Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Legenda Tanah Lot Ini Membuat Penasaran Wisman!

27 Januari 2019   19:52 Diperbarui: 28 Januari 2019   05:46 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Warna jingga kemerahan perlahan-lahan menghiasi langit seiring dengan berlabuhnya mentari di ufuk Barat. Waktu senja telah tiba. Kerumun orang yang sejak tadi mendekati bibir pantai dekat Pura Luhur Tanh Lot, Bali seperti terhipnotis dan terus menatap perubahan langit itu.

Meski sore itu "sunset" tidak tampil sempurna gegara kumpulan awan kelabu masih menutupi langit, namun dari celah langit yang terbuka, indahnya Tanah Lot masih bisa dinikmati oleh banyak wisatawan yang hari itu (23/12) berada di pantai Pura Tanah Lot.

Siluet (Dokrpi)
Siluet (Dokrpi)
"Saya belum pernah ke Tanah Lot" pinta Mister Jay, asal China yang datang ke Indonesia sebagai Guru Mandarin di sekolah saya. Sekali lagi, hanya untuk memenuhi permintaan guru Mandarin ini, saya kembali menginjakkan kaki di Tanah Lot. Entah untuk beberapa kali saya berkunjung ke salah satu destinasi wisata di Bali yang nge-hit ini.

Dalam hati, ada rasa "jeleh" (bosan) menyambangi Tanah Lot. Tetapi karena Mister Jay bertanya kepada saya tentang Tanah Lot, ya saya terpaksa ke Tanah Lot lagi.  Mengapa Tanah Lot menjadi begitu populer dan salah satu objek wisata yang wajib dikunjungi, dan apa yang menjadi daya tarik dari objek wisata ini?

Ramai Dikunjungi Wisman (Dokpri)
Ramai Dikunjungi Wisman (Dokpri)
Legenda Tanah Lot

"Bhagawan Dang Hyang Nirartha (dikenal dengan sebutan Dang Hyang Dwijendra) pada abad 15 melakukan penyebaran agama Hindu ke Jawa dan Bali. Penguasa Bali Raja Dalem Waturenggong, saat itu, memberikan jalan bagi Dang Hyang Nirartha untuk menyebarkan Hindu hingga ke pelosok-pelosok desa" ucap saya menceritakan legenda Pura Leluhur Tanah Lot kepada Mister Jay.

Lantas kisah saya lanjutkan, "Suatu ketika, Nirartha melihat sinar suci dari arah laut Selatan Bali, persisnya di pantai desa Beraban Tabanan. Saat memasuki desa itu, ajaran Hindu dari Niartha ditentang oleh petinggi desa bernama Bendesa Beraban Sakti yang menganut aliran monotheisme".

Dokpri
Dokpri
Kemudian Dang Hyang Niartha bermeditasi di atas batu karang yang berbentuk burung beo. Semula tempat meditasi itu berada di daratan, tetapi karena keberadaannya terancam oleh Bendesa Beraban, Dang Hyang Nirartha, dengan kekuatan spiritual, memindahkan batu karang di tengah pantai. Bongkahan batu karang tersebut diberi nama Tanah Lot yang artinya batukarang yang berada di lautan.

Konon, karena kesaktian Dang Hyang Nirartha itu seluruh penduduk setempat menganut agama Hindu. Bahkan, Bendesa Beraban dihadiahi keris yang memiliki kekuatan untuk menghilangkan segala penyakit. Tak hanya itu, Bendesa Beraban akhirnya mengikuti ajaran Hindu yang disebarkan oleh Dang Hyang Nirartha setelah mengakui kesaktiannya.

Menunggu Sunset (Dokpri)
Menunggu Sunset (Dokpri)
Di Tanah Lot itu, oleh Brahmana Dang Hyang Nirartha dibangun pura, tempat pemujaan dewa-dewa penjaga laut. Menurut legenda, selendang yang dipakai Dang Hyang Nirartha, karena kesaktiannya, diubah menjadi ular putih sebagai penjaga pura.

Dalam perjalanan ke Tanah Lot, wajah Mister Jay tampak sumringah. Apa yang saya ceritakan tadi, rupanya mempengaruhi pikirannya untuk melihat dengan segera Pura Luhur Tanah Lot.

Banyak Wisatawan (Dokpri)
Banyak Wisatawan (Dokpri)
Pura Luhur Tanah Lot

Saat berada di salah satu pura, saya membaca tulisan yang dipahat di atas batu marmer putih. Ternyata Pura Luhur Tanah Lot terdiri dari Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong, Pura Mejan dan Pura Luhur Perkendungan.

Batu Bolong (Dokpri)
Batu Bolong (Dokpri)
Hujan deras sempat turun saat kami tiba di atas Batu Bolong. Wisatawan berlari mencari tempat teduh meski harus berdesakan. Untung hujan tidak turun lama. Kami lantas berjalan lagi menuju ke Pura Tanah Lot di ujung pantai yang menjorok ke Laut Selatan.

Di bibir pantai, ombak laut sore itu terlihat besar  sehingga air yang menerpa bebatuan pantai terlihat tinggi dan jatuh menerpa beberapa wisatawan yang asyik berdiri. Demi keselamatan, wisatawan yang berada di pinggir pantai mulai mundur di tempat yang aman.

Refleksi (Dokpri)
Refleksi (Dokpri)
Sementara itu, saya melihat Mister Jay berjalan menuju batu karang yang di atasnya ada Pura Tanah Lot. Air laut yang pasang, membuat jalan tergenang air, tetapi bukan menjadi halangan bagi Mister Jay untuk mendekati Pura Tanah Lot. Ia juga melihat atraksi ular yang dipegang pawang yang berbaju putih pakaian tradisional Bali, di jalan setapak menuju pura.

Setelah beberapa saat berada di bawah Pura Tanah Lot, Mister Jay kembali. Ia bercerita bahwa ia dapat merasakan aura ritual adat Bali yang beragama Hindu serta bagaimana umat Bali menjaga kesakralan dan keheningan tempat ibadah itu. Simbol ritual ibadah lewat sesaji dan penjor serta ornamen khas Bali yang terpasang di sekitar Pura, memberi suasana suci bagi siapapun yang mendekat dan tak hanya plesir saja.

Seandainya kami datang saat Odalan atau hari raya di Pura (210 hari sekali) atau saat Galungan dan Kuningan, tentu aura mistik dan khusuk terasa saat berada di Tanah Lot.

Sunset (Dokpri)
Sunset (Dokpri)
Tidak Sekedar Piknik

Kami sempat menikmati keindahan "sunset" di Tanah Lot pada sore menjelang malam. Warna jingga kemerahan mentari, menciptakan siluet, bayangan hitam termasuk manusia di kala senja. Sungguh eksotik.

Saya mulai merenung. Berwisata tak sekedar piknik atau plesiran saja. Berwisata yang baik adalah mengenal sejarah budaya dan legenda dari setiap tempat wisata yang dikunjungi. Dengan berusaha mengetahui dan mencari tahu latar belakangnya, (bisa dibaca di Wikipedia atau sumber lain yang terpercaya), wisatawan tak akan bosan mengunjungi objek-objek wisata meski pernah dikunjungi sekalipun.

Nama-nama Pura di Tanah Lot (Dokpri)
Nama-nama Pura di Tanah Lot (Dokpri)
"Labih baik melihat sendiri sekali daripada seratus kali mendengar dari orang lain. Lebih baik mengalami sendiri sekali daripada seratus kali melihat" kata peribahasa Cina. Peribahasa Cina itu mengajarkan kepada siapapun bahwa untuk memahami sesuatu lebih baik terjun sendiri ke lapangan.

Salam Koteka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun