Di antara kami berlima, tak seorang pun pernah menginjakkan kakinya di Gunung Ijen, Bondowoso, Jawa Timur. Cerita teman yang pernah mendaki ke kawah Ijen dan informasi para traveller yang diunggah di dunia maya, menjadi kompas dalam berburu "blue fire".
Selepas merayakan Malam Natal di Bali, esok harinya (25/12) sekitar jam 2 pagi, kami bersiap-siap berangkat ke Banyuwangi. "Ya, perjalanan ke Banyuwangi dari Tabanan, sekitar 4 jam" ungkap Wahyu sambil mengemudikan mobilnya.
Memasuki kota "Gandrung" Banyuwangi, perut kami mulai terasa lapar. Muncul niat kami untuk mencari sarapan kuliner khas Banyuwangi. Nasi Tempong atau "Sego Tempong" Mbok Nah yang terkenal pedas seperti pipi ditampar lantas kami buru pagi itu. Berbekal Google Map, kami menemukan lokasinya. Sayang kami datang terlalu pagi, sehingga lauk dan lalapan sayurannya belum tersedia.
Wahyu mengarahkan mobilnya ke Desa Kemiren. Lalu, berhenti di gapura yang terpapang jelas tulisan Desa Adat Osing Kemiren untuk berswafoto. Keunikan desa adat ini, baru "kelihatan" ketika kami berhenti di rumah-rumah yang masih mempertahankan corak dan arsitektur aslinya pada bangunan rumah dan meja kursinya.
Pos Paltuding
Akhirnya kami memutuskan ke arah Ijen. Tepatnya, menuju Pos Paltuding, pos masuk ke kawah Ijen. Saat tiba di pakiran pos itu, jarum jam menunjuk pada angka 10 lebih. Meski masih siang tapi sudah terasa seperti sore karena mendung.
"Aku mau beli sarung tangan, soalnya tanganku mulai kedinginan" kata saya sambil mengajak Jay, guru Mandarin, yang penasaran dengan "blue fire". Selain warung-warung, tersedia homestay, tenda-tenda, toilet dan pusat informasi Wisata Kawah Ijen. Saya dengar, menginap di homestay semalam biayanya sekitar 400 ribu rupiah.
"Sebaiknya jangan pakai celana jean, karena bahan kainnya menyerap dingin. Lebih baik celana training karena tahan dari angin dan dingin" kata Wahyu mengingatkan.
Persiapan pendakian ke kawah ijen, karena pintu jalur pendakian dibuka pukul 1 pagi, kami siapkan di warung Ayu di dekat parkiran mobil. Untuk keselamatan kami, diputuskan untuk menggunakan pemandu wisata yang menyediakan masker, senter dan pengawalan.
Malam itu, banyak wisatawan domestik dan manca negara yang akan mendaki ke kawah ijen. Mereka sudah berkerumun di muka loket masuk. Tiket masuk pendakian per orang dikenai Rp. 5.000,- Sedangkan untuk wisatawan asing tiket masuknya Rp. 150.000,- (Hari biasa atau weekday).
"Aku kayaknya nggak kuat naik. Pak tolong dong, carikan ojek troli ya" kata Ina, istrinya Wahyu. Lalu Wahyu segera cari ojek troli yang memang sudah mangkal di pintu gerbang.Â
Terlambat sedikit, Wahyu tidak dapat troli karena malam itu ternyata peminatnya banyak melebihi ketersediaan troli. Meski harus dibayar mahal, sekitar Rp 700 ribu, tetapi tanjakan sejauh 1,5 km dengan kemiringan 40 derajat, dapat dilibas dengan troli.
Di sepanjang jalur pendakian tersedia tempat untuk istirahat yang dilengkapi toilet. Sayangnya fasilitas umum ini jorok dan terkesan terbelengkai. Konon, ketersediaan air sangat minim.Â
Di pos bunder, saya sempat ke toliet yang ada penjaganya dan menyediakan air (secukupnya). Untuk keperluan itu, saya merogoh kocek sebesar 10 ribu untuk sekali bilas.
Selama pendakian saya sering berhenti untuk mengatur napas saya yang "ngos-ngosan". Perjuangan itu akhirnya terbayar hingga sampai di puncak gunung Ijen. Esotiknya kawah Ijen yang berada di bawah punggung gunung, tampak ramai dikerumuni wisatawan.
Jay sudah tak kelihatan lagi. Saya dengan yang lain berhenti di tebing. Di lokasi tempat saya berdiri, kawah Ijen berwarna biru tosca samar-samar terlihat seiring dengan pagi tiba.Â
Guratan tanah tebing mirip akar pohon, juga mulai tampak. Di sekeliling saya, ratusan wisatawan menikmati eksotisme kawah Ijen dengan berswafoto dan bercengkerama dengan temannya.
Tiba-tiba Jay nongol dan apakah melihat "blue fire", ia menjawab sudah sampai di tempat para penambang belerang tetapi ditungu-tunggu hingga langit terbuka terang, "blue fire" tak kunjung muncul. "Saya tidak beruntung" kata Jay. Tak lama kemudian, pemandu kirim video blue fire ke hape Jay. Wajahnya sumringah setelah dapat video itu.
Menikmati keindahan panorama kawasan kawah Ijen yang indah, dibarengi dengan perjuangan pendakian yang melelahkan, dan melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang, rasa penasaran akan kawah Ijen yang tersohor karena "blue fire" terbayar sudah.
Salam Koteka!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H