Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berhentilah Murung, Carilah Kupu-kupu di Bantimurung

1 April 2016   11:39 Diperbarui: 1 April 2016   15:05 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Indahnya Kupu-kupu di Danau Kassi Kebo (Dokpri)"][/caption]Masih pagi. Semilir angin bergulir sejuk menerpa di kulit. Pohon-pohon besar itu tumbuh merindang seperti payung bagi pejalan kaki di bawahnya. Sisa bau tanah sehabis hujan tercium di hidung. Jalan setapak masih kelihatan basah. Terdengar gemuruh di sekitar sungai. Belum banyak orang berwisata di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB), di Maros, Sulawesi Selatan.

 "Tiket masuknya Rp 25.000,- per orang" ucap seorang petugas di pintu masuk. Kami pun dipersilahkan masuk setelah menyodorkan dua lembar kertas yang kami beli di loket.

 [caption caption="Monumen Kupu-kupu (Dokpri)"]

[/caption]Hari ini, Sabtu (26/3/2016) saya penasaran dengan Bantimurung. Betapa tidak. Julukan "The Kingdom of Butterfly" seperti menyihir saya untuk menjejakkan kaki ke tempat itu. "Di tempat ini sedikitnya ada 20 jenis kupu-kupu yang dilindungi dan uniknya species kupu-kupu itu hanya terdapat di Sulawesi Selatan" kata seorang pemuda yang tiba-tiba saja membuntuti saya dan teman saya sejak dari pintu masuk.

Menurut Alfred Russel Wallace, dalam buku "Indonesian Archipelago" (2009), setidaknya ada 250 spesies kupu-kupu di TNBB. Angka itu hasil dari penelitiannya antara tahun 1856-1857. Di buku itu, Alfred menggambarkan keindahan kupu-kupu putih (jenis Graphium Androcles) terbang membentuk awan.

Tanpa diminta, pemuda bak seorang pemandu wisata, bercerita banyak hal tentang Kerajaan kupu-kupu. Meski singkat, pemuda itu berusaha menjelaskan mengapa di Bantimurung ini dihuni banyak jenis kupu-kupu.

 [caption caption="Sayapnya mulai patah (dokpri)"]

[/caption]"Kupu-kupu lebih suka di tempat yang lembab, dan suka hinggap dan mencari tempat untuk bertelur pohon yang disukai seperti  bunga sepatu, bunga Asoka serta pohon jeruk, sirkaya, sirih hutan" katanya. Sambil menarik napas, pemuda itu melanjutkan kisahnya.

"Sekitar 2004, TNBB dikembangkan menjadi destinasi wisata alam. Ya terpaksa pohon-pohon yang disukai oleh kupu-kupu ditebang dan beton-beton mulai tumbuh untuk mempercantik objek wisata. Akibatnya, banyak kupu-kupu bermigrasi entah kemana. Sejak 16 tahun terakhir sudah jarang ditemukan kupu-kupu di sini," cerita pemuda itu kurang bersemangat.

Miris mendengar cerita itu. Pantas saya tak melihat kupu-kupu berterbangan di sekitar air terjun. Satu kupu saya lihat sedang terbang ketika menyusuri pinggiran sungai yang ujungnya air terjun. Tak jauh dari jembatan, seorang bapak mendampingi kedua anaknya bermain air di cekungan sungai sambil duduk di atas ban dalam.

 [caption caption="Jembatan Air Terjun (Dokpri)"]

[/caption]Saya menyeberang jembatan dan langkah kaki saya arahkan ke air terjun. Kesenyapan alam di loket masuk kini berubah menjadi suara gemuruh air terjun. Tak terlihat seorang pun berani menyentuh derasnya air. Mungkin mereka takut terseret arus sungai yang saat itu tampak deras karena semalam hujan.

Puas melihat gemuruh air terjun, saya lalu menyeberangi jembatan dan mendekati air terjun dari sisi kiri yang ada anak tangga dan dibatasi pagar besi untuk pengaman. Pada saat saya berdiri di anak tangga itu, saya melihat sepasang muda-mudi sedang berpose minta difoto. Saya lalu menduga, di sini rupanya spot foto terbaik dengan latar belakang air terjun.

Tiba-tiba saya mendengar percakapan tiga orang anak muda yang berdiri di samping saya. "Tahu kenapa tempat ini disebut Bantimurung?" tanya pemuda yang berada di tengah. "Dulu sekitar tahun 1923, tersebutlah Kerajaan Simbang, bagian dari Kerajaan Maros, memiliki daerah-daerah yang dikuasai dan setiap daerah dipimpin oleh seoarang begelar Karaeng. Saat itu yang menjadi Karaeng Simbang adalah Patahoeddin Daeng Paroempa."

 [caption caption="Indahnya Air Terjun (Dokpri)"]

[/caption]"Kemudian Karaeng itu memerintahkan untuk membuat jalan dengan membuka hutan belantara. Pada suatu ketika, para pekerja takut meneruskan pembuatan jalan karena mendengar ada suara gemuruh dari dalam hutan. Karaeng Simbang bertanya kepada utusannya, dalam bahasa bugis "Aga ro merrung?" (Suara apa yang gemuruh itu). "Benti, Puang" (Air, tuanku) jawab utusannya.

Karaeng Simpang bersama para pekerja akhirnya tiba di lokasi di mana suara gemuruh itu berasal. Setelah melihatnya, Karaeng Simbang terpana melihat banyaknya air jatuh dari gunung. Lalu ia berkata dalam bahasa bugis, "Mungkin ada baiknya kalau tempat ini dinamakan Benti Merrung (air gemuruh)". 

Sejak saat itu penduduk menyebutnya dengan nama "Bantimurung" yang berasal dari kata Bentimerrung. Kini, warga mengembangkan kata itu dengan menyebut “brenti murung” untuk tempat wisata ini yang berguna bagi pengunjung yang sedang murung oleh rutinitas kerja, atau beban hidup yang berat. Bantimurung adalah tempat yang cocok untuk mengatasi kemurungan.

 [caption caption="Danau Kassi Kebo (dokpri)"]

[/caption]Di dekat saya berdiri, saya membaca papan penunjuk bertuliskan tiga lokasi yaitu Gua Batu, Danau Kassi Kebo dan Pengamatan air terjun.

Saya sempat bertanya kepada pengunjung, berapa lama jika jalan kaki menuju ke danau Kassi Kebo. Lalu dijawab sekitar setengah jam lamanya. Dengan semangat masih penasaran mencari kupu-kupu, kaki saya pun melangkah.  Awalnya harus menaiki anak tangga yang saat itu tampak basah terpancar tampias air terjun.

Pengelola balai TNBB (437 km2) sudah membuat jalan setapak dibuat dari campuran bebatuan dan semen agar tidak licin. Berjalan di jalan setapak rasanya seperti masuk hutan. Di kanan, sungai yang saat itu berwarnak coklat. Di kiri, bebatuan karst (kapur) seperti talud tebing gunung dan tumbuh pepohonan besar di antara semak belukar. Pada batang pohon besar, dimanfaatkan untuk menyampaikan informasi dari balai TNBB. 

Himbauan untuk tidak membuang sampah juga ada. Namun, hati miris melihat ada sampah plastik bekas minuman atau snack, terbuang di sekitar jalan setapak.

 [caption caption="Signage dari Kementerian Kehutanan (Dokpri)"]

[/caption]Dari air terjun ke danau Kassi Batu, terdapat warung-warung yang menjajakan makanan ringan dan kemasan minuman bagi pengunjung yang kelelahan setelah berjalan kaki.

Danau Kassi Kebo sudah di depan mata. Meski hawa udara sejuk, butir-butir keringat mulai bercucuran. Agak sedikit kecapean setelah berjalan kaki. Air danau sedikit keruh oleh lumpur tanah hingga warna airnya coklat susu. Ini akibat semalam turun hujan. Sinar matahari menembus dari sela-sela daun bambu. Sebongkah sinar cahaya menerpa tanah di pinggir danau. Daun-daun kering berserakan di sekitar.

 [caption caption="Kupu-kupu di danau Kassi Kebo (Dokpri)"]

[/caption]"Wow ada kupu-kupu bergerombol hinggap terbang lalu hinggap lagi di berkas sinar mentari di tanah pinggir danau," seru teman saya. Saya menoleh dan betul ada gerombolan kupu-kupu. Tanpa membuang waktu, kamera pun beraksi untuk memotret kupu-kupu itu. “Akhirnya saya bisa menemukan kupu-kupu di Bantimurung,” batin saya dengan bangga.

Sebenarnya yang penting bukan bisa memotret kupu-kupu itu. Tetapi kupu-kupu itu adalah presentasi alam dari "The Kingdom of Butterfly" balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang di kelola oleh Kementerian Kehutanan sejak 18 Oktober 2004.

 [caption caption="Gasebo (dokpri)"]

[/caption]Kupu-kupu itu, meski sedikit jumlahnya, membuat perasaan saya menjadi lega. "Di sinilah tempat yang cocok untuk berhenti murung," batin saya sambil menikmati pemandangan indahnya danau Kassi Kebo dan gemerciknya air terjun kecil di ujung danau itu.

Setelah puas lalu saya berniat pulang seiring dengan berjalannya waktu  makan siang. Taman wisata Batimurung tak lagi senyap. Semakin siang semakin banyak orang datang bermain air di sekitar air terjun yang tingginya sekitar 30 meter. Tak lupa saya melihat museum dan penangkaran kupu-kupu. Tapi tidak terlalu menarik karena ada kesan kurang terawat.

 [caption caption="Penjual Souvenir (Dokpri)"]

[/caption]Sebelum masuk ke mobil, satu set gantungan kunci bergambar kupu-kupu seharga Rp. 50.000,- saya beli sebagai oleh-oleh.  Souvenir berbentuk pigura kupu-kupu banyak dijual di situ. Harga pigura kupu-kupu yang  paling murah dibandrol 150 ribu rupiah.

 

Salam wisata. Salam Koteka.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun