Mendaki gunung kini sudah menjadi kegiatan yang digandrungi oleh banyak orang. Bukan zamannya lagi mendaki hanya untuk mencari sensasi. Lebih dari itu, mendaki gunung dimaknai sebagai hidup sehat dan kebugaran dengan cara melakukan kegiatan jalan-jalan sehat (JJS) di pagi hari.
Mengeluarkan keringat, melemaskan otot-otot kaki, menikmati indahnya pemandangan alam, memperkokoh tali persaudaraan, itulah makna pendakian yang dicari. Tak heran mendaki gunung itu sebuah fun trip kendati tak lepas dari melelahkan.Â
Sabtu pagi (19/8) saat mentari masih terlelap tidur, saya dan penyuka JJS sudah berkumpul di halaman sekolah Lokon. Sedianya mau berangkat pukul 04.30 namun nyatanya kami berangkat pukul 05.21. Menunggu semua berkumpul menjadi alasan utama keterlambatan.
Popularitas gunung Lokon tak lepas dari kisah miris yang sering dihembuskan oleh warga setempat sebagai gunung berbahaya karena seringnya erupsi. Tak hanya itu, gunung ini sudah memakan korban tewas beberapa pendaki gunung.
Kaldera (kawah) Tompaluan Gunung Lokon berada bukan di puncak gunung tetapi di punggung. Itulah sebabnya pendakian tidak harus ke puncak gunung. Bisa melhat kaldera yang menjadi pusat letusan (erupsi vulkanik) dan berjalan di cincin (bibir) kawah, sudah terpuaskan. Apalagi kalau asap fumarol (belerang) yang keluar dari kaldera cukup banyak menjadi fenomena alam yang indah dilihat.Â
Jarum jam menunjuk angka 05.12 WITA. Sejenak kepala saya mendongak ke atas untuk melihat ke langit. Di ufuk timur, tampak ada gumpalan awan hitam menutupi hingga kesempurnaan matahari terbit terhalang. Saya ingat ramalan cuaca bahwa hari ini berpotensi turun hujan dan matahari hanya mengintip dari balik awan. Kondisi ini sempat membuat ragu. Hanya karena tekad dan kebersamaan keraguan pendakian karena cuaca itu sirna. Bahkan, cerita dan obrolan hangat dan lucu di sepanjang jalur trekking ke puncak Gunung Lokon makin menyemangati kami.
Medan jalur pedakian yang saya dan rombongan lalui, tidaklah terlalu menatang. Cukup mengikuti bekas aliran lava lahar yang sudah membatu dan praktis tak ditumbuhi rumput ilalang setinggi manusia. Meski demikan, karena kontur jalannya bebatuan yang bergelombang dan menanjak, saya beberapa kali berjalan merangkak. Untung sepatu olah raga saya tak mudah membuat terpeleset saat berjalan di atas bebatuan dan pasir.Â
Untuk mengimbangi capeknya berjalan, kami sempat istirahat kurang lebih tiga kali. Saat istirahat, tenggorokan saya basahi dengan air mineral untuk menghilangkan rasa dahaga. Begitu pun yang lain dan hanya minum sekedarnya saja.
"Dari mana mereka dan berapa jumlahnya, Om?" tanya saya kepada pemandu rombongan saat melewati saya. Lalu dijawab, mereka turis dari Perancis berjumlah 9 orang. Seketika saya merasa kagum karena mereka sudah tua berkeriput tetapi staminanya kuat berjalan. Kehadiran turis Perancis ini membakar adrenalin kami untuk bergerak meneruskan pendakian seperti tak ingin titik puncak pendakian didahului oleh orang asing ini.
Akhirnya kami tiba di bibir (cincin) kawah Tompaluan hampir bersamaan dengan turis asing tadi. Untuk sampai ke dekat bibir kawah, sekitar 300 meter kami harus berjalan melewati tanjakan pasir bebatuan besar dan kecil yang licin dan mudah terpeleset.
Dari bibir kawah kami sempat memperbincangkan sudah sampai mana para turis yang turun ke kawah. Postur tubuh mereka tidak begitu kelihatan jelas dari tempat saya berdiri di bibir kawah. Perlu konsentrasi untuk bisa melihat dan untungnya ada yang berjaket merah sehingga kelihatan meski kecil. Saat itu, asap belerang yang keluar dari kawah tak begitu banyak dan tebal, mungkin ini yang memicu mereka turun ke kawah.