Tomohon adalah negeri khayangan dengan janji keindahan alamnya bagi pelancong yang berlibur ke Manado. Kota sejuk pegunungan itu tak hanya berbalutkan suburnya tanaman hortikultura dan aneka bunga.
Kepada setiap pelancong, Tomohon memberikan gratis udara bersih tanpa henti yang mengalir dari hutan perbukitan di kaki Gunung Mahawu(1324 m) dan Gunung Lokon (1580 m). Puncak Temboan di desa Rurukan (800 mdpl) salah satu objek wisata yang menyuguhkan alam eksotik saat matahari terbit.
Janji bertemu dengan sang fajar di Puncak Temboan itu, membuat saya harus bangun subuh. Ini gegara Leo, fotografer dari Yogya. Dia tamu sekolah yang sedang menggarap "yearbook" kelas 9.
Yuda, Pradah, Leo, Chena, dan saya siap meluncur ke Puncak. Sisa rasa kantuk masih menggantung di mata. Tapi biarlah. Minggu subuh (12/3) masih gelap. Dinginnya udara Tomohon terasa di badan. Nggak heran, jaket jadi andalan untuk melawan dingin. Suhu udara rata-rata 20 derajat Celsius.
"Ya berhenti di sini. Kita jalan sebentar ke arah pondok itu" kata saya kepada Leo dan teman lainnya untuk turun dari mobil.
Dengan hanya melompat, kami bisa menerobos masuk ke dalam. Lolongan anjing peliharaan warga, menyambut kedatangan kami. Masih terdengar suara binatang malam sayup-sayup menemani langkah kami.
Leo, Pradah, Chena dan saya asyik menenteng kamera dan tripod. Tetiba di depan rumah pondok, semua bawaan di taruh di atas meja. Lalu kamera dipasang di tripod. Langit masih gelap. Garisan pedaran lampu kota Tondano masih terlihat jelas kelap-kelipnya.
Jarum jam menunjuk pada angka lima lebih lima belas. Ufuk Timur mulai berubah warna dari gelap menjadi terang deangan perpaduan cantik warna biru, jingga, merah dan kuning.
Chena, satu-satunya cewek, mulai gelisah dengan setingan kamera. Leo membantunya dengan memasang setelan "bulb" untuk tiga menit. Namun, Chena tak puas melihat hasilnya. Diubah setingan kameranya ke model "slow speed" 30 detik.
Semua sibuk ingin segera "bertemu" dengan sang fajar. Menjemput matahari terbit lewat lubang rana kamera masing-masing, itulah asyiknya di Puncak Temboan.
Nun jauh di sebelah Timur, mata terantuk pada samarnya siluet Gunung Dua Saudara yang bertengger adem di Bitung. Sementara itu, mentari pelan-pelan mulai mengintip dari sela-sela gerombolan awan. Pedarnya merah keemasan bersinar kemilau.
Sosok Gunung Klabat menjadi titik fokus yang menggenapi keindahan alam dari Puncak Temboan. Langit yang beranjak terang, menggoda hati untuk bersyukur atas indahnya ciptaan Tuhan.
Ketika kami membereskan semua bawaan, tiba-tiba seorang Bapak menyapa kami. "Pak bole isi kotak derma di sini?" Yuda yang sejak tadi tidak ikut ambil foto, paham dengan maksud dari Bapak itu.
Dua lembar uang warna hijau dan ungu, diserahkan ke bapak tadi. "Sebentar siang hingga sore kami jual kopi dan pisang goreng untuk pengunjung yang membutuhkan" imbuh Bapak tadi memberi keterangan kepada kami.
Setelah menyerahkan uang derma, kami pamit dengan membawa segudang pengalaman bertemu fajar di Puncak Temboan.