Kami saling menyapa dan membalas dengan mengucapkan selamat siang kepada mereka. Tampaknya mereka sudah terbiasa dengan kedatangan para wisatawan di kampung mereka.
Daftar Kunjungan Wisatawan (Dokpri)
Pak Sam mencari rumah kepala kampung untuk membayar ijin masuk kawasan wisata Kampung Selpelei, termasuk Pulau Wayag, Â Kawei dan sekitarnya. Saya melihat pak Sam menyerahkan uang 1 juta rupiah kepada kepala kampung. Dalam surat ijin itu, disebutkan apabila kapal atau speedboat melanggar aturan adat Kampung Selpelei akan dikenakan sanksi adat 2 kali lipat yaitu sebesar 2 juta rupiah.
Membaur dengan anak-anak Kampung Selpelei (Dokpri)
Uniknya di kampung itu disediakan toilet bagi mereka yang ingin buang air. Tak hanya itu, ada sebuah rumah dijadikan warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, pemiliknya warung ternyata orang Jawa Timur.
Setelah mengantongi "surat jalan" dari adat kampung Selpelei, kami melanjutkan perjalanan menuju Pos Wayag melewati Teluk Kabui. Pos ini, bukan hanya untuk melapor kedatangan kami saja tetapi ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) atau Suaka Alam Perairan (SAP) Waigeo sebelah Barat. Tak heran pos Wayag dikenal sebagai Pos CI (Conservation International).
Tetiba di dermaga Pos CI, kami disuguhi dengan panorama alam yang sungguh indah. Hamparan pasir putih dengan air laut jernih kebiruan serta aneka macam ikan berenang di pinggir pantai dengan bebasnya.
"Marjo kamari. Lihat di sini banyak ikannya. Tuh lihat ada anak ikan hiu, ikan Moluska, ikan Kakak Tua dan ikan lainnya. Tolong bawa roti ya, untuk kase makan ikan" teriak Holy membuat saya penasaran untuk segera menghampiri.
Begitu melihat banyaknya ikan, kejenuhan berlayar di atas kapal sirna seketika. Kami berlari-lari di atas pasir putih dan yang paling seru adalah memberi makan ikan-ikan. Saat anak ikan hiu datang, Holy menjerit karena takut digigit. Padahal anak Hiu tidak akan menggigit, kata warga di situ, namun dianjurkan tetap waspada. Bahkan kami diberitahukan agar tidak menangkap ikan karena dianggap melanggar adat "sasi".
Makan siang di atas dermaga Pos CI, sungguh mengasyikkan. Sambil menyantap ayam goreng, saya dihibur oleh ikan-ikan yang berenang ke sana ke mari dengan bebasnya. Kejernihan air laut membuat ikan-ikan begitu jelas dipandang mata.
Pasir Putih di Pos CI (Dokpri)
Eksotisme pulau Wayag, ikonnya Raja Ampat, sudah menunggu. Speedboat dinyalakan mesinnya. Pos CI kami tinggalkan. Sesampainya di gugusan pulau Wayag, tiba-tiba hujan turun. Meski tidak terlalu lebat, namun kami batal masuk terowongan pada salah satu pulau. Konon, terowongan ini bagian lain dari daya tarik destinasi wisata ke Wayag. Pak Sam hanya menunjukkan jarinya ke lokasi terowongan itu.
Meski hujan tetap indah (Dokpri)
"Kalau hujan begini saya rasa nggak usah naik ke puncak bukit ya?" tanya saya kepada rombongan. "Terserah Bapak noh, tunggu jo di kapal. Mar torang suka mo naek pak. Rugi jauh-jauh datang nyanda mo naek" kata Sabet dengan logat Manadonya.
Saya sempat ragu. Dalam benak saya, memanjat tebing batu karst penuh resiko. Takut terpeleset jelas terpikirkan apalagi dalam kondisi hujan seperti sekarang. Dalam kegalauan itu, Pak Sam dan isterinya yang berbadan gemuk tampak bersemangat untuk trekking ke puncak.
Lihat Travel Story Selengkapnya