Baru Klinting menancapkan sebuah lidi ke tanah. Ia menantang warga desa Pathok untuk mencabut lidi yang telah ditancapkan di tanah. Tetapi tak seorang warga pun mampu menyabut lidi itu. Akhirnya Baru Klinting mencabut sendiri lidi yang ia tancapkan ke dalam tanah. Seketika muncul mata air yang muncrat dengan deras di tempat lidi yang dicabut.
Tak hanya itu, terdengar suara gemuruh dari muncratnya air itu. Desa Pathok dan warga desanya tenggelam dan terbentuklah Rawa Pening.
Legenda Rawa Pening sarat dengan petuah. Baru Kliniting, seekor naga yang bisa berbicara seperti manusia. Konon, Baru Klinting ini buah hati Endang Sawitri yang tinggal di desa Ngasem. Baru Klinting tumbuh besar dan menginjak usia remaja. Kepada ibunya, Baru Klinting selalu bertanya siapakah ayahnya.
"Ayahmu seorang raja yang kini sedang bertapa di sebuah gua, di lereng Gunung Telomoyo. Ini klintingan peninggalan ayahmu. Pakailah supaya ayahmu percaya bahwa kamu anaknya" kata Endang Sawitri kepada Baru Klinting yang akan mencari ayahnya di pertapaan.
Karena Baru Klinting seekor naga, maka begitu mudahnya ia melingkari Gunung Telomoyo. Menyaksikan keberhasilan Baru Klinting, ayahnya kemudian minta supaya Baru Klinting ikut bertapa di hutan Telomoyo. Saat bertapa, warga desa Pathok datang berburu hewan untuk acara sedekah bumi atas panenan. Lalu, Baru Klinting, naga besar yang sedsng bertapa dibunuh dan dimasak oleh warga.
Arwah Baru Klinting menjelma menjadi anak kecil yang berpakaian kumal dan mendatangi tempat pesta untuk ikut menikmati hidangan yang disajikan warga. Tapi oleh warga, anak kecil kumal itu diusir dari tempat pesta. Baru Klinting lalu bertemu dengan nenek yang baik hati memberi tumpangan dan makanan. "Nek, kalau nanti mendengar suara gemuruh, Nenek masuk ke lesung ya. Karena akan terjadi air bah yang akan menenggelamkan desa dan warganya" kata Baru Klinting kepada nenek yang baik hati.
Legenda Rawa Pening itu memberi kekuatan "magis" ketika saya dan saudara-saudara saya naik perahu dari Kalibiru ke Kampoeng Rawa Pening pulang pergi untuk menutup akhir 2017 (31/12). Sore itu, setelah berburu durian di desa Brongkol, kami pergi ke Banyubiru. Setibanya di jembatan berwarna biru di Kalibiru, seorang bapak sedikit berteriak menawarkan wisata naik perahu kepada para pengunjung.
"Pak kalau sampai ke Kampoeng Rawa, bayar berapa?" tanya saya kepada motoris perahu. "120 ribu mas, pulang pergi" jawabnya. Lalu atas kesepaktan bersama kami berperahu hingga Kampoeng Rawa. Saya perkirakan kalau sampai di Kampoeng Rawa, kami bisa menikmati indahnya matahari terbenam dengan langit jingganya yang memerah bercampur biru.
Suara mesin perahu berkekuatan 5 PK menenggelamkan suara obrolan kami. Sempat perahu berhenti untuk mengisi Petramax di salah satu rumah apung penjual bensin. Mesin perahu itu kalau diisi penuh bisa menampung 12 liter minyak. Dengan tenaga 5 PK terasa perahu berlayar dengan kecepatan santai saja. Justru, dengan kecepatan lambat itu, kami bisa menikmati wisata perahu di Rawa Pening dengan nyaman.
Sore menjelang matahari terbenam, tak hanya perahu saya yang mengarungi Rawa Pening. Beberapa kapal terlihat membawa wisatawan baik yang kembali pulang ke dermaga Kalibiru, atau yang sama-sama menuju ke Kampoeng Rawa. Terlihat mereka mengabadikan suasana alam Rawa Pening yang indah dengan kamera dan HP-nya.