[caption caption="Pelabuhan Poatere Kapal Phinisi, Sejak Abad ke 14. Dokpri"][/caption]Saat sedang menikmati makan pagi, tiba-tiba notifikasi WA di hape saya menyala. “Saya sudah di parkiran hotel” tulis Liza Monalisa, traveller yang kemarin saya kenal di pantai Losari. “Siap, saya ambil kamera dulu di kamar,” balas saya lewat WA.
Jumat pagi itu (25/3/2016), kami berencana untuk berwisata ke Rammang Rammang, Maros sebelah Utara Makassar. Namun, sebelum ke wisata alam pegunungan karst itu, kami singgah di pelabuhan rakyat Paotere dan pasar ikannya.
Dari pantai Losari ke Paotere hanya berjarak 3 kilometer. Pagi itu, sekitar jam 06.30 wita, akses menuju ke palabuhan Paotere sangat padat merayap. “Macet pak jalannya,” celetuk saya kepada pak Aris, sopir kami. “Ini kan hari libur. Banyak orang ingin beli ikan untuk pesta. Makanya, lalu lintas padat ramai,” kata pak Aris, yang sudah hafal dengan suasana lalu lintas pada hari libur. Mobil Avanza putihnya, dikemudikan dengan sabar dan tenang. Akhirnya kami tiba di pintu masuk pelabuhan Paotere.
[caption caption="Jual Ikan Asin. Dokpri"]
“Mau kemana pak?” tanya petugas tak berseragam yang berdiri di pintu masuk Pelindo IV Unit Paotere. “Kami mau jalan-jalan sambil motret,” ujar pak Aris dengan logat Makassarnya. “Tiket masuknya 17 ribu pak,” ujar petugas setelah menghitung jumlah penumpang.
Saat mobil parkir di pelabuhan, saya melihat suasana pelabuhan di pagi hari sudah ramai. Banyak kapal kayu (Phinisi) sedang bersandar. Kapal-kapal Phinisi itu berukuran besar dan kira-kira tingginya lebih dari pohon yang tumbuh di pinggir pelabuhan. Liza langsung bergerak sendiri untuk memotret suasana pelabuhan Poatere dari berbagai sudut.
[caption caption="Karung Bawang Merah, dibongkar muat. Dokpri"]
“Semen itu akan dikirim ke Labuan Bajo” jelas pak Supardi, pria berdarah Bone, nahkoda yang sedang duduk santai di dermaga dekat kapal Phinisinya yang terbuat dari kayu Ulin seharga lebih dari 2 milyard rupiah. Saya pun tergerak untuk ikut duduk di sebelahnya sambil mendengarkan kisah pelayarannya.
Kemudian pak Pardi berkisah. Ada 800 sak semen Tonasa yang akan saya bawa dengan kapal hari ini. Butuh 2 hari 2 malam berlayar hingga tiba di Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Awak kapal saya ada 8 orang. Dalam sebulan saya hanya dua kali bisa berkumpul dengan keluarga. Itulah resiko sebagai pelaut Bugis. Dari Labuan Bajo ke Makasar biasanya kami membawa rempah-rempah dan kayu. “Tapi kayu sekarang sudah susah didapat,” kunci pak Pardi.
[caption caption="800 sak semen siap dikirim ke Labuhan Bajo. Dokpri"]
[caption caption="Kampung Nelayan. Dokpri"]
[caption caption="Aktivitas di pelabuhan. Dokpri"]
Bahkan lebih dari itu, kisah perang antara Belanda melawan kerajaan islam Gowa Tallo dalam perebutan monopoli rempah-rempah di Indonesia Timur, menjadi cerita heroik yang tak akan habis dikisahkan ulang oleh warga Makassar, seperti yang dituturkan pak Aris sopir rental kami.
[caption caption="Truk pengangkut menunggu barang di pelabuhan. Dokpri"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H