Setelah “bapontar” (rekreasi) di Pantai Triple M, Kolongan, Kombi, Minahasa, saya pulang ke Tomohon. Jarak antara Tomohon ke pantai Triple M, sekitar 38 km dan ditempuh dalam waktu 1 jam 15 menit. Oh ya, kami bapontar karena hari ini libur Tahun Baru Imlek (28/1). Rombongan terbagi dalam tiga kendaraan. Satu bus Elf dan dua mobil pribadi.
Dalam perjalanan pulang itu, saya mengutarakan kepada teman-temn saya di mobil bahwa nanti kita singgah di Benteng Moraya. Sambil menyetir mobil, saya mengajukan pertanyaan kepada teman saya, “Mengapa sampai terjadi Perang Tondano? Apa penyebabnya?”.
Teman saya Chres (paling tua) berkisah tentang sejarah Minahasa tempo dulu. Karena kisahnya panjang, maka saya buat ringkas saja.
Musuh bebuyutan orang Tondano (lebih tepat disebut Minahasa) pada abad ke 16 hingga abad ke 19, tak lain adalah Belanda, lebih tepatnya Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC) yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602.
“Pemicu terjadinya perang Tondano ada dua hal. Yang pertama, soal Kopi. Dulu cengkih, kopra dan beras belum dilirik Belanda. Justru kopi yang diburu karena pada waktu itu harganya melambung tinggi seiring dengan Kas negara Belanda menjadi tipis akibat perang di Eropa”.
“Memang Minahasa juga penghasil beras terbesar terutama di sekitar Danau Tondano. Tetapi beras bukan menjadi pemicu perang saat itu (1808-1809). Perdagangan atau barter beras semata-mata untuk kebutuhan logistik Armada Dagang dan para prajurit penjaga Benteng Fort Amsterdam di Manado” lanjut Chres.
Pemicu yang kedua, gara-gara ambisinya Herman Willem Daendels, seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811.
Kerja rodi pembuatan jalan dari Anyer ke Panarukan yang digagas Daendles itu, mewajibkan Residen Manado yaitu Predigger merekrut sekitar 2.000 pemuda suku-suku Minahasa pemberani, untuk dijadikan serdadu dan kemudian dikirim ke Jawa. Namun perekrutan itu ditolak oleh para Tonaas dari Tondano, Tomohon dengan menunjukkan sikap antipati pada penjajah atau pihak kompeni. Salah satu alasannya, antek-antek Belanda yang merekut pemuda berlaku dan bersikap kasar serta memanfaatkan sebagai penagih utang.
Tetiba di benteng Moraya, saya sedikit kesulitan untuk memakir mobil karena tempat parkir sudah penuh. Banyaknya mobil dan sepeda motor yang diparkir, menandakan Benteng Moraya memang sedang memikat banyak wisatawan untuk datang.
Datang untuk berfoto ria dan ada yang naik ke menara berlantai empat. Sementara di depan dekat jalan raya, orang berkerumun dan berfoto ria di tulisan Benteng Moraya yang dicat merah. Saya juga melihat beberapa wisatawan mengamati tonggak-tonggak besar dengan relief bergambar dan berkisah tentang sejarah perang Tondano.