Ada sebuah puncak yang lagi “ngetop” dibicarakan oleh warga Tomohon, baik melalui percakapan mulut ke mulut maupun media sosial. Nama bukit berpuncak itu disebut “Puncak Tingtingon, Rurukan Tomohon”. Lokasinya tak jauh dari Gunung Mahawu atau lebih tepatnya di kaki gunung Gunung Mahawu (1.324 mdpl) sebelah Timur.
Puncak itu kerap dikatakan mirip Tebing Karaton di Bandung. Ketika berdiri di puncak, tergelar panorama alam Minahasa yang cantik nan indah. Gunung Klabat dan Gunung “kembar” Dua Bersaudara menghiasi lanskap tanah “Toar Lumimuut” (Dewa-dewi leluhur orang Minahasa). Hamparan Danau Tondano dan sebagian perkampungan Rurukan Tomohon terlihat melengkapi keindahan Minahasa dari ujung mata. Di sini, para pemburu “sunrise” dimanjakan saat matahari terbit melangkahi tanah Minahasa menuju Barat.
Informasi seperti itulah yang menggugah hati saya untuk memilih Puncak Tingtingon, sebagai lokasi untuk melihat Gerhana Matahari Total (9/3).
“Untuk Tomohon, kontak awal jam 07.33 WITA, puncak terjadinya gerhana 08.48 WITA dan kontak akhir 10.14 WITA, peristiwa gerhana di Tomohon hanya sekitar 97%. Jadi benar-benar tidak total,” ucap saya mengutip dari informasi yang menyebar di media cetak.
“Jam tujuh sudah harus berangkat ya,” kata saya mengingatkan para siswa.
Setelah memberi uang lima ribu untuk parkir, kami diharuskan melapor di pos penjaga untuk mencatatkan diri dari mana asal dan siapa penanggungjawabnya. Uang partisipasi (donasi) kami berikan sebesar dua puluh ribu rupiah.
Begitu saya menginjakkan kaki di halaman puncak Tingtingon, dan setelah melewati anak tangga, kesan bahwa objek wisata yang baru ngetop memang betul. Sejumlah rombongan bergerombol memadati halaman yang cukup luas. Dengan gayanya masing-masing, mereka siap menyambut gerhana yang melintas.
“Saya bayar 50 ribu untuk setengah jam bolehkah?” ujar seorang Tante sambil menyodorkan uang kepada Bapak tersebut. Ternyata bapak itu menolak, dengan alasan ia bawa masker las supaya orang banyak dapat melihat fenomena alam terhalangnya matahari oleh bulan. Meski dipaksa oleh Tante itu, pemilik masker tetap tidak mau menerima uang Tante itu.
Dialog dan kejadian itu saya lihat langsung. Akhirnya, masker boleh dipinjam gratis asal bergantian. Siswa saya bergantian melihat gerhana dengan masker las itu dan mereka bangga bisa menonton gerhana meski bergantian.
Tibalah puncak gerhana. Tanda-tanda gerhana pada titik puncak, memang terasa di badan. Panas matahari tiba-tiba redup. Suasana seperti sore hari. Udara yang sejak pagi tadi panas tiba-tiba “mengeluarkan” rasa sejuk. Saat itu seperti sore hari, padahal jarum jam pada angka delapan pagi. Angin berhembus semilir membawa udara dingin hingga menyentuh pada kulit. Perubahan cuaca ini dirasakan oleh semua anggota rombongan. Bahkan, ada yang setengah berteriak.
“Pak kok ada rasa lain ya. Mulai dingin. Padahal tadi panas,” ungkap Amanda sambil berusaha memotret gerhana dan teman-temannya yang sedang bergerombol melihat gerhana.
“Ini puncak gerhana,” saya bilang kepadanya, sambil mendongak ke arah matahari yang sinarnya meredup dan langit mulai luruh seperti sore hari.
“Patut bersyukur, kalian bisa menyaksikan gerhana matahari total di puncak ini. Bahkan, saat masih belajar di SMA. Ilmu kebumian dan astronomi yang kalian pelajari ada manfaatnya. Bahwa di ruang angkasa itu matahari, bulan, dan bumi sangat penting bagi kehidupan manusia,” ucap saya kepada mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H