Gara-gara Kompasiana, aku jadi suka traveling lho. Teman-teman percaya nggak dengan omongan saya itu? Kalau nggak percaya, boleh kok mampir di lapak saya. Di situ, kontribusi saya ada 369 tulisan sesuai dengan data statistik di bawah profile. Sebagian besar masuk di rubrik wisata atau jalan-jalan.
Tapi bagi yang percaya, ini dia alasannya mengapa karena Kompasiana, saya suka traveling. Simak ya. Soalnya hobi traveling itu bukan sekedar kebutuhan atau keinginan hati semata-mata atau diajak teman. Butuh sebuah proses panjang dari memilih mau pergi kemana dan berapa budgetnya. Dan itu berproses sejalan dengan postingan saya di "open blogging" Kompasiana.
Pada awal mulanya, saya membuat tulisan dengan cara mengalir saja. Apa yang ada dalam pikiran dan hati saya saya olah menjadi sebuah tulisan. Tak heran tulisan yang keluar berbentuk puisi, cerpen atau cermin. Ini bisa begitu karena karya sastra sering saya baca. Kandungan moral dan filsafatnya saya cari dan resap dari setiap karya sastra.
Ternyata tidak mudah untuk bisa konsisten menulis karya seperti itu. Karena itu, saya buka pintu dan berjalan keluar memandang alam di sekitar tempat tinggal saya. Waktu itu, yang paling menarik perhatian saya adalah letusan Gunung Lokon Tomohon. Jarak antara tempat tinggal saya dengan gunung berapi itu ya kurang lebih 5 km. Masuk daerah siaga bencana.
[caption caption="Foto saya masih "nongkrong" di Kompas Citizen Images (sumber: images.kompas.com)"][/caption]
Mengapa letusan Gunung Lokon menarik perhatian saya? Gunung itu punya lubang kawah (namanya Tompaluan) bukan di puncak gunung tetapi berada di antara Gunung Lokon dan gunung Empung samping kanannya. Ini unik pikir saya. Tak hanya itu, setiap kali Lokon meletus berita di media telivisi, koran cetak dan on line, heboh banget. Sementara, kalau ada yang tanya (terutama dari jauh) soal letusan itu, saya jawab dengan tenang bahwa saya aman.
Pada saat meletus, lubang itu menyemburkan abu vulkanik dengan ketinggian rata-rata 1500 m dan anehnya lagi abu vulkanik tidak jatuh di sekitar tempat tinggal saya tetapi bisa sampai ke Manado bahkan Bandara Sam Ratulangi menghentikan aktivitas penerbangan gara-gara abu letusan Gunung Lokon. Dan kejadian ini sudah sering kali saya lihat selama 9 tahun merantau di Tomohon.
Nah, setiap kali Gunung Lokon itu meletus, saya terdorong untuk membuat repotase dan kemudian saya posting ke Kompasiana. Tapi, saya tidak merasa puas kalau hanya tulisan saja. Foto-foto letusan saya sertakan dalam tulisan saya.
Ada foto so pasti ada kamera. Saya lalu terdorong beli kamera dlsr (sebelumnya saya punya kamera pocket) di kemudian hari karena ingin menyertakan foto-foto yang mumpuni dalam setiap repotase yang saya posting di Kompasiana.
Canon 550D dan kemudian 60D saya beli di Jakarta meski harus merogoh kocek dalam-dalam. Pertimbangan saya beli kamera itu karena ingin mensinergikan antara repotase dan foto sehingga pada akhirnya tulisan saya enak untuk dibaca. (Kampret bilang, biarkan foto berbicara sendiri).
Singkat kata, saya suka fotografi dan memposting tulisan berfoto di Kompasiana hingga menjadi kebiasaan. Aneh rasanya tulisan tak disertai foto. Ketika fotografi sudah menjadi kebutuhan, lalu saya ikut komunitas fotografi, seperti Kompasianer Hobi Jepret (Kampret) dan komunitas lokal dengan satu tujuan yaitu memperdalam ilmu fotografi. Pernah ikut kopdaran Kampret di Jogya.
"Pokoknya kalau pergi kemana-mana jangan lupa bawa kamera" nasehat salah satu dedengkot Kampret yang sekarang jadi suhu fotografi dan tak jarang dedengkot itu menang lomba foto atau tulisannya nongol di majalah wisata.
Sebagai pemula, nasehat itu saya jalani dengan setia. Hingga saya terbiasa memotret pemandang alam, objek wisata atau pun momen-momen yang indah ketika melakukan perjalanan. Betapa senangnya saya bisa memiliki foto pemandangan alam itu. Lebih bahagia lagi kalau foto-foto itu kemudian melengkapi repotase perjalanan saya. Karena itu jangan heran kalau pembaca Kompasiana berkomentar foto-foto yang katanya bagus-bagus. (Tersanjung).
Itulah kebiasaan saya hingga sekarang. "Tak gendong kemana-mana" ingat lagunya mbah Surip kalau sedang bawa kamera. Maka tak heran kalau setiap ada kesempatan berpergian selalu saya bawa kamera dengan asumsi untuk sebuah repotase.
Selama ini berpergian yang saya maksud itu adalah traveling di saat liburan (sekolah). Namun tak jarang saya berpergian karena mengantar tamu berwisata ke Manado dan sekitarnya. Ikut study tour siswa ke objek-objek wisata di luar Manado juga pernah. Kadang saya diajak komunitas fotografi lokal untuk hunting landscape di suatu tempat eksotik. Saya masih bermimpi semoga saya bisa traveling ke seluruh Indonesia. Alasan saya, traveling membuat hati saya senang dan karenanya bisa melepas kepenatan dari rutinitas kerja. Hati dan pikiran menjadi fresh.
Nah, pengalaman perjalanan itu kemudian saya buat repotase dan saya posting ke Kompasiana.
Terus terang bagi saya, Kompasiana telah membentuk pribadi saya untuk suka traveling khususnya saat liburan sekolah tiba. Dengan kata lain, traveling bagi saya adalah perpaduan antara Kompasiana, fotografi dan repotase.
Perpaduan itu tak sekedar digabungkan. Namun bermakna luas hingga tak jarang dalam setiap tulisan, saya lengkapi dengan nilai-nilai kearifan lokal seperti adat istiadat, seni budaya atau cerita mitos, asal usul. Mensyukuri indahnya alam ciptaan Tuhan, dan tidak merusaknya, tetapi menjaga dari kepunahan alam, adalah misi dari repotase yang saya tulis.
Buah dari traveling itu tulisan saya disukai pembaca (pernah menang lomba) dan fotonya diikutkan dalam pameran selain dicetak sendiri untuk koleksi. Terima kasih Kompasiana.
Selamat ulang tahun ke 7 Kompasiana. Sukses selalu. Ayo traveling!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H