lingkungan seperti membuang sampah sembarangan, menebang pohon-pohon, membangun  beton-beton, dan lain-lain.Â
Bagi Marcus Aurelius, manusia yang dungu merupakan hal yang berada di luar kendali kita. Mereka melakukannya karena ketidaktahuan.Â
Saya berdiskusi dengan seorang teman yang mengatakan bahwa temannya pernah melakukan sebuah survei di Jakarta dan hasil surveri itu menyimpulkan bahwa kebanyakan orang tidak paham bahwa membuang sampah sembarangan dapat berakibat banjir. Oleh karena itu, sangat masuk akal jika negara seperti Singapura memberikan denda yang sangat besar bagi orang yang membuang sampah sembarangan.Â