[caption caption="Ramai Dikunjungi."][/caption]Tujuan utamanya ke kota Batu, Jawa Timur. Namun, sesaat mobil memasuki kelokan Pujon, saya sempat membaca tulisan, “Coban Rondo”. Sambil pegang kemudi, saya membuka dialog.
“Di mobil ini ada kekasihkah? Atau ada yang membawa pacar?” Melalui spion di atas dashboard, saya melihat raut wajah mereka. Saling memandang dan akhirnya buka mulut.
“Memang kenapa?” Lalu saya jawab, “Jika ada di antara kita, berstatus kekasih atau pacar, jangan sekali-kali berani berwisata ke Coban Rondo,” kata saya dengan tegas.
“Lalu, kenapa dilarang?”
Laju mobil sejuta umat saya pelankan. Setelah menarik napas dalam-dalam lalu saya berkisah. Tak sedikit masyarakat Desa Pandesari memiliki kepercayaan bahwa di balik keindahan air terjun (Coban) Rondo, tercium aroma mistis dan angker. Ada kisah di balik air terjun Coban Rondo.
[caption caption="Legenda Coban Rondo"]
Begini legendanya. Tersebutlah sepasang pengantin baru bernama Dewi Anjarwati dari Gunung Kawi bersuamikan Raden Baron Kusumo dari Gunung Anjasmoro. Sebelum perkawinan mereka menginjak usia 36 hari atau “selapanan”, Dewi Anjarwati mengajak suaminya pergi ke Gunung Anjasmoro.
Masyarakat setempat sejak dulu memegang kuat dan menghormati tradisi selapanan (36 hari) setelah berlangsungnya pernikahan Jawa. Karena itu, orang tua Anjarwati melarang kedua mempelai pergi ke Gunung Anjasmoro. Tradisi selapanan adalah tradisi pelarangan pertemuan orang tua dengan anaknya setelah acara perkawinan. Bahkan tradisi ini sudah menjadi “folklore”.
[caption caption="Ternyata tidak angker, ramai dikunjungi."]
“Folklor meliputi legenda, musik, sejarah lisan, pepatah, lelucon, takhayul, dongeng, dan kebiasaan yang menjadi tradisi dalam suatu budaya, subkultur, atau kelompok. Folklor juga merupakan serangkaian praktik yang menjadi sarana penyebaran berbagai tradisi budaya” (Sumber: Wikipedia). Tradisi setelah selapanan adalah tradisi ketemuan besan yang dinamakan “pethukan”. Pada hari itu kedua besan dari dua keluarga saling bertemu dan praktis boleh bertemu dengan anaknya.
Kedua mempelai rupanya bersikeras untuk pergi tanpa memperhitungkan resiko yang terjadi di perjalanan. Tanpa diduga, dalam perjalanan mereka bertemu dengan Joko Lelono. Pemuda yang belum diketahui asal-usulnya ini ternyata terpikat oleh paras cantik Anjarwati. Joko Lelono langsung jatuh hati kepada Anjarwati, meski sudah bersuami.
Perkelahian antara Joko Lelono dengan Raden Baron Kusumo tak terhindarkan. Sebelumnya, para pengawal Raden Baron Kusumo sudah memerintahkan supaya Dewi Anjarwati disembunyikan di balik air terjun (coban). Perkelahian antar mereka berlangsung seru dan akhirnya Raden Baron dan Joko Lelono tewas semua.
[caption caption="Melihat Pengunjung selfie."]
Kisah yang sudah menjadi legenda ini kemudian dipercayai oleh masyarakat bahwa barang siapa datang ke Coban Rondo, nanti nasibnya seperti Dewi Anjarwati, yang menyandang status rondo atau ditinggal kekasihnya. Jika datang dengan kekasih ke Coban Rando, hubungan mereka bisa putus atau kandas. Mitos ini hingga sekarang masih bergaung di telinga para pengunjung sehingga lebih cenderung datang beramai-ramai daripada berdua.
Aroma angker Coban Rondo juga masih terdengar. Apabila anda berwisata ke air terjun Coban Rondo, hendaklah mematuhi peraturan-peraturan yang ditempel di dekat pintu masuk. Larangan ini serta merta untuk menghormati makhluk halus penunggu Cobann Rondo. Di situ pengunjung dilarang membuang sampah sembarangan, berbicara atau berteriak dengan kata-kata kotor atau tidak sopan, bertindak kasar terhadap monyet, bahkan buang air sembarangan pun bisa kena tulah. Bila dilanggar, resikonya adalah “kesurupan” oleh mahkluk halus.
Setelah yakin para penumpang tidak berstatus kekasih atau pacar, maka saya pun belok ke kanan sesuai dengan arah petunjuk yang ada. Di pintu masuk, kami harus membayar lebih dahulu karcis masuk per orang Rp. 15.000,- dan Rp. 10.000,- untuk parkir mobil.
[caption caption="Sedia Wahana Permainan "]
Saya dan rombongan datang pada saat liburan awal tahun ini. Tak heran saat itu dipadati oleh pengunjung yang sedang berliburan. Saya sempat sedikit kebingungan mencari tempat parkir saking banyak kendaraan. Untung ada petugas yang mengarahkan sehingga mobil bisa parkir di antara mobil lainnya.
Susana cukup ramai. Para pedagang minuman, makanan dan souvenir di sekitar parkir seperti ketiban rejeki dari para pengunjung yang membeli sebelum meninggalkan Coban Rondo. Saya dan teman saya berjalan kaki menuju ke lokasi air terjun. Setelah melewati jembatan kecil, berdekatan dengan pusat informasi, saya tergoda oleh tingkah para monyet yang sedang menikmati makanan “kemasan pabrik” dari pengunjung. Sebagian monyet berkejaran di antara pepohonan sambil mengeluarkan bunyi teriakan.
[caption caption="Rejeki dari pengunjung."]
Langkah kakipun akhirnya sampai di Coban Rondo. Air terjun yang indah dan memiliki ketinggian 85 meter. Melalui aplikasi Compass di smartphone, saya melihat elevasinya tercatat 1.135 m dari permukaan air laut. Curah air terjun yang terpancar pada batu di bawahnya, sungguh indah. Beberapa pengunjung tampak memberanikan diri berenang di kubangan di bawah air terjun sambil menyodorkan punggungnya untuk dipijat oleh jatuhnya air. Sebuah relaksasi alami yang patut dicoba, namun disarankan supaya hati-hati oleh angin dan curahan air yang kadang terasa keras menerpa.
[caption caption="Peta Wisata"]
Berwisata ke Coban Rondo memang asyik, tetapi legenda, mitos dan aroma mistisnya sempat membuat berdiri bulu romaku sehingga langkah kaki ini meragu di tepi jalan. Untung saja, tidak ada yang mengaku kekasih. Hanya rombongan keluarga teman saya yang singgah sebelum tiba di kota Batu, Malang.
[caption caption="Buah Lokal"]
STMJ (Susu Telur Madu Jahe) dan seporsi roti bakar menghapus dahaga saya dari cerita mistis tentang Coban Rondo di tempat warung kuliner dekat lokasi parkir.
Salam Koteka.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H