Tonggak-tonggak besar itu jumlahnya ada 12 buah. Enam tonggak di sebelah Selatan dan enam yang lain di sebelah Utara. Tonggak itu dipancangkan persis di belakang tulisan Benteng Moraya. Uniknya setiap tonggak diukir dalam bentuk relief gambar dan informasi tentang sejarah perang Tondano yang pertama (1661-1664) hingga perang Tondano ke empat (1807-1809).
Perang Tondano Pertama (1661-1664), terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan perang rakyat di sekitar danau Tondano, sebelah selatan Kota Tondano (dahulu disebut Minawanua), melawan pasukan kolonial Belanda. Belanda sedikit kewalahan karena kurang lebih 1.400 laskar (termasuk kaum perempuannya) terlibat dalam pertempuran di atas air dan rawa.
Perang Tondano Kedua (1681-1682) ini disebabkan oleh perlakuan semena-mena Belanda (VOC) yang menyalahi Perjanjian 10 Januari 1679 tentang persekutuan-persahabatan antara Minahasa dan Belanda, (ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit), dan Pedro Rantij (Ranti).
Karena Walak Tondano tidak mau kompromi dengan kompeni Belanda, maka kawasan Tondano tepatnya di Minawanua diserang oleh pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompani Belanda kawasan Minawanua itu Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).
Perang Tondano Ketiga (1707-1711) akibat dari seluruh Walak di Minahasa pada umumnya, dan khususnya Walak Tondano tidak tahan atas penderitaan akibat kekejaman bangsa Belanda tersebut. Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa.
Perang Tondano Keempat (1807-1809), lebih seru karena berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), “menyatakan apabila, pihak kompeni Belanda tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan-pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir akan melawan kompeni Belanda dengan cara, penghentian pemasokan dan perdagangan beras; tidak membayar hutang sandang; tidak mengizinkan seorang pemuda untuk menjadi serdadu kompeni; tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa.
Ke-12 tonggak yang ditancapkan di halaman depan Benteng Moraya membuka pikiran saya tentang gigihnya para Tonaas dalam perang Tondano abad 16 dan 18.
Setelah membaca tonggak-tonggak Benteng, saya kemudian berjalan-jalan ke seluruh komplek objek wisata ini. Di Benteng Moraya ini, saya bisa naik ke menara berlantai empat dan di lantai. Berjalan ke belakang, tiang-tiang kayu berukuran besar dan berusia ribuan tahun bekas Benteng yang dibakar Belanda, teronggok rapi berjajar. Tak hanya itu, saya melihat Waruga (Nisan) berjajar rapi sebagai bukti sejarah perjuangan para perwira perang dulu.
Kata “Moraya” berarti di seluruh kawasan Tondano (pada perang 5 Agustus 1809) telah digenangi darah dan bau anyir dari para korban perang. Demikian petugas itu menjelaskan kepada saya. Di ufuk Barat, senja mulai mengintip. Sejenak biasnya membuat menara Benteng menjadi siluet, menjadi tanda malam segera tiba. Akhirnya kami meninggalkan objek wisata sejarah dan budaya Benteng Moraya dengan hati lega. Sekarang perang Tondano sudah saya ketahui.
(Dikumpulkan dari berbagai sumber tentang perang Tondano).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H