Warna jingga kemerahan perlahan-lahan menghiasi langit seiring dengan berlabuhnya mentari di ufuk Barat. Waktu senja telah tiba. Kerumun orang yang sejak tadi mendekati bibir pantai dekat Pura Luhur Tanh Lot, Bali seperti terhipnotis dan terus menatap perubahan langit itu.
Meski sore itu "sunset" tidak tampil sempurna gegara kumpulan awan kelabu masih menutupi langit, namun dari celah langit yang terbuka, indahnya Tanah Lot masih bisa dinikmati oleh banyak wisatawan yang hari itu (23/12) berada di pantai Pura Tanah Lot.
Dalam hati, ada rasa "jeleh" (bosan) menyambangi Tanah Lot. Tetapi karena Mister Jay bertanya kepada saya tentang Tanah Lot, ya saya terpaksa ke Tanah Lot lagi. Â Mengapa Tanah Lot menjadi begitu populer dan salah satu objek wisata yang wajib dikunjungi, dan apa yang menjadi daya tarik dari objek wisata ini?
"Bhagawan Dang Hyang Nirartha (dikenal dengan sebutan Dang Hyang Dwijendra) pada abad 15 melakukan penyebaran agama Hindu ke Jawa dan Bali. Penguasa Bali Raja Dalem Waturenggong, saat itu, memberikan jalan bagi Dang Hyang Nirartha untuk menyebarkan Hindu hingga ke pelosok-pelosok desa" ucap saya menceritakan legenda Pura Leluhur Tanah Lot kepada Mister Jay.
Lantas kisah saya lanjutkan, "Suatu ketika, Nirartha melihat sinar suci dari arah laut Selatan Bali, persisnya di pantai desa Beraban Tabanan. Saat memasuki desa itu, ajaran Hindu dari Niartha ditentang oleh petinggi desa bernama Bendesa Beraban Sakti yang menganut aliran monotheisme".
Konon, karena kesaktian Dang Hyang Nirartha itu seluruh penduduk setempat menganut agama Hindu. Bahkan, Bendesa Beraban dihadiahi keris yang memiliki kekuatan untuk menghilangkan segala penyakit. Tak hanya itu, Bendesa Beraban akhirnya mengikuti ajaran Hindu yang disebarkan oleh Dang Hyang Nirartha setelah mengakui kesaktiannya.
Dalam perjalanan ke Tanah Lot, wajah Mister Jay tampak sumringah. Apa yang saya ceritakan tadi, rupanya mempengaruhi pikirannya untuk melihat dengan segera Pura Luhur Tanah Lot.
Saat berada di salah satu pura, saya membaca tulisan yang dipahat di atas batu marmer putih. Ternyata Pura Luhur Tanah Lot terdiri dari Pura Jero Kandang, Pura Enjung Galuh, Pura Batu Bolong, Pura Mejan dan Pura Luhur Perkendungan.
Di bibir pantai, ombak laut sore itu terlihat besar  sehingga air yang menerpa bebatuan pantai terlihat tinggi dan jatuh menerpa beberapa wisatawan yang asyik berdiri. Demi keselamatan, wisatawan yang berada di pinggir pantai mulai mundur di tempat yang aman.
Setelah beberapa saat berada di bawah Pura Tanah Lot, Mister Jay kembali. Ia bercerita bahwa ia dapat merasakan aura ritual adat Bali yang beragama Hindu serta bagaimana umat Bali menjaga kesakralan dan keheningan tempat ibadah itu. Simbol ritual ibadah lewat sesaji dan penjor serta ornamen khas Bali yang terpasang di sekitar Pura, memberi suasana suci bagi siapapun yang mendekat dan tak hanya plesir saja.
Seandainya kami datang saat Odalan atau hari raya di Pura (210 hari sekali) atau saat Galungan dan Kuningan, tentu aura mistik dan khusuk terasa saat berada di Tanah Lot.
Kami sempat menikmati keindahan "sunset" di Tanah Lot pada sore menjelang malam. Warna jingga kemerahan mentari, menciptakan siluet, bayangan hitam termasuk manusia di kala senja. Sungguh eksotik.
Saya mulai merenung. Berwisata tak sekedar piknik atau plesiran saja. Berwisata yang baik adalah mengenal sejarah budaya dan legenda dari setiap tempat wisata yang dikunjungi. Dengan berusaha mengetahui dan mencari tahu latar belakangnya, (bisa dibaca di Wikipedia atau sumber lain yang terpercaya), wisatawan tak akan bosan mengunjungi objek-objek wisata meski pernah dikunjungi sekalipun.
Salam Koteka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H