***
Senja telah tiba. Langit mulai berubah memerah di ufuk Barat. Di balik gunung, di belakang rumah. Suara binatang malam sayup-sayup mulai terdengar.
Tiga belas tahun yang lalu. Pergumulan itu berakhir dalam satu kalimat. "Pokoknya, saya tidak mau dinomerduakan" tegas saya.
Mendengar itu, ia diam dan hanya bisa meneteskan air matanya. Ia ingin tetesan air mata ya terbang ke langit dan bergabung dengan senja. Saat itu senja akan pergi dan sebentar lagi meninggalkan kegelapan di belakang rumahku.
Wanita separuh baya itu bernama Rindu. Ia masih menangis. Ia menangisi sikapku, kataku, pendirianku dan masa depanku. Tak ada orang yang mau dinomerduakan. Kalimat itu bagi dia, bak sebuah pisau mencabik-cabik hati rindunya. Dari tahun ke tahun ia menangisi pemuda itu hingga akhirnya ia menumpahkan seluruh tangisnya di dermaga sepi, tempat saya mencari jejak perahu.
"Buka saja itu paket" kata Yudha membuyarkan lamunanku. Pisau yang sudah saya pegang kemudian mulai beraksi mencabik-cabik bungkus paket itu. Meski senja mulai menyisakan malam pada langit gelap, tapi dadaku tetap bergetar juga antara penasaran dan kejutan saat paket di buka itu.
Tiba-tiba Yudha tertawa terbahak-bahak melihat isi paket itu. Ia berteriak "Ahhhh cuma berisi tiga buah apel hijau" sambil matanya menyapu raut wajahku yang tegang.
Di antara tiga buah apel itu, ada secarik kertas. Saya ambil kertas itu lalu saya baca "Penjual Rindu".
Â
Sekian.
07.08.2016