"Yuk berangkat, perahu sudah bersandar. Oh ya jangan lupa tamu saya dibawa ke mangrove," teriak Roli kepada motoris perahu bermesin ganda 40 PK.
Suara mesin perahu, berkuatan ganda 40 PK, memecah air laut meninggalkan keramaian pelabuhan Likupang. Michelle dan Ludo bergeser duduknya dari buritan menuju ke dek depan perahu untuk mengamati lebih saksama pertumbuhan tanaman magrove. Dalam benaknya, apakah mungkin siswa diajak menanam pohon magrove? Kalau bisa, lokasi mana yang cocok untuk penanaman pohon bakau (mangrove)?
Perahu berlayar mengelilingi kawasan mangrove Likupang. Sayangnya tak ada lokasi yang bisa untuk berlabuh. Lalu kami melanjutkan menuju ke pulau Lihaga.
Setelah berlayar sekitar 40 menit, awak perahu melempar jangkar untuk berlabuh. Teriknya sinar matahari yang menerpa pasir putih, makin membuat gerah badan. Saat kaki menyentuh air laut pantai, terasa airnya hangat.
"Bagus. Terumbu karang dan ikan-ikannya masih banyak. Cocok untuk tempat snorkeling buat siswa-siswa nanti. Hanya harus ada pengawasnya," ungkap Michelle memperhatikan aspek keselamatan dalam snorkeling.
Jarum jam menunjuk angka 3. Kami bersiap untuk kembali ke Pelabuhan Likupang. Sebelum sampai ke pelabuhan, kami singgah di Desa Bulu Bulutui. Di desa itu, kami diterima oleh Hukum Tua (Lurah) Desa Bulutui, Likupang, Minahasa Utara. Dalam dialog, ternyata warga desa mayoritas nelayan. Ada yang melaut malam hari dan ada yang siang hari.
"Sayang, kondisi sekarang sudah lain dengan dulu. Gurita apalagi Sotong langka didapat. Kemungkinan besar karena habitat mereka untuk berkembang-biak sudah rusak. Perubahan iklim berpengaruh dalam siklus hidup kedua binatang itu. Padahal warga disejahterakan oleh Gurita," kisah Aswadi Sahari, Hukum Tua Desa Bulutui.
Setelah mendapat informasi, serta membeli Sotong sebesar 2,6 Kg plus 4 ekor ikan, dengan harga 100 ribu, kami pamit pulang. Kepastian berkunjung ke Desa Bulutui, tergantung dari pembahasannya nanti.