Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Get Lost in" Pulau Gag, Raja Ampat

22 November 2017   16:49 Diperbarui: 22 November 2017   17:01 4396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor tempat kami menginap semalam (Dokpri)

Berhasil menginjakkan kaki di puncak bukit salah satu dari gugusan pulau karts hijau di Wayag, sangat menakjubkan bagi saya. Soalnya, ini destinasi wisata yang menjadi impian banyak orang.  Tak hanya itu, guyuran gerimis yang membuat basah kuyub pakaian, tetap hati ini merasa puas dan bahagia.

"Setelah Wayag kita akan menuju ke Piaynemo. Yah, sekitar tiga jam perjalanan" jelas Pak Samuel Korwa. Saya, Sabet, Holy, Yansen, Fretes, Icad, Bu Erni dan Ely bersama empat awak kapal, hanya bisa mengiyakan saja karena memang baru pertama kali pergi ke Raja Ampat.

Kami percaya kepada Pak Sam karena beliau sudah acap kali menyambangi Wayag, Piaynemo serta lokasi lainnya di kepulauan Raja Ampat. Sementara itu, Om Papua, nahkoda, mengendalikan kecepatan speedboat-nya dengan kencang. Dengan tenaga 400 PK, speedboat mampu menerjang ombang dan angin laut.

Di tengah perjalanan tiba-tiba turun hujan lebat. Ombak laut bergelombang tinggi. Jarak pandang terhalang oleh kabut akibat derasnya hujan. Kami semua merasakan terombang-ambing di tengah lautan bebas Halmahera. Speedboat bekerja keras memecah ombak. Doa agar kami semua selamat, saya panjatkan dalam hati.

Meninggalkan daerah Wayag (Dokpri)
Meninggalkan daerah Wayag (Dokpri)
"Kok nggak sampai-sampai ya. Masih jauhkan?" tanya Fretes yang tampak menggigil dan pucat pasi. Pak Sam sebagai pemandu kami, mengatakan bahwa Om Papua, nahkoda kapal, sudah hafal jalan. Dimohon untuk tenang saja. Saya tanyakan tentang GPS dengan maksud agar arah kapal tidak kesasar. Kembali pak Sam mengatakan bahwa aplikasi GPS sudah ada di hape. Hanya karena tidak ada jaringan internet, susah mau dapat.

Dalam kondisi buruk itu, Fretes mengeluh perutnya kram, mual. Seluruh badannya dingin dan kedua kakinya mengejang. Orang bilang, Fretes sedang mengalami panic attack (serangan panik). Penyebab panik umumnya berasal dari rasa ketakutan (phobia) terhadap kondisi lingkungan yang mengancam keselamatan dirinya.

Langit mendung (Dokpri)
Langit mendung (Dokpri)
Bu Erni dan pak Sam bertindak cepat dan segera menolong Fretes dengan menggosok minyak kayu putih agar badannya hangat dan memberi minum. Sementara itu, perut saya mual ingin muntah tapi tidak keluar apa-apa.

Hampir satu jam lebih kami terombang-ambing di tengah laut. Saat itu, di mana posisi kami tak ada yang tahu. Hanya doa dan mohon keselamatan, kami panjatkan bersama.

Hujan mulai reda. Ombak laut mulai bersahabat kepada kapal kami. Tetapi tantangan masih kami hadapi. Langit mulai gelap. Sejauh mata memandang tak terlihat bayangan hitam pulau. Om Papua mulai gelisah sambil melambatkan kecepatan kapal. Pelan tapi pasti, akhirnya kami melihat seberkas cahaya di ujung pulau. Dengan gesit, om nahkoda membelokkan kapalnya dan memburu seberkas sinar itu.

Diterma dengan ramah oleh Warga Gag (Dokpri)
Diterma dengan ramah oleh Warga Gag (Dokpri)
"Kita sampai di mana pak Sam?" tanya saya penuh harap. "Kita singgah di pulau Gag. Pulau ini masih merupakan salah satu pulau pada gugusan kepulauan Raja Ampat. Letaknya di bagian Barat Kepala Burung Irian dan masuk dalam Distrik Waigeo Selatan. Saya pernah singgah di sini untuk bantu pemerintah membuat pemetaan untuk pabrik Nikel" jawab Pak Sam dan membuat hati kami lega.

Kapal ditambatkan di dermaga. Penerangan di dermaga sangat minim. Saya dan yang lainnya keluar dari kapal sambil menyalakan senter dari hape masing-masing. Kedatangan kami menarik perhatian warga Kampung Gambir. Langkah kami diikuti sampai ke rumah kepala kampung. Dalan kondisi pakaian masih basah, kami diterima di rumah kepala kampung.

Saya bercerita panjang lebar kepada tuan rumah, mengapa kami bisa kesasar di pulau Gag. Kepala kampung dan beberapa warga menerima kami dengan ramah. Kopi hangat pun disuguhkan kepada kami. Saya pun langsung menyeruput kopi itu untuk mengusir rasa dingin dan panik kami. Saya duduk melantai, dengan kaki saya selonjorkan untuk melepas kekakuan pada sendi-sendi.

Viar, tranportasi barang dan orang di Gag (Dokpri)
Viar, tranportasi barang dan orang di Gag (Dokpri)
Dari rumah kepala kampung, kami dan barang bawaan dievakuasi ke Kantor Kampung Gag dengan menggunakan Viar, sepeda motor roda tiga. Jaraknya ke kantor, lumayan jauh dan kondisi jalannya becek habis hujan. Di kantor itulah, kami mandi dan disiapkan dua ruangan untuk tidur beralaskan tikar. Bahkan, Fretes yang tadi sakit mendapat bantuan tenaga medis dan obat dari klinik Pabrik Nikel.

Setelah selesai mandi, kepala kampung mengundang kami untuk makan malam bersama dengan lauk ikan Kakap goreng dicolok dengan rica-rica. Begitu lahap kami makan karena kelaparan sejak masih di atas kapal. Sebenarnya makanan khas penduduk, adalah Papeda atau bubur sagu yang dimakan bersama ikan berkunyit.

Luas pulau Gag sekitar 6.500 hektar. Dari obrolan kami dengan warga, pulau Gag dihuni sekitar 600 jiwa dan lebih banyak pria daripada wanita. Kata "Gag" berarti teripang dalam bahasa Weda, bahasa yang digunakan oleh penduduk Kepulauan Halmaera. Konon, dulu Pulau Gag tak berpenduduk dan hanya digunakan untuk berkebun yang datang dari Pulau Gebe.

Jejak kemenangan pasukan Trikora dalam mengembalikan Irian Jaya kepangkuan NKRI (1963), tercermin dari nama Kampung Gambir. Kata "gambir" sebetulnya berasal dari kata gembira karena sukacita atas kembali Pulau Gag ke wilayah Irian Jaya (Papua). Pertambanagan Nikel pun akhirnya menjadi mata pencaharian warga. Tambang Nikel ada di Pulau Gag sejak zaman kolonial Belanda hingga tahun 1972 terjadi nasionalisasi perusahaan milik Belanda.

Selain beragama Kristen, sebagian besar (95%) penduduk Gag beragama Islam. Namun demikian, kepercayaan terhadap hal-hal magis masih kuat dipegang oleh penduduk. Penangkapan ikan di laut menjadi andalan kebutuhan ekonomi, di samping pemanfaatan sumber daya hutan dan berkebun.

Puskesmas Pembantu (Dokpri)
Puskesmas Pembantu (Dokpri)
Saya semakin penasaran mendengarkan kisah tentang Pulau Gag.  Transportasi ke pulau ini dilayani kapal perintis jalur Halmahera ke Sorong dan singgah ke Gag dua kali dalam sebulan dengan jarak tempuh 4 jam dari Sorong.

"Harga bensin di sini bisa mencapai Rp. 100.000,- per liter. Pasokan BBM boleh dikata langka. Pulau Gag disebut juga pucuknya kepulauan Raja Ampat, dan termasuk dalam wilayah 3 T, yaitu pulau terluar, terdepan dan tertinggal" kata Pak Sam memungkasi cerita tentang pulau Gag.

Meninggalkan Pulau Gag (Dokpri)
Meninggalkan Pulau Gag (Dokpri)
Pagi harinya (17/6/2017) sekitar pukul 05.30 kami meninggalkan Pulau Gag. Udara pagi nan sejuk membalut langkah dan ucapan terima kasih kami. Terucap banyak terima kasih atas kebaikan dan keramahan warga penduduk Gag yang menerima kami dengan tulus iklas dan menyediakan tempat bagi kami untuk bermalam dan memberi kami makan malam dan makan pagi.

Langit pagi begitu cerah. Om Papua menghidupkan mesin speedboat. Setelah semua masuk kapal, kami berangkat mengarungi lautan untuk menuju ke Homestay Piaynemo, ikon kedua Raja Ampat dengan hati bersyukur.

Homestay Piaynemo (Dokpri)
Homestay Piaynemo (Dokpri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun