Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Sejarah dan Angkernya Benteng Fort Rotterdam

4 April 2016   05:59 Diperbarui: 4 April 2016   11:19 2126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Nama Benteng, Fort Rotterdam (dokpri)"][/caption]Tulisan "Fort Rotterdam" dalam ukuran besar dan dicat merah, di pusat kota Makassar menyihir saya, ketika melewati di depannya dari bandara menuju ke hotel di sekitar pantai Losari. Hari itu, untuk pertama kali saya menginjakkan kaki di kota yang dulu bernama Ujung Pandang.

"Ada apa di balik bangunan berasitektur tua dan dikelilingi oleh pagar tembok tebal itu?" batin saya sambil memandangnya dari balik kaca taksi. Dalam batin, saya harus masuk ke bangunan lawas itu.

Masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Itulah linimasa ketika mengunjungi objek wisata. "Ia ada karena ada. Keadaannya adalah lingkaran waktu yang bergerak dan berproses dari dulu hingga sekarang sampai masa depan. Berkelanjutan."

[caption caption="Pintu Masuk ke Banteng (Dokpri)"]

[/caption]Di hari ketiga, Sabtu (26/3/2016) sesudah dari Bantimurung, saya singgah ke benteng Ujung Pandang, yang kemudian oleh Jenderal Cornelis Speelman diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Alasannya sih, untuk mengenang tempat kelahirannya di Belanda.

Mengubah nama benteng ini membuat dahi saya berkenyit. Segampang itukah alasan Cornelis mengubah nama benteng Ujung Pandang? Jika kompleks benteng itu dilihat dari atas bentuknya mirip "kura-kura" sedang menghadap ke laut? Atau tersembunyi alasan lain yang sifatnya politis dan ingin memperlihatkan "taring" kekuasaan di pusat perdagangan Indonesia Timur? Ah, semakin penasaran saja.

[caption caption="Turis Belanda (Dokpri)"]

[/caption]Setelah melewati pintu gerbang yang atasnya melengkung kokoh, saya dipersilahkan mengisi buku tamu. Antri sejenak. Tetiba giliran saya, saya sempat membaca buku tamu. Tercatat, para pengunjung berasal dari luar Makassar. Satu rombongan turis asing dari Belanda, dari Jakarta dan Kediri. Oh ya dari Tomohon, lupa disebut he he he.

Setelah mengisi donasi, seiring dengan mencatatkan nama dan asal di buku tamu, lalu saya menyusuri benteng mulai dari sebelah kiri. Berdiri di atas tembok setinggi 5 meter, mata saya menyapu keadaan sekeliling. Rupanya tembok yang saya pijak, ternyata berupa gundukan tanah yang tampak seperti ditalud dengan bebatuan karst. "Betapa kokohnya bangunan ini, pantaslah kalau benteng ini susah digempur" pikir saya.

[caption caption="Dari tembok, melihat bangunan dalam benteng (Dokpri)"]

[/caption]Masih di atas tembok itu, saya melihat sejumlah bangunan lawas berdiri kokoh. Secara tata letak, terbagi menjadi dua bagian. Bangunan yang menempel langsung pada tembok benteng dan bangunan yang ada di tengah dan berdiri lepas dari tembok. Ukuran tinggi bangunan rumah lebih dari 6 meter dan berlantai dua. Arsitektur rumah-rumah di benteng itu mengingatkan saya pada bangunan kota lama di Semarang dan Jakarta.

Siang itu, matahari begitu terik. Tak betah lama saya berdiri di atas tembok. Semilir udara panas pesisir pantai menyengat di badan. Kembali langkah kaki berjalan susuri jalan tembok ke arah Utara.

Di atas anjungan, tampak sepasang muda-mudi asyik bercengkerama. Tak jauh dari situ, dua kelompok kaum muda berseragam pramuka sedang berdiskusi di muka pintu tangga ke lantai bawah.

[caption caption="Markas, Galeri milik DKM (Dokpri)"]

[/caption]Ada sebuah ruang senyap di sebelah pintu yang tadi saya lalui. Saya masuk dan bertemu dengan lelaki berambut gondrong. Dipersilakan duduk dan kami pun ngobrol di ruang tamu galerinya.

"Ini kantor Dewan Kesenian Makassar (DKM)" terang mas Hadi, pekerja seni yang berasal dari Malang dan sudah 10 tahun hidup menetap di Makassar. Dari ruangan bawah salah satu rumah lawas itu, DKM berkesenian untuk publik. "Sore nanti ada pembukaan pameran lukisan di galeri Pantai Losari. Teman-teman pelukis sedang menyiapkan di sana" kata mas Hadi.

Di galeri itu saya melihat banyak lukisan bersandar pada tembok. Sebagian lukisan dipajang di dinding. Saya lihat ada sketsa gedung tua, lukisan petani sedang panen padi, wajah close up, bunga matahari dan lanskap sunset pantai. Semua lukisan itu sudah dibingkai.

[caption caption="Bangunan Kuno, Dua Lantai (Dokpri)"]

[/caption]Kemudian Mas Hadi berkisah bahwa benteng ini angker. Suatu hari, larut malam saat ia sedang nonton tv sendirian, di lantai atas terdengar suara orang berjalan. Padahal ruang atas itu terkunci. "Suara orang berjalan kesana kemari, jelas terdengar. Dak lantai ruang atas terbuat dari papan kayu ulin dan disangga oleh kayu balok besar. Dibangun pada tahun 1545 oleh Raja Gowa ke 9, kemudian benteng ini direbut oleh Belanda pimpinan Jenderal Cornelis Speelman untuk gudang penyimpanan hasil bumi rempah-rempah dari Indonesia Timur," cerita mas Hadi di luar kepala.

Sempat merinding juga, ketika dikatakan Fort Rotterdam ini angker. Dalam hati, bangunan tua berumur lebih dari 3 abad pasti aura angkernya ada. Di sisi lain, saya semakin penasaran untuk melihat ruang lantai atas berlantaikan kayu ulin tebal itu dan berumur ratusan tahun.

[caption caption="Kanal Rotterdam (Dokpri)"]

[/caption]Sebelumnya, Mas Hadi memberitahukan bahwa benteng ini sekarang dipakai untuk markas DKM, Museum La Galigo, Perkantoran, Perpustakaan. "Oh ya di bangunan pojok kanan sebelah Selatan, ada bekas penjaranya, Pangeran Diponegoro yang ditangkap pada tahun 1834 oleh Belanda dan kemudian dibuang ke Manado. Yah, saat itu pecah perang Diponegoro 1825-1830 di Jawa. Mengapa Diponegoro di bawa ke Makassar, tak lain untuk menghindari kemarahan para pengikutnya" kisah mas Hadi dengan penuh semangat.

[caption caption="Museum (Dokpri)"]

[/caption]Setelah mohon pamit, saya masuk ke museum La Galigo  hingga lantai atas. Museum ini menempati dua bangunan besar di lantai bawah dan atas, di sebelah Utara dan Selatan. Isi museum didominasi oleh barang-barang adat budaya Makassar jaman Kerajaan Gowa dengan latar belakang kisah perang antara Kerajaan Gowa dan pasukan Belanda dalam upaya memperebutkan Makassar sebagai pusat perdagangan Indonesia Timur.

[caption caption="Isi Museum Lantai Dua (Dokpri)"]

[/caption]Belanda merebut benteng ini untuk kepentingan VOC supaya dipermudah untuk menyimpan dan mengangkut barang ke kapal sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak yang tercatat dalam "Perjanjian Bonggaya" (18 Nopember 1667).

Nilai historis pada setiap barang itu tak ada gunanya kalau tidak ada pemandu wisata yang mumpuni menjelaskan sejarah di balik barang yang dimuseumkan. Beruntung, saya ketemu turis dari Belanda saat berada di museum Selatan yang berbayar Rp. 5.000,- per kepala. Sementara pemandu wisata menjelaskan kepada turis, saya nguping dan memperoleh informasi penting tentang arti dan makna barang-barang yang digelar di museum ini. Detail banget penjelasannya.

[caption caption="Mahkota Raja Gowa (Dokpri)"]

[/caption]Itulah linimasa yang menggulir dalam sebuah sejarah masa lalu, masa sekarang dan masa depan. Tonggak-tonggak sejarah itu adalah peradaban, budaya, adat istiadat dan tradisi yang memberikan edukasi bagi generasi sekarang. Fort Rotterdam telah terlibat dalam lini masa itu. Benteng ini layak disambangi oleh siapapun untuk diambil nilai dan makna sejarahnya.

Ternyata pengunjung Fort Rotterdam siang itu, cukup banyak. Terlihat selain berpasangan juga berkelompok duduk di bawah pohon-pohon sekitar halaman taman. Eksotiknya bangunan berarsitektur Belanda kuno, mengundang sepasang calon pengantin untuk foto prewedding. Tak ketinggalan ada gadis model sedang difoto di sekitar gedung. Memang kompleks benteng ini menjadi spot fotografi yang bagus.

[caption caption="Rumah Tengah (Dokpri)"]

[/caption]Saya menyempatkan diri untuk menengok penjaranya Pangeran Diponegoro tapi dari luar, karena ruangan itu terkunci rapat. Upaya mengintip dari jendela kaca, sia-sia karena di ruangan itu terlihat hanya kursi meja kayu saja. Dikunci karena keramat? Mungkin.

Tak terasa hari semakin sore. Sebentar lagi matahari terbenam di ufuk Barat. Itu berarti waktunya untuk berburu keindahan sunset di Pantai Losari.

[caption caption="Prewed (Dokpri)"]

[/caption]Saya bergegas untuk meninggalkan Fort Rotterdam alias benteng Ujung Pandang dengan membalut pikiran saya tentang cerita angker dan nilai sejarah serta eksotiknya bangunan Fort Rotterdam yang tak akan terlupakan.

Salam wisata. Salam Koteka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun