Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Keseruan Arung Jeram Timbukar

14 April 2018   12:50 Diperbarui: 14 April 2018   16:53 2681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu siang itu (11/4) langit mendung memayungi sepanjang perjalanan dari Tomohon hingga desa Timbukar, Sonder, Minahasa, Sulawesi Utara. Jalan menuju ke rafting Timbukar berkelok-kelok mengikuti kontur tanah perbukitan, seolah menyapa kami, beginilah jalan desa.

Saat memasuki desa Tincep, Stenly, sopir kami, memperlambat laju mobil Hiace Commuter. Stenly ingat Michelle (65) asal Perth, Australia cepat merasa pusing jika mobil bergoncang.

Hari itu, saya menemani dua tamu asing dan dua penggiat pendidikan berbasis lingkungan dari Jakarta dan Bali. Mereka satu tim Experiential Asia yang sedang survei untuk merancang "Educational fieldtrips and projects" bagi siswa-siswa dari persekolahan Singapore dan Australia.

"Belajar dari apa yang dipelajari" itulah filosofi dari fieldtrip atau wisata pendidikan yang akan dirancang. Rene Desrates, filsuf modern Perancis, pernah mengatakan "Cogito Ergo Sum", aku berpikir maka aku ada. Demikian juga wisata ini, siswa diajak untuk belajar dari apa yang dialami, diketahui, dipelajari. "

Siswa belajar bagaimana bertani, berkomunikasi dengan petani, merasakan apa kesulitan yang dihadapi. Tak hanya itu, siswa harus berani menghadapi resiko ketika bermain arung jeram atau berwisata ke pulau Lihaga, apa yang bisa dibuat bagi penduduk lokal di sekitar objek wisata" ujar Ludo saat diskusi di perjalanan.

"Jadi di Tomohon dan sekitarnya siswa bisa mempelajari beberapa topik utama, yaitu Vulkanologi, energi geothermal, budaya, wisata dan pertanian" kata Michelle, konsultan pendidikan yang telah berpengalaman di berbagai sekolah di Asia dan Australia selama lebih 30 tahun.

Bergaya sebelum Arung Jeram (Dokpri)
Bergaya sebelum Arung Jeram (Dokpri)
Singkat kata, Rabu siang itu kami menuju ke Rafting Timbukar. Sebelumnya, kami sudah pesan dengan Pak Alo, salah satu operator dari Manado Rafting Timbukar. Tetibanya kami di lokasi pemandu wisata arung jeram itu, kami langsung memakai helm, jaket pelampung dan dayung yang telah disiapkan.

"Kami akan memberikan briefing singkat untuk keselamatan dalam arung jeram di sungai Nimanga, Timbukar. Yang pertama, ikat baik-baik baju pelampung. Klik pengikat helm. Untuk dayung pegang ujungnya dengan salah satu tangan kanan atau kiri, tergantung posisi duduknya. Tangan satunya memang tongkat dayung" jelas Rumagit, pemandu senior arung jeram.

Briefing (Dokpri)
Briefing (Dokpri)
"Kalau saya mengatakan boom, itu artinya merunduk. Dayung, artinya kita dayung bersama. Stop, artinya tidak mendayung. Kiri, artinya bergeser ke kiri. Kanan, artinya bergeser ke kanan. Oh ya dalam arung jeram ini, yang penting jangan panik saat terlempar dari perahu. Skipper dan stoper akan segera menolong yang jatuh. Bisa dimengerti?" lanjut Rumagit. Kami serentak menjawab bisa.

Kami berenam dan Michelle satu-satunya perempuan. Karena di setiap perahu wajib ada stopper dan skipper, maka dibutuhkan dua perahu. Perahu yang kami pakai berukuran besar dengan tiga pelampung di dalam perahu. Saya berbeda perahu dengan Ludo dan Michelle.

Siang itu arus sungai Nimanga yang berhulu di Sonder, terlihat agak deras dan tinggi permukaan air lebih tinggi karena masih sering turun hujan. Dari titik awal di Timbukar hingga titik akhir di Tangkunei, Suluun, berjarak 9 km dan ditempuh sekitar 2 jam. Ini sudah termasuk dua kali istirahat.

"Tempat istirahat pertama di pertigaan sungai yang ada air terjun "sapa" Timbukar. Dan yang kedua kita istirahat di lokasi mandi yang bisa untuk loncat dan mencebur sungai" kata Edo, skipper perahu saya.

Petualang arung jeram dimulai. Perahu saya berangkat lebih dulu. Baru kemudian diikuti perahunya Michelle. Awalnya saya merasa kuatir. Bukan tanpa alasan, saat perahu berjalan mengikuti arus sungai yang meliuk-liuk melewati bebatuan besar, badan bergoyang hebat. Tak hanya itu, beberapa kali terhempas saat meluncur ke bawah.

Rafting Timbukar Grade III-IV (Dokpri)
Rafting Timbukar Grade III-IV (Dokpri)
"Arung jeram Timbukar ini termasuk grade III-IV, atau tergolong menengah bagi pemula" kata Edo skipper perahu saya, yang pernah mewakili Sulut dalam Kejurnas Arung Jeram 2016.

Setelah mengarungi sungai Nimanga sekitar 30 menit, kami istirahat di lokasi Air Terjun, yang tingginya sekitar 10 meter. Ludo dan Michelle langsung berjalan menuju ke air terjun. Sesampainya di delta air terjun, Ludo langsung berenang dengan gaya mengambang. 

Hijaunya pepohonan di sekitar air terjun, tampak makin alami. Tak ada orang berjualan atau sampah di sekitar lokasi. Wajah senang Michelle dan Ludo tak kuasa ditutupi saat menikmati pemandangan alam di sekitar air terjun.

Tak kurang dari 15 menit kami istirahat dan petualangan arung jeram dimulai lagi. Posisi duduk saya bergeser ke kiri. Di kanan, ada pak Alok, warga Timbukar yang bercerita banyak tentang keindahan alam di jalur rafting.

"Kalau masih ada, nanti bisa melhat ular piton besar yang sedang melilit di pohon. Barangkali sedang ganti kulit. Soalnya hampir seminggu ular itu tidak bergerak. Di dekat perhentian kedua, kita bisa melihat kawanan monyet Sulawesi yang sedang turun ke sungai untuk mencari makan" jelas pak Alo sambil mendayung.

Titik berhenti yang pertama (dokpri)
Titik berhenti yang pertama (dokpri)
Sambil mendengar cerita pak Alo, matanya menyapu tebing-tebing sungai yang masih ditumbuhi semak pepohonan yang lebat dan menyejukan di mata.

"Di aliran sungai ini, ada jeram ekstrim yang oleh pencinta arung jeram disebut "golden gate", "cobra" dan "goodbye" ungkap Pak Alo. Nama-nama jeram itu membuat penasaran, dan kemudian saya tanya apa artinya.

"Dinamakan golden gate, karena jeramnya bisa membuat penumpang jatuh keluar dari perahu. Kontur jeramnya cukup sulit untuk dilewati perahu. Bagi perahu yang berhasil melewati tanpa ada penumpang yang jatuh, nah itu emasnya atau golden. Nggak seru kalau main arung jerang tidak jatuh. Nggak usah kuatir, stopper dan skippernya udah berpengalaman dalam menolong yang jatuh" ungkap Pak Alo menyuntik semangat kami.

"Kalau kobra itu karena arusnya nge-drill seperti ular kobra. Sedangkan yang jeram "goodbye" adalah jeram terakhir sebelum mencapai finis. Dan tentu saja, sensasinya seperti mau lagi main arung jeram karena telah lulus melewati aneka macam rintangan sepanjang 9 km" lanjut pak Alo, yang meski usia sudah bukan muda lagi tetapi masih bersemangat mempromosikan wisata arung jeram Timbukar setiap kali ada wisatawan datang.

Memasuki Jeram Golden Gate (Dokpri)
Memasuki Jeram Golden Gate (Dokpri)
Karena tidak membawa gopro, atau drone, dokumentasi video dan photo hanya bisa dilakukan di spot-spot tertentu seperti di atas jembatan dan di delta "golden gate". Operator menyediakan orang untuk membantu mengambil foto atau video. Tentu saja jangan lupa memberikan tip untuk fotografer lokal.

Jeram-jeram sulit yang disebutkan tadi, saya lalui dengan rasa tegang tapi kemudian membuncah senang di hati. Betapa tidak, setiap kali perahu mengarungi jeram kami serentak berteriak (baca: mengurangi rasa tegang he he he). Saat berhasil melewati rintangan, dayung diangkat sambil berteriak horee...(inilah keseruannya).

Puas (Dokpri)
Puas (Dokpri)
Saya, Pandu dan Pak Alo secara bergantian mengalami jatuh dari perahu. Kesigapan dan ketrampilan skipper dalam menarik kembali ke perahu, patut diacungi jempol. Badan besar Pandu pun kuat mereka angkat masuk ke perahu. Kami mengalami jatuh dua kali di beda spot. Yang saya amati, setiap kali perahu menabrak batu, pasti ada yang jatuh. Bukannya trauma tetapi terasa asyik dan memuaskan, setelah jatuh dari perahu.

Dokpri
Dokpri
Finish Desa Tangkunei (Dokpri)
Finish Desa Tangkunei (Dokpri)
Akhirnya kami tiba di titik akhir di bawah jembatan Tangkunei. Mobil pickup yang sekaligus membawa fotografer, sudah siap menunggu kami. Perahu kemudian dikempeskan dan dimasukkan ke dalam pickup. Setelah semua masuk ke bak pickup, kami dibawa ke lokasi start di Timbukar. Hampir 30 menit tiba di lokasi basecamp Manado Rafting.

Untuk 6 orang yang ikut rafting di Timbukar, kami merogoh kocek sebesar 2 juta, sudah termasuk tip untuk para pemandu, fotografer, minuman teh dan kopi. Oh ya. di sekitar itu, tidak ada rumah makan, disarankan untuk membawa makan sendiri.

Salam KOTEKA!


Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun