Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menyambangi Tanjung Aan, Batu Payung dan Pantai Pink

22 Januari 2016   14:45 Diperbarui: 23 Januari 2016   10:22 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Pantai Pink dari Bukit Padang Rumput"][/caption]Kembali sepeda motor warna putih saya hidupkan. Meninggalkan kawasan wisata Mandalika. Saya menyusuri jalan beraspal menuju Pantai Tanjung Aan. Hanya sekitar 10 menit dari pantai Seger.

Wajah siang di awal 2016 tampak cerah ceria. Di perjalanan, bersamaan dengan warga yang masih ingin merayakan tahun baru dengan beramai-ramai pergi ke pantai.  Rombongan sepeda motor mulai berdatangan ke lokasi wisata ke Tanjung Aan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Setelah memakirkan sepeda motor dan merogoh koceh Rp. 5.000,- untuk bayar parkir, saya sempat berdialog  dengan petugas parkir.  “Selamat tahun baru Pak!” sapanya sambil menjulurkan tangannya ingin berjabat tangan. “Selamat tahun baru 2016 juga, Mas” jawab saya sambil menebar senyuman.

[caption caption="Batu Payung"]

[/caption]“Pengunjung mulai berdatangan ya Mas. Oh ya, biasa pengunjung ngapain ke pantai ini?” tanya saya kepada petugas parkir. Dari tutur bicaranya saya mendapat informasi bahwa yang paling menarik adalah menyeberang ke Batu Payung dengan perahu. Selain itu, pengunjung mendaki ke bukit sebelah Barat dan dari sana memotret eksotisme bentangan pantai pasir putih bak merica sepanjang 1 km. Kegiatan berenang, snorkeling dan bermain ayunan di pinggir pantai juga menarik.

[caption caption="Perahu sewa"]

[/caption]“Pak mau sewa perahu?” tiba-tiba ada seorang pemuda bertanya pada saya. “Berapa?” “Empat ratus ribu, pak. Ini mumpung masih sepi. Sebentar lagi banyak pengunjung” pintanya. Dengan berbagai cara akhirnya saya tawar hingga Rp. 300.000,- per kapal. Kebetulan ada penumpang lain yang mau bergabung dan tentu saling berbagi dalam pembayaran.

[caption caption="Pantai Tanjung Aan Lombok Tengah"]

[/caption]Ombak yang tenang membuat perjalanan menuju Batu Payung siang itu terasa istimewa. Dari atas perahu itu, saya menatap nuansa alami pantai dan daratan. Betapa indahnya bentangan pasir putih Tanjung Aan berkolaborasi dengan birunya air laut dan perbukitan hijau pada ujung pantainya. Di arah depan tampak di sebelah Batu Payung, Gili Anakajan dengan bukit kecilnya berwarna hijau lumut, menyejukan hati bersamaan dengan terik panas yang makin menyengat. Sementara angin bertiup sepoi-sepoi kering menerpa halus di kulit.

Tanjung Aan, asal usul Putri Mandalika atau Putri Nyale. Akses ke Tanjung Aan ini berjarak sekitar 75 km dari Mataram dengan waktu tempuh 1,5 jam  atau 3 km dari pantai Kuta.

Pantai Batu Payung berada di ujung bukit yang menjorok ke laut. Di ujung itu, sebuah batu karang besar lebih mirip “kepala manusia” berdiri tegak. Batu Payung itu disebabkan oleh gerusan ombak pada karang dan akhirnya menyisakan “patung” Batu Payung. Di situlah kami menikmati keindahan alamnya dengan sepenuh hati dan tak lupa merekamnya dalam kamera saya.

[caption caption="Ayunan di atas pasir putih Tajung Aan"]

[/caption]Untuk mencapai ke ujung batu itu, saya harus berjalan kaki melalui karang-karang berlumut tanpa alas kaki karena sepatu yang saya pakai tidak tahan air. Hampir jatuh, tajamnya batu karang, basah serta pelan-pelan berjalan, saya nikmati semua.

Saat berfoto di Batu Payung, tiba-tiba muncul penjual kelapa muda dengan harga per biji Rp. 20.000,-. Karena menjajakan dengan penuh harap akhirnya saya merogoh kocek untuk dua biji. Yang satu saya berikan kepada tukang perahu yang sudah susah payah menghela perahunya bersandar di sekitar batu karang.

Jarum jam menunjuk angka ke sebelas. Meski sudah menyendu air kelapa muda, perut tengah mulai terasa lapar. Saya dan rombongan kembali ke pantai. Sempat berfoto di dekat ayunan yang dipasang di pantai sambil melihat keramaian pantai yang mulai dipadati warga untuk berlibur di tahun baru. Kemudian mengambil sepeda motor untuk pulang ke penginapan dan makan pagi di siang hari.

Pantai Pink

Setelah makan pagi dengan menu nasi goreng di penginapan, saya pun lalu bergegas untuk check out. Sebelumnya saya sudah order mobil untuk mengantar ke Pantai Pink dan penginapan di Mataram.

[caption caption="Parkir Kendaraan di Pantai Pink "]

[/caption]“Rp. 800.000,- pak. Ini musim liburan sedikit mahal” kata petugas resepsionis hotel. Akhirnya, saya menyetujui harga itu karena proses tawar menawar tidak bisa lagi.

Ketenaran pantai Pink memang bikin saya “kepo” apalagi setelah melihat keindahan dan keunikannya lewat medsos seperti Instagram. Sekitar jam satu siang saya meninggalkan Kuta dengan mobil sewaan menuju ke Pantai Pink, desa Sekaroh, Jerowaru, Lombok Tengah.

[caption caption="Menikmati Pantai Pink"]

[/caption]Akses menuju Pantai Pink menurut Google Map dapat ditempuh dengan waktu 1 jam 27 menit dari Kuta melalui Sengkol, Genti, Jerowaru dan Sunut. Namun kenyataannya waktu tempuh hingga Pantai Pink lamanya 3 jam. Tak heran jika waktu tempuh lebih lama karena hari itu hari libur sehingga warga menyerbu ke pantai Pink. Lalu lintas padat merayap di jalan tak beraspal saat mendekati pantai.

Setelah bayar tiket masuk sebesar Rp. 10.000,- sudah termasuk parkir saya kemudian memandangi pantai. Wow pantai Pink sungguh dipadati pengunjung dari ujung ke ujung. Tak hanya itu, banyak perahu-perahu berlabuh menanti penumpang yang ingin keliling di seputaran pantai. Pantai ini mirip teluk. Di sisi kanan-kiri terdapat bukit padang rumput yang luas.

[caption caption="Padat saat hari libur"]

[/caption]Banyaknya pengunjung yang bermain di pinggir laut dan beberapa berkumpul di bawah pohon dekat tempat parkit, membuat hati sedikit kurang nyaman untuk menikmati pantai yang konon pasirnya berwarna pink.

“Kok pasirnya tidak kelihatan berwarna pink ya?” celoteh saya pada seorang Ibu yang sedang mengawasi anak-anaknya berenang di pinggir laut. “Mungkin karena pasirnya terinjak-injak banyak orang sehingga warnanya memudar” jawab Ibu itu seperti membela diri.

Setelah mengamati garis pantai sepanjang 500 meter dan saat itu dipadati oleh warga yang berenang atau sekedar main air, saya melangkah menuju ke bukit sebelah kiri. Bukit itu tak terlalu tinggi, tetapi pemandangan dari atas bukit ke arah garis pantai, memang menakjubkan. Pantai Pink masih “perawan” belum terlihat seperti Tanjung Benoa Watersport di Bali yang lengkap untuk wisata bahari.

[caption caption="Bertolak ke laut"]

[/caption]Menjelang sore tiba, saya pulang menuju ke penginapan di Mataram. Perjalanan jauh kembali saya nikmati dari pantai Pink dengan suguhan “sunset” menjelang masuk kota Mataram hingga tiba di hotel budget untuk istirahat.

Salam Wisata. Salam traveling.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun