Bentuk kapel Pertapaan Gedono memiliki tempat duduk seperti huruf L, yang terbagi satu sisi untuk para suster dan sisi lainnya untuk umat. Konon, Romo Mangunwijaya adalah arsitek biara pertapaan ini dan tahun 1993 mendapat penghargaan dari IAI Nasional.
Mengikuti Vigili Paskah di pertapaan Gedono bagi saya merupakan hal yang membuat hati bahagia, tidak sia-sia, meski harus menahan kantuk. Tak hanya itu, mata hati saya terbuka tentang makna "selamat pagi" dan bagaimana mengawali hidup ini selanjutnya.
Cerita tentang Yesus yang bangkit pagi-pagi buta, kendatipun diwarnai dengan interpretasi antara kenyataan dan fiksi oleh para murid-Nya, tidak mengurangi esensi "pagi" sebagai waktu mulainya sebuah kehidupan. Toh pada akhirnya semua murid menjadi percaya pada kebangkitan setelah Yesus menampakan diri di berbagai kesempatan.
Pagi-pagi tak hanya menstimulus nafsu "survive", tetapi menjadi "kompas" relasi vertikal dengan Tuhan dan horizontal dengan sesama. Dengan demikian malam yang gelap pun menjadi penentu sikap moral dan teologis di pagi hari.Â
Kurangnya "Iman" (beriman) dapat mengakibatkan keraguan atau ketidakpercayaan (sebagaimana dalam ateisme dan agnostisisme: penghujatan atau murtad). Demikian pun kurangnya "harapan" dapat mengakibatkan sikap sinis atau putus asa. Dan yang terakhir kurangnya "kasih" dapat mengakibatkan kebencian, kemarahan atau ketidakpedulian.Â
Setelah berkat penutup, semua umat yang hadir dalam Vigili Paskah dijamu oleh para suster dengan susu coklat dan aneka macam kukis buatan para suster.
Dalam hidup keseharian para suster rubiah di Pertapaan Gedono menjalani hidup dengan misi doa dan kerja tangan sesuai dengan semangat hidup Santo Benediktus.Â
Kerja tangan yang mereka lakukan, misalnya mengelola perkebunan sayur dan rumah tangga pertapaan, serta memproduksi hosti, selai, sirup, kue, kefir (semacam yoghurt), dan kartu rohani, yang menjadikan mereka mampu menafkahi hidup sendiri dari hasil pemasarannya (sumber: Wikipedia).