Rabu siang itu (11/4) langit mendung memayungi sepanjang perjalanan dari Tomohon hingga desa Timbukar, Sonder, Minahasa, Sulawesi Utara. Jalan menuju ke rafting Timbukar berkelok-kelok mengikuti kontur tanah perbukitan, seolah menyapa kami, beginilah jalan desa.
Saat memasuki desa Tincep, Stenly, sopir kami, memperlambat laju mobil Hiace Commuter. Stenly ingat Michelle (65) asal Perth, Australia cepat merasa pusing jika mobil bergoncang.
Hari itu, saya menemani dua tamu asing dan dua penggiat pendidikan berbasis lingkungan dari Jakarta dan Bali. Mereka satu tim Experiential Asia yang sedang survei untuk merancang "Educational fieldtrips and projects" bagi siswa-siswa dari persekolahan Singapore dan Australia.
"Belajar dari apa yang dipelajari" itulah filosofi dari fieldtrip atau wisata pendidikan yang akan dirancang. Rene Desrates, filsuf modern Perancis, pernah mengatakan "Cogito Ergo Sum", aku berpikir maka aku ada. Demikian juga wisata ini, siswa diajak untuk belajar dari apa yang dialami, diketahui, dipelajari. "
Siswa belajar bagaimana bertani, berkomunikasi dengan petani, merasakan apa kesulitan yang dihadapi. Tak hanya itu, siswa harus berani menghadapi resiko ketika bermain arung jeram atau berwisata ke pulau Lihaga, apa yang bisa dibuat bagi penduduk lokal di sekitar objek wisata" ujar Ludo saat diskusi di perjalanan.
"Jadi di Tomohon dan sekitarnya siswa bisa mempelajari beberapa topik utama, yaitu Vulkanologi, energi geothermal, budaya, wisata dan pertanian" kata Michelle, konsultan pendidikan yang telah berpengalaman di berbagai sekolah di Asia dan Australia selama lebih 30 tahun.
"Kami akan memberikan briefing singkat untuk keselamatan dalam arung jeram di sungai Nimanga, Timbukar. Yang pertama, ikat baik-baik baju pelampung. Klik pengikat helm. Untuk dayung pegang ujungnya dengan salah satu tangan kanan atau kiri, tergantung posisi duduknya. Tangan satunya memang tongkat dayung" jelas Rumagit, pemandu senior arung jeram.
Kami berenam dan Michelle satu-satunya perempuan. Karena di setiap perahu wajib ada stopper dan skipper, maka dibutuhkan dua perahu. Perahu yang kami pakai berukuran besar dengan tiga pelampung di dalam perahu. Saya berbeda perahu dengan Ludo dan Michelle.
Siang itu arus sungai Nimanga yang berhulu di Sonder, terlihat agak deras dan tinggi permukaan air lebih tinggi karena masih sering turun hujan. Dari titik awal di Timbukar hingga titik akhir di Tangkunei, Suluun, berjarak 9 km dan ditempuh sekitar 2 jam. Ini sudah termasuk dua kali istirahat.