Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ini "Mimpi" Semalam di Yogya

9 September 2015   05:51 Diperbarui: 9 September 2015   11:39 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokpri"]

[/caption]

“Jika bisa milih mimpi, malam ini kamu ingin mimpi apa?” ujar seorang penyiar radio. “Aku ingin mimpi di tengah malam berada di Yogya” sahut teman saya.

Pertama kali saya melihat lampion “garden” warna-warni di BNS (Batu Night Spectacular) di kota wisata Batu, Jawa Timur. Lampion-lampion itu dibentuk sedemikian rupa sehingga indah dipandang mata. Misalnya, tulisan LOVE, Kereta Kencana, bentuk aneka macam unggas seperti bebek, ikan dll. BNS adalah tempat rekreasi wisata malam yang ramai dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai daerah.

Sekarang, untuk menikmati keindahan lampion warna-warni seperti itu, saya tidak perlu jauh-jauh datang ke Batu. Di Monjali (Monumen Jogya Kembali), saya bisa menikmati tempat rekreasi wisata malam seperti itu. Orang menyebutnya Taman Lampion Monjali. Dari apa yang disuguhkan di taman itu kepada wisatawan tidak berbeda jauh dengan yang di Batu. Perpaduan lampion, kuliner dan permainan menjadi ciri khas taman itu.

[caption caption="Dokpri: Taman Lampion Monjali Yogya"]

[/caption]

Di Simpang Lima Semarang (kota kelahiran saya) tersedia permainan berbasis sepeda yang dihiasi oleh lampu kelap-kelip aneka warna sehingga di malam hari terlihat berbentuk mobil. Ada yang menyebut permainan itu odong-odong berhias atau becak hias.

Sekarang, saya tidak harus pulang ke Semarang untuk menikmati wahana permainan sepeda hias itu. Alun-alun Kidul (Alkid) Yogya menawarkan keseruan wisata malam itu yang lagi-lagi dipadukan dengan permainan (mistis) Masangin, berjalan dengan mata tertutup kain menuju antara ke dua beringin. Tak hanya itu kuliner lesehan dan angkringan ikut menggoda wisatawan untuk mampir, terutama “wedhang ronde”nya yang enak.

Hanya saat liburan sekolah, saya dan teman saya bisa menikmati wisata malam itu dengan santai dan memang bertujuan untuk “refreshing” dari rutinitas kantor. Bersyukur Juli yang lalu saya “baku atur” dengan teman saya untuk janjian berwisata malam di Yogya.

[caption caption="Dokpri: Lampion Kereta Api di Monjali"]

[/caption]

Menikmati Taman Lampion Monjali

Langit kota Yogya memang gelap. Namun langkah kaki ini tidak mau berhenti. Lepas dari naik turun Candi di seputaran wilayah Prambanan, kaki “gatal” saya tidak mau berhenti. Mobil sejuta umat yang saya pakai menyusuri jalan ring road Utara dan berhenti di Monjali.

Setelah bayar uang parkir sebesar Rp. 5.000,-, saya dan bersama keluarga teman saya masuk ke Taman Lampion. Petugas mengarahkan kami untuk membeli tiket masuk seharga Rp. 15.000,- per orang sebelum masuk ke taman. Saat memasuki, jarum jam masih bertengger ke angka 7 malam.

[caption caption="Dokpri: Wisata Air Monjali"]

[/caption]

[caption caption="Dokpri: Bermain Bola Air"]

[/caption]

Dari pintu masuk, gemerlap lampu lampion warna-warni sudah menyihir perasaan untuk mendekat. Tak urung kamera pun dikeluarkan dari tas. Bagi penggemar fotografi, keindahan malam Monjali yang dihiasi dengan aneka bentuk lampion berupa pohon, ikan, kuda zebra, ikan, kereta api, sepeda, kucing dll., serasa menggoda shutter untuk dipencet tak cuma satu kali.

Lampion-lampion itu diletakkan mengelilingi monumen yang berkolam air. Ada yang memanfaatkan kolam itu sebagai wahana bola udara di atas air. Seorang bocah dalam bola udaranya, menggelinding di atas kolam itu. Tampak begitu menikmati permainan itu dalam pengawasan orang tua sambil memotret menggunakan hp.

Di sebelah Barat, deretan kuliner dijajakan. Jagung bakar, kopi dan mie instan serta aneka macam minuman tersedia bagi pengunjung yang haus atau lapar. Masih sederetan kuliner itu, grup band sedang memainkan alat musiknya dengan piawai dan menghibur pengunjung dengan lagu-lagu daerah dan pop masa kini.

Naik odong-odong “kereta api” tak luput dari incaran pengunjung, termasuk teman saya tadi. “Asyik lho, naik kereta keliling Monjali” ucapnya saat melewati tempat saya berdiri. Itulah uniknya, batin saya.

Hampir dua jam kami bercengkerama dengan lampion-lampion dan permainan di Monjali. Lalu kami memutuskan untuk melanjutkan ke tempat wisata malam lain di Yogya.

[caption caption="Dokpri: Suasana Malam di Alun-alun Kidul Yogya"]

[/caption]

Mengayuh VW Hias di Alkid

Cerahnya langit Yogya di malam hari mendorong kami untuk “ambulasi” (jalan-jalan). Poluan punya ide. “Ajak kami ke alun-alun Kidul” pintanya. Saya pun mengiyakan dengan mengangguk kepala. Dalam hati, ini kesempatan saya untuk berbuat baik dengan menuruti kemauanya itu. Yah, sebagai orang Manado, tak setiap hari ia bisa jalan-jalan ke kota pelajar Yogya ini.

Setelah parkir dan lagi-lagi merogoh kocek Rp. 5.000,- untuk satu mobil, saya dan keluarga Poluan langsung ke tengah lapangan Alkid. Malam itu suasana Alkid memang terasa meriah. Meski jam sudah lebih dari pukul 9 malam, namun nafas kehidupan di sudut-sudut lapangan tak sirna. Sejauh mata memandang sekeliling, kesan ramai dan semarak memang terasa.

[caption caption="Dokpri: VW hias"]

[/caption]

Permainan Masangin, yaitu berjalan sambil matanya ditutup kain menuju di antara dua beringin yang tumbuh di tengah alun-alun, dilakoni oleh Poluan dan secara bergantian anak putrinya. mau tahu hasilnya? Poluan berhasil tembus meski jalannya tidak lurus. Anak putrinya menabrak pagar pohon beringin. “Ngana belum dapa hoki” ucap saya dalam logat Manado.

Seru memang, permainan “mistis” masangin yang menjadi magnit bagi wisatawan yang ingin mencoba dan serius bermain.

[caption caption="Dokpri: Deretan VW Hias"]

[/caption]

Kami menuju ke becak hias yang pakrkir di pinggir jalan. Kami pilih becak hias yang bisa muat enam orang. Begitu mendekat pada becak hias, pemilik becak hias langsung menyambut kami dan diminta memilih yang model apa dan bermuatan berapa.

Poluan menunjuk pada becak hias model VW dan bisa muat enam orang dengan mesin GL (Genjot Langsung) tanpa polusi dan deru mesin. “Ayo kayuh yang kuat, jangan hanya kakinya nempel di pedal” kata Poluan sambil memegang kemudi becak hias. Becak berjalan keliling alun-alun.

Untuk kesenangan itu, kami harus bayar 50 ribu rupiah per becak untuk satu putaran. Dalam perjalanan kami hampir bersenggolan dengan becak hias lainnya. Tapi hal itu, lumrah saja ketika becak-becak hias lainnya juga sedang berkeliling alun-alun.

[caption caption="Dokpri: Ikan Lampion"]

[/caption]

[caption caption="Dokpri: Wisata Malam Alkid Yogya"]

[/caption]

Menurut teman-teman saya di medsos, wahana taman lampion dan becak atau sepeda berhiaskan warna-warni lampu di malam hari, sudah mewabah di semua kota dan kabupaten di Jawa. Sudah menjadi bagian dari industri wisata malam yang tumbuh berkembang dan menjadi hiburan masyarakat kota atau kabupaten dengan kearifan lokalnya.

Semoga di luar Jawa pun, wisata malam berupa taman lampion dan becak hias itu, sudah mulai ada sehingga pergerakan ekonomi berbasis kerakyatan menjadi solusi terpuruknya kondisi ekonomi Indonesia saat ini.

Salam wisata malam dari Yogya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun