Namanya Hidden Canyon Beji Guwang. Itulah jawaban Guido, teman traveling saya yang lebih dari 10 tahun tinggal di Bali. Guido menjawab pertanyaan klasik saya. Ada objek wisata baru lagi di Bali? Pertanyaan saya tambah lagi. Baguskah?
“Daripada kamu tanya terus besok (8/1/2017) kita ke sana” ujarnya dengan nada memaksa. Dijawab begitu, hati saya membuncah senang. Nggak sia-sia saya pulang lewat Denpasar.
Siang itu, langit tampak cerah. Hawa panas membuat tenggorokan cepat mengering. Satu botol air mineral sudah siap dibawa bersama kamera. Guido juga menasehati agar bawa baju kaos dan celana cadangan apabila nanti yang dipakai basah. Handuk? Boleh juga katanya.
Meski Guido terlambat menjemput, tapi bayangan Hidden Canyon memberikan suntikan semangat saya untuk segera sampai tujuan. Dalam setiap traveling, tempat yang belum pernah dikunjungi selalu membakar adrenalin saya yang kemudian berubah menjadi penasaran.
Dari Kuta menuju Guwang, perjalanan dengan menggunakan mobil hanya ditempuh sekitar 1 jam. Berjarak 24 km dari Kuta. Kebetulan lalu lintas lancar. Ini disebabkan peak season-nya sudah lewat. Kalau wisatawan padat, lalu lintas bisa macet, terutama di bundaran pintu Tol Bali Mandara.
Saya berjalan lebih dahulu menuju tiket masuk dan membayar Rp. 15.000,- per orang. Petugas kemudian memanggil seorang pemandu bernama Wayan untuk mengantar kami. Yang dipanggil langsung memperkenalkan diri sambil bersalaman.
Sambil menunggu Guido ganti celana pendek, (saran petugas tiket) saya ngobrol dengan Wayan sekitar tempat wisata ini.
Warga mendatangi ngarai Guwang untuk memancing ikan. Di sekitar ngarai juga ada Pura Beji yang terdapat pancuran air yang digunakan untuk kebutuhan minum dan air suci upacara di pura-pura.
Wayan juga cerita bahwa lokasi ngarai ini sangat mudah ditemukan karena tak jauh dengan pasar seni Sukowati. “Sekarang ada pasar seni baru yang bernama Pasar Seni Guwang” imbuh Wayan seperti mau mengingatkan kami untuk singgah sesudah dari sini.
Mengenal asal usul wisatawan, bagi pemandu adalah keramahtamahan dalam pelayanan. Ini penting karena pemandu selain menguasai seluk beluk ngarai, juga menuntun wisatawan berjalan aman saat menyusuri sungai dengan ngarai dan batu-batu licin.
Sambil menuruni anak tangga Tukad Beji, Guido bertanya “Bli Wayan, panjang rute ngarai berapa sih?”. Jawab Wayan, “700 meter, kita nanti melewati batu-batu dan aliran sungai. Saat ini kondisi aman karena tidak hujan. Kalau hujan selain arusnya deras, tinggi air permukaan bisa membasahi celana. Tapi biasanya kalau banjir kami tidak menerima wisatawan”.
Melewati batu-batu besar di aliran sungai, menjadi tantangan saya yang pertama. Di usia paruh baya ini, yang terpikir adalah takut terpeleset, apalagi sambil menenteng kamera. Tak ayal, Wayan menjadi pegangan saya ketika saya merasa tidak mampu melewati batu-batu besar.
Tantangan kedua, berjalan merayap pada tebing batu layaknya panjat tebing dengan ketinggian tebing antara 20-30 meter, sambil melompat ke batu di depannya. Gemetar dan takut terpeleset jatuh muncul saat pindah tempat itu. Gerak refleks saya sudah tertindas oleh rasa was-was. Maklum sudah paruh baya usianya he he he.
Tekstur dan lekuk-lekuk bebatuan bertebing tampak eksotik. Aliran sungai Guwang yang jernih dan berwarna hijau saat diterpa sinar matahari, semakin indah untuk dinikmati. Berdiri di antara tebing ngarai itu, serasa berada di gua bawah tanah. Gemercik suara air yang jatuh dari atas, semakin menyejukkan hati akan sebuah petualangan.
Untuk menuju ke tempat parkir, kami harus memanjat tebing dengan bantuan seutas tali yang telah disediakan. Setelah itu kami menyusuri jalan setapak konblok di area persawahan. Karena kecapaian dan haus, kami istirahat sejenak di warung warga yang menjual makanan dan minuman. Air dan daging kelapa muda membasahi tenggorokan saya. Sambil minum kami ngobrol dengan penjual dan beberapa warga yang kebetulan sedang makan siang di warung. Tak lupa Guido memberikan tips kepada Wayan sebesar Rp. 50.000,- sebagai ucapan terima kasih atas jasanya memandu kami.
Karena banyak wisatawan yang datang, warga kemudian menjadikan objek wisata dengan membangun fasilitas pendukung, seperti toilet, tempat ganti baju, tempat jualan makan dan minum serta mengumpulkan warga untuk menjadi pemandu. Wayan bercerita jumlah pemandu setiap shift ada 15 orang. “Kalau hari ini saya bertugas, besok tidak dan begitu seterusnya sesuai dengan jadwal shiftnya. Jadi kami punya pemandu 30 orang, asli warga Guwang” jelas Wayan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H