Melihat pegawainya Mak Adi yang sedang sibuk memasak tongseng, dan membakar sate serta memanasi tengkleng, saya berkata dalam hati, "Wah, yang pesan kayaknya banyak. Mudah-mudahan antrinya tidak terlalu lama".
Setelah duduk, kami mencatat pesanan dalam secarik kertas. Sate campur (daging dan ati) 2 porsi, tongseng 1 porsi dan tengkleng 1 porsi. Tidak lupa, nasinya 2 porsi. Minumnya teh manis panas (gulanya pakai gula batu).
Sambil menunggu, saya menyempatkan diri untuk merekam dan mengambil foto bagaimana pegawainya Mak Adi dengan cekatan melayani pesanan para pembeli baik yang sudah menunggu di warung atau yang berdiri di dekat tempat memasak, dan nantinya untuk dibawa pulang.
"Sepertinya nggak ada 10 menit, pesanan sudah jadi. Nggak nunggu lama. Untuk tengkleng, ya hanya dihangatkan saja. Sedangkan untuk memasak tongseng, saya lihat bumbunya sudah setengah jadi dan tinggal dicampur dengan kuah bumbu, sayur kol dan tomat" ungkap saya kepada teman.
"Kalau untuk sate, setahu saya bakarnya tidak perlu lama karena kambingnya pasti jenis domba batibul (baru tiga bulan). Itulah mengapa satenya empuk dan tidak alot" lanjut saya sembari menunggu pesanan tiba.
Beberapa kali saya melihat tongseng dan sate dimasukkan ke dalam plastik. Rupanya, ada beberapa pembeli yang membawanya pulang. Memang, saat itu cukup rame.
Hendyas Feri Aditya adalah nama asli pemilik Warung Sate Klathak Mak Adi. Konon, munculnya nama sate klathak itu karena saat sate yang dibumbui dengan garam itu dibakar, terdengarlah bunyi.
"Yang membuat empuk merata, karena tusuk satenya terbuat bukan dari bambu seperti biasanya tetapi dari jeruji sepeda motor" cerita salah satu pegawainya Mak Adi.