Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Benteng Moraya, Kisah Perang Tondano

31 Januari 2017   20:00 Diperbarui: 1 Februari 2017   10:24 13603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tonggak-tonggak besar itu jumlahnya ada 12 buah. Enam tonggak di sebelah Selatan dan enam yang lain di sebelah Utara. Tonggak itu dipancangkan persis di belakang tulisan Benteng Moraya. Uniknya setiap tonggak diukir dalam bentuk relief gambar dan informasi tentang sejarah perang Tondano yang pertama (1661-1664) hingga perang Tondano ke empat (1807-1809).

Tonggak sejarah (dokpri)
Tonggak sejarah (dokpri)

Tiang balok kayu hasil penggalian di lokasi (dokpri)
Tiang balok kayu hasil penggalian di lokasi (dokpri)
12 tonggak yang terpancang di muka Benteng, mengkisahkan betapa heroiknya perlawanan orang Tondano (Minawanua) hingga titik darah penghabisan. Tercatat ada empat kali perang Tondano.

Perang Tondano Pertama (1661-1664), terjadi pada tanggal 1 Juni 1661. Perang ini merupakan perang rakyat di sekitar danau Tondano, sebelah selatan Kota Tondano (dahulu disebut Minawanua), melawan pasukan kolonial Belanda. Belanda sedikit kewalahan karena kurang lebih 1.400 laskar (termasuk kaum perempuannya) terlibat dalam pertempuran di atas air dan rawa.

Perang Tondano Kedua (1681-1682) ini disebabkan oleh perlakuan semena-mena Belanda (VOC) yang menyalahi Perjanjian 10 Januari 1679 tentang persekutuan-persahabatan antara Minahasa dan Belanda, (ditandatangani oleh Robertus Padttbrugge dari pihak Belanda, dan dari pihak Minahasa ditandatangani oleh Maondi (Mandey), Capitaine Pacat (Paat), Soepit (Supit), dan Pedro Rantij (Ranti).

Karena Walak Tondano tidak mau kompromi dengan kompeni Belanda, maka kawasan Tondano tepatnya di Minawanua diserang oleh pasukan Belanda dan antek-anteknya. Bagi kompani Belanda kawasan Minawanua itu Boven Tondano (tempat tinggal orang Tondano), merupakan kawasan yang dijadikan tempat berkumpul para ekstrimis (Pangalila).

Perang Tondano Ketiga (1707-1711) akibat dari seluruh Walak di Minahasa pada umumnya, dan khususnya Walak Tondano tidak tahan atas penderitaan akibat kekejaman bangsa Belanda tersebut. Verdrag 10 September 1699, dianggap merupakan politik tipu daya terhadap walak-walak Minahasa.

Waruga, Gugurnya para pahlawan perang (dokpri)
Waruga, Gugurnya para pahlawan perang (dokpri)
“Lebih baik menghadapi perompak-perompak Mingindanou daripada dikunjungi kompeni Belanda dan antek-anteknya yang harus dengan terpaksa menyerahkan hasil-hasil pertanian (padi) kepada mereka” demikian semboyan perang orang Tondano terhadap Belanda dengan menggunakan taktik gerilya.

Perang Tondano Keempat (1807-1809), lebih seru karena berlandaskan semangat Mapalus (tolong-menolong), Maesa (bersatu), dan Matuari (turunan Toar-Lumimu’ut), “menyatakan apabila, pihak kompeni Belanda tidak menghentikan pelanggaran terhadap Verbond 10 Januari 1679, dan pemaksaan-pemaksaan yang bertentangan dengan adat, maka seluruh Walak Minahasa yang hadir akan melawan kompeni Belanda dengan cara, penghentian pemasokan dan perdagangan beras; tidak membayar hutang sandang; tidak mengizinkan seorang pemuda untuk menjadi serdadu kompeni; tuntutan pemulangan serdadu-serdadu dari luar Minahasa.

Ke-12 tonggak yang ditancapkan di halaman depan Benteng Moraya membuka pikiran saya tentang gigihnya para Tonaas dalam perang Tondano abad 16 dan 18.

Setelah membaca tonggak-tonggak Benteng, saya kemudian berjalan-jalan ke seluruh komplek objek wisata ini. Di Benteng Moraya ini, saya bisa naik ke menara berlantai empat dan di lantai. Berjalan ke belakang, tiang-tiang kayu berukuran besar dan berusia ribuan tahun bekas Benteng yang dibakar Belanda, teronggok rapi berjajar. Tak hanya itu, saya melihat Waruga (Nisan) berjajar rapi sebagai bukti sejarah perjuangan para perwira perang dulu.

Senja di Benteng Moraya (dokpri)
Senja di Benteng Moraya (dokpri)
Monumen Benteng Moraya yang telah menghabiskan dana anggaran sebesara 8,4 M ini dilekapi dengan Amphiteater dan pusat kuliner. Sayang, kedua bangunan ini belum berfungsi. Saya sempat bertanya kepada seorang petugas yang sedang memasang Baliho bertuliskan Festival Benteng Moraya dalam rangka Pesona Minahasa 2017 dan salah satu ivennya adalah Karnaval Bendi Hias (29/1). Apa arti Moraya?

Kata “Moraya” berarti di seluruh kawasan Tondano (pada perang 5 Agustus 1809) telah digenangi darah dan bau anyir dari para korban perang. Demikian petugas itu menjelaskan kepada saya. Di ufuk Barat, senja mulai mengintip. Sejenak biasnya membuat menara Benteng menjadi siluet, menjadi tanda malam segera tiba. Akhirnya kami meninggalkan objek wisata sejarah dan budaya Benteng Moraya dengan hati lega. Sekarang perang Tondano sudah saya ketahui.

(Dikumpulkan dari berbagai sumber tentang perang Tondano).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun