Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Kejar Sunrise di Sikunir Saat Libur Lebaran

22 Juli 2015   13:33 Diperbarui: 22 Juli 2015   13:33 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Foto by Trilokon : Wisawatan Menikmati Sunrise di Puncak Sikunir"][/caption]

Minggu subuh (18/7) sekitar pukul dua saya dibangunkan adik saya untuk siap-siap berangkat ke puncak Sikunir. Mata saya masih berat untuk dibuka, namun “sihir” Sikunir telah menghalau semua rasa kantuk saya. Kekuatan magis Sikunir juga menguak asa lama yang terpendam untuk mengejar matahari terbit di puncak Bukit Sikunir (2.263 mdpl). Banyak yang bilang, Sikunir itu Golden Sunrise di Negeri Khayangan tempat para Dewa bersemayam atau Negeri di atas awan. Delapan penumpang berada dalam satu mobil. Roda mobil diesel bergerak meninggalkan kota Semarang subuh. Suasana lenggang terasa saat menyusuri jalur mudik dari Tol Jatingaleh ke Bawen. Kemudian dari Bawen, Ambarawa menuju ke Secang terus melewati Parakan, Temanggung, Kretek, Wonosobo lalu arah ke Dieng. Tak ada satu pun dari kami yang pernah ke Sikunir. Google map dibuka dari dua gadget untuk memandu perjalanan. Tapi itupun masih menyisakan keraguan.

Setibanya di pertigaan Dieng, mobil berhenti di sekitar homestay. Begitu keluar dari mobil, langsung disambut oleh dinginnya udara yang menusuk kulit. Adik saya bertanya arah jalan ke Sikunir kepada seorang warga. “Ikuti jalan ke arah telaga Warna sampai di desa Sembungan Kejajar. Tidak sampai 20 menit” jelas seorang bapak berjaket tebal dan berselimutkan sarung sambil mengisap rokoknya. Memasuki kawasan wisata Dieng Plateu, per orang dikenai biaya Rp. 2.000,- sedangkan tiket masuk wisata Sikunir per orang Rp. 6.000,- plus parkir mobil Rp. 5.000,- (termasuk perlindungan asuransi Jasa Raharja bagi setiap wisatawan). Dalam percakapan dengan seorang petugas penarik tiket masuk wisata Sikunir, kami dianggap terlambat datang (sebaiknya jam 04.00 wib sudah di puncak). Langsung saja saya melihat jam. Pukul 05.15 wib. Terlambat? Tiba-tiba rasa galau muncul. Asa mengejar sunrise dari puncak Sikunir meredup seiring dengan langit yang mulai terbuka terang. Sabtu subuh itu lokasi parkir di Telaga Cebong terisi penuh dengan mobil. Saya membayangkan, pasti di puncak Sikunir sudah berjubel orang. Lebaran banget bro.

Begitu mobil parkir, saya langsung berjalan cepat menuju jalan pendakian ke puncak Sikunir. Ternyata saya tidak sendirian. Beberapa wisatawan juga baru tiba dan sama-sama menuju ke puncak. Jalur pendakian ke puncak Sikunir masih sangat sederhana. Berbeda dengan jalur pendakian puncak Gunung Mahawu (lokasi sunrise di Tomohon Sulut) yang sudah diperkeras dengan semen dan dibuat dua jalur naik dan turun dengan pembatas di tengahnya yang sekaligus berfungsi untuk pegangan. Fasilitas yang sama saya juga telah dibuat pada jalur pendakian Gunung Galunggung dan Gunung Bromo. Infrastruktur yang kurang baik di pendakian Sikunir membuat tidak nyaman setiap wisatawan. Udara tipis dan dingin membuat napas saya tersengal-sengal. Mencoba bernapas melalui mulut terasa berat. Sementara itu debu tanah berterbangan karena injakan para pendaki. Mau tidak mau hidung dan mulut harus ditutup dengan masker atau pakai tangan. Di jalur pendakian itu, tempat pemberhentian sejenak bagi yang kelelahan mendaki, masih minim. Padahal tebing jurang yang dalam berada di sisi kiri jalur pendakian. Karena terlambat maka dipertengahan pendakian saya harus melawan arus para wisatawan yang ingin turun. Ini yang menghambat saya sampai puncak. Apa boleh buat. Matahari terbit akhirnya dinikmati saat berada di tengah pendakian. Pengejaran sunrise saya lanjutkan hingga ke puncak yang disebut sebagai spot pertama.

Spot pertama adalah bukit pertama untuk menyaksikan terbitnya matahari secara penuh dan utuh dengan hamparan awan yang seolah membatasi antara desa tertinggi dengan desa-desa yang ada dibawahnya. Di spot ini, Gunung Ungaran, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing dan samar-samar puncak Merapi dan Gunung Merbabu terlihat indah disinari matahari pagi. Saya tidak sempat menuju ke spot kedua dan ketiga. Alasannya matahari sudah naik. Berjubelnya wisatawan yang berada di puncak Sikunir mengurungkan niat saya ke spot lainnya. Berdiri di area spot pertama, saya terpukau oleh keindahan matahari terbit tanpa awan dari puncak Sikunir. Langit memerah berpadu kuning keemasan serta biru, membuat hati bersyukur betapa agungnya Sang Pencipta. Saya sempat teduh dan berkata dalam hati. “Lebih eksotik dilihat dengan mata kepala sendiri daripada dengan lensa kamera”. Setelah memotret moment matahari terbit di puncak Sikunir, saya kemudian turun.

Ada yang menarik saat turun dari puncak. Sekelompok (mahasiswa) melantunkan lagu-lagu khas anak muda. Ujung-ujungnya meminta saweran para wisatawan yang lewat di depannya. Aksi ngamen di jalan pendakian juga dilakukan oleh sebuah grup berpakaian adat daerah Wonosobo. Kotak dana diletakkan di tengah jalan berharap ada yang memasukkan uang seiklasnya. Masih di jalan menuju lokasi parkir, satu lagi grup musik menghibur wisatawan dengan kotak amalnya. Saya sempat berhenti di warung untuk membasahi tenggorokan yang kering sehabis pendakian. Segelas teh panas saya minum ditemani dengan tempe mendoan gurih. Penjual warung menawari saya rendang kentang (ukurannya sebesar telur puyuh) yang masih hangat di wajan. Tak hanya itu, kuliner Sikunir juga menawarkan terong belanda warna merah (Solanum Betaceum) yang bisa dijus, dirujak atau dijadikan campuran salad. Khasiat terong Belanda untuk kesehatan mata, cegah sariawan, karena kadungan vitamin A dan C cukup tinggi.

Matahari merangkak naik dan kami siap-siap untuk pulang setelah berfoto sejenak di pinggir telaga Cebong. Rupanya telaga ini menjadi sumber air bagi masyarakat setempat. Tak heran di pinggir telaga, terlihat banyak pompa dengan pipa-pipa putih yang menjulur ke pemukiman warga. Daya sihir Sikunir tak hanya dipuncak. Banyak homestay dibangun di desa wisata Sembungan untuk mengantisipasi melonjaknya wisatawan yang mengejar terbitnya matahari dari tiga spot yang ada. Tak hanya itu, terdapat camping ground di sekitar telaga cebong makin membuat desa Sembungan menjadi kota kecil di dataran kecil Dieng, Jawa Tengah. Kata penduduk, bulan Juni, Juli dan Agustus adalah bulan terbaik untuk menikmati Golden Sunrise dari puncak Sikunir.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun