Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Rasa Bakar Batu Di Rantau

28 Maret 2013   11:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:05 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jarum jam menunjuk pada angka 10.25 wita. Hari Rabu (27/3) ini adalah awal liburan sekolah setelah terima rapor mid-semester. Suasana kampus seluas 7 ha ini tampak lenggang nyaris sunyi. Tak terdengar lagi celoteh ceria para siswa. Hanya beberapa karyawan kantor yang tampak masih sibuk melewati selasar asrama dan sekolah. [caption id="attachment_244746" align="alignnone" width="640" caption="Menaruh Batu Panas Di Dasar (tri-Lokon)"][/caption] Begitulah suasana kampus jika semua penghuni asrama beranjak liburan. Hanya mereka yang asalnya jauh seperti Timika, Sorong, Abepura, Jayapura, Tobelo, Makasar, Balikpapan  dan dari luae Sulawesi lainnya yang nampak santai bercengkerama di spot-spot wifi di Lobby dan ruang rekreasi asrama. Ketiadaan KBM karena liburan mid-semester dan Paskah disambut oleh beberapa siswa sebagai hari bebas. Mereka hanya diatur oleh jam makan saja. “Bapa, kawan-kawan sementara beking bakar batu di sudut lapangan sepakbola di sana. Boleh noh bagabung” kata Soter yang berpapasan di Loby saat setelah selesai urus administrasi di kantor. “Oh ya? Boleh-boleh, saya so lama mo tahu bagaimana dorang beking Bakar Batu” reaksi saya sambil mengungkapkan keingintahuan saya. Saya pun langsung menuju ke lokasi sambil tak lupa bawa kamera. Siang itu cuaca cerah. Sinar mentari mengintip dari sela-sela awan. Tampak, awan putih memayungi Gunung Lokon. Lokasi bakar batu itu searah ke gunung itu. [caption id="attachment_244747" align="alignnone" width="640" caption="Siapkan Tempat Bakar Makanan (tri_lokon)"]

13644689321769327701
13644689321769327701
[/caption] Sesampainya di lokasi, dua puluhan siswa Papua berkumpul di sudut lapangan. Semakin dekat dengan keberadaan mereka, saya melihat Emilius Aim dan kawan-kawannya sedang menggali lubang. Kerasnya tanah berbatu, tak memupuskan semangat mereka. “Berapa meter mo gali itu lubang?” “Yah, nggak sampai satu meter, paling setengah meter” jawab Mathew, siswa Timika kelas X yang semasa SD dan SMP sekolah di PNG (Papua New Guini). Saya kenal dekat dengan Mathew karena bahasa Inggrisnya lancar dan berani bertanya dengan menggunakan bahasa Inggris. Dia adalah salah satu anak Papua yang jago dalam bahasa Inggris. Sementara lubang berdiameter satu meter dengan kedalaman setengah meter digali, tak jauh dari lokasi penggalian itu, saya lihat ada pembakaran. “Batu-batu sudah kami bakar sejak tadi, Bapa. Batu-batu bakar itu menjadi diletakkan di lapisan pertama” jawab Aim. Saya perhatikan, batu-batu besar sedang dipanaskan diatas bara api kayu bakar. Galian lubang dan pembakaran batu-batu menjadi perhatian saya sekaigus pusat kegiatan mereka. Setelah penggalian lubang dianggap cukup, Mathew meminta teman-temanya untuk menaruh rumput ilalang yang sudah dikumpulkan di samping lubang. Dengan teratur mereka menutupi lubang itu dengan rumput ilalang hingga menutupi bibir lubang. Ujung rumput dibiarkan merumbai di sekitar lubang. Setelah itu, di atas rumput ditaruh daun pisang. Daun pisang pertama ini berfungsi untuk alas bahan makanan yang ditaruh. Tak hanya itu, daun pisang itu mirip seperti panci kukus yang menyimpan hawa pans batu. [caption id="attachment_244751" align="alignnone" width="640" caption="Ubi Ditaruh Diawal (tri_lokon)"]
1364469164432453027
1364469164432453027
[/caption] Ubi-ubian kemudian ditaruh di atas daun pisang ini bersama dengan beberapa batu panas yang diambil dari barapen (perapian). Agar hyginis batu dibungkus dengan daun pisang. Satu orang mengambil batu panas dengan penjepit batang kayu lalu diestafetkan ke seorang yang tangannya sudah menutupi dengan daun pisang. Kemudian batu itu dibungkus dengan daun pisang dan diletakkan di atas ubi-ubian tadi hingga memenuhi lingkaran lubang. Proses ini membutuhkan kekompakan dan kerjasama yang baik. Mathew mengatur sedikit banyaknya batu panas. Setelah cukup, di atas itu dilapisi lagi daun pisang lagi untuk alas daging dan ayam yang akan ditaruh. Prosesnya sama dengan menaruh ubi-ubian. Daging Wam (Babi), yang dipercaya sebagai simbol adat Papua, sebanyak lima kilo lebih dipotong-potong, juga dua daging ayam, siap ditaruh di atas ubi-ubian tadi. Setelah memasukkan daging tadi, bara batu yang dibungkus dengan daun pisang kembali ditaruh di atasnya hingga penuh. [caption id="attachment_244752" align="alignnone" width="640" caption="Berpose Bersama Di Dekat Bakar Batu (tri_lokon)"]
13644692701462856455
13644692701462856455
[/caption] Setelah itu ditutup lagi dengan daun pisang dan kemudian rumbai ilalang yang menutupi bibir lubang disibak menjadi penutupnya. Asap putih keluar dari sela-sela rumput ilalang. Salah satu siswa berinisiatip meuntu[ ilalang dengan sisa-sisa daun pisang. “Kita tunggu berapa menit lagi?” tanya saya penasaran. Emilius Aim menjawab, “Tunggu satu jam lagi Pak”. Asap putih mengepul dari gundukan lubang yang berisi ubi-ubian, daging babi dan ayam serta sayur pakis hutan. Yolanda Kemong tampak membuat rica dabu-dabu bersama siswa putri lainnya. Meracik Barito (Bawang Rica Tomat) untuk bumbu sambal, menjadi tugas perempuan sementara laki-laki berfokus pada “Barapen”. [caption id="attachment_244753" align="alignnone" width="640" caption="Ucap Syukur Siap Disantap (tri_lokon)"]
13644693401413809291
13644693401413809291
[/caption] Keinginan untuk segera mencicipi hasil Bakar Batu sudah terasa membuncah di hati saya bersamaan perut mulai keroncongan. Jam menunjukkan pukul 12.30 wita. Di satu sisi adalah jam makan siang di asrama sudah tiba. Namun, gundukan bakar batu belum juga dibuka. Akhirnya, Mathew memberi kode agar segera gundukan itu dibuka. Dia yakin betul semua makanan yang ada di dalam gundukan itu sudah matang. Emilius Aim dan Yakobus mulai membukanya. Namun sebelumnya minta agar dibagi beberapa kelompok untuk bersiap santap siang. Semua makanan yang dibakar batu dikumpulkan di atas daun pisang. Semua berkumpul untuk ucap syukur kepada Sang Pencipta atas rejeki berupa makanan yang siap dimakan dalam doa bersama. Kemudian makanan dibagi rata. Saya pun mencicipi ubi manis dan daging ayam. Soal rasa memang tidak senikmat saat dimasak di dapur. Namun nikmatnya justru dalam kebersamaan, kerja sama dan nilai positif kegiatan ini. Tampak mereka bersemangat menikmati makanan yang sudah matang dalan senda gurau. [caption id="attachment_244754" align="alignnone" width="640" caption="Mari Makan (tri_lokon)"]
1364469427139570820
1364469427139570820
[/caption] “Sumbangan kami kumpulkan hingga terkumpul 700 ribu rupiah. Bukan soal uang tapi nilai positif dari Bakar Batu ini yang kami cari. Dengan demikian tradisi Bakar Batu pun tetap lestari meski kami di perantauan” ucap Mathew.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun