"Sebaiknya jangan pakai celana jean, karena bahan kainnya menyerap dingin. Lebih baik celana training karena tahan dari angin dan dingin" kata Wahyu mengingatkan.
Persiapan pendakian ke kawah ijen, karena pintu jalur pendakian dibuka pukul 1 pagi, kami siapkan di warung Ayu di dekat parkiran mobil. Untuk keselamatan kami, diputuskan untuk menggunakan pemandu wisata yang menyediakan masker, senter dan pengawalan.
Malam itu, banyak wisatawan domestik dan manca negara yang akan mendaki ke kawah ijen. Mereka sudah berkerumun di muka loket masuk. Tiket masuk pendakian per orang dikenai Rp. 5.000,- Sedangkan untuk wisatawan asing tiket masuknya Rp. 150.000,- (Hari biasa atau weekday).
"Aku kayaknya nggak kuat naik. Pak tolong dong, carikan ojek troli ya" kata Ina, istrinya Wahyu. Lalu Wahyu segera cari ojek troli yang memang sudah mangkal di pintu gerbang.Â
Terlambat sedikit, Wahyu tidak dapat troli karena malam itu ternyata peminatnya banyak melebihi ketersediaan troli. Meski harus dibayar mahal, sekitar Rp 700 ribu, tetapi tanjakan sejauh 1,5 km dengan kemiringan 40 derajat, dapat dilibas dengan troli.
Di sepanjang jalur pendakian tersedia tempat untuk istirahat yang dilengkapi toilet. Sayangnya fasilitas umum ini jorok dan terkesan terbelengkai. Konon, ketersediaan air sangat minim.Â
Di pos bunder, saya sempat ke toliet yang ada penjaganya dan menyediakan air (secukupnya). Untuk keperluan itu, saya merogoh kocek sebesar 10 ribu untuk sekali bilas.
Selama pendakian saya sering berhenti untuk mengatur napas saya yang "ngos-ngosan". Perjuangan itu akhirnya terbayar hingga sampai di puncak gunung Ijen. Esotiknya kawah Ijen yang berada di bawah punggung gunung, tampak ramai dikerumuni wisatawan.
Jay sudah tak kelihatan lagi. Saya dengan yang lain berhenti di tebing. Di lokasi tempat saya berdiri, kawah Ijen berwarna biru tosca samar-samar terlihat seiring dengan pagi tiba.Â