[caption id="attachment_303748" align="alignnone" width="600" caption="Menuju Air Terjun, Lewat Kali Oya"] What is the color of Kali Oya? The color of Kali Oya is "coklat". Seloroh Edho di atas perahu karet yang mengantar kami ke Air Terjun Sri Gethuk, Bleberan, Playen, Gunung Kidul, DIY, Rabu (1/1/2014) yang lalu.
"Lho kok coklat sih? Kenapa bukan "brown"? Kalau coklat sama dong dengan permen coklat" balas saya mengomentari seloroh spontan Edho tadi. Karena itu, Edho cuma tersenyum senang. Rina dan seorang fotografer asal Jakarta, kenalan baru, plus motoris perahu, ketawa terpingkal-pingkal.
Kegundahan hati terhadap langit yang mendung diselingi gerimis yang selalu menimbulkan suara berisik di kap mobil, di sepanjang perjalanan wisata dari Semarang ke Gunung Kidul, pupus sudah oleh celoteh Edho tadi.
[/caption] Setibanya di Sri Gethuk, saya dan teman-teman disambut dengan suasana "crowdid" para wisatawan yang datang dari berbagai penjuru. "Hari ini sekitar dua ribuan pengunjung datang ke air terjun" cerita Paijo, motoris perahu karet yang kami sewa. Dikatakan, setiap hari libur, objek wisata alam air terjun ini dipadati oleh pengunjung. Wisatawan diberi dua pilihan untuk sampai ke air terjun. Jalan kaki menyisir kelokan pinggiran sungai atau naik perahu. Kalau naik perahu karet harus merogoh kocek sebesar 100 ribu untuk empat orang. Biaya ini untuk antar jemput dari dermaga hingga lokasi air terjun. Tak sedikit wisatawan yang memilih jalan kaki daripada naik perahu. Tapi bagi yang suka menikmati sensasi berlayar menyusuri Kali Oya, gunakan perahu. Baju pelampung tersedia cukup buat penumpang. Baju pelampung wajib dipakai lho, kalau tidak mau pakai, perahu tidak diberangkatkan. Nah lho! Safety first. Betul, kata Olive. Air sungai Oya berwarna coklat susu. "Itu akibat banyak hujan sehingga Green Canyon Sri Gethuk jadi hilang. Lebih bagus kalau datang pada musim tidak hujan. Warna hijaunya sangat eksotik" jelas Paijo sambil memgemudikan perahu karet. [caption id="attachment_303750" align="alignnone" width="600" caption="Antri, Dermaga ke Air Terjun"]
[/caption] Jarak dari dermaga ke air terjun hanya ditempuh kurang dari sepuluh menit. Itu pun melawan arus sungai. Tiba di lokasi air terjun kesan pertama yang muncul dalam hati saya adalah wouw banyak sekali orang memadati tempat ini. Tua, muda, anak-anak tampak gembira menikmati air terjun kendati harus merelakan pakaiannya basah kuyub. Meski begitu, saya dan mas fotografer asal Jakarta memaksakan diri untuk ambil foto apa adanya. Sudah datang jauh-jauh, sayang kalau tidak jepret. Tidak dapat posisi spot foto terbaik ya jepret aja human intetrest di situ.
Teman saya dan adiknya ikut menceburkan diri untuk bermain air terjun tanpa canggung bajunya basah. Begitu pula wisatawan lainnya. Tampak di antara mereka yang tidak siap menggunakan baju renang. Cuek saja, mereka langsung berkecipak-cipuk bermain air. Yang lainnya, ada yang cuma duduk-duduk dan menonton indahnya air terjun tiga cabang. Aktifitas berfoto ria apapun kameranya, terlihat di sana-sini. [caption id="attachment_303751" align="alignnone" width="600" caption="Pijat Air Terjun"]
[/caption] Setelah puas bermain air dan menekan shutter kamera, kami pun sepakat mengakhiri rekreasi di air terjun Sri Gethuk. Langit tampak masih flat putih buram. Matahari tak nampak. Kehangatan pegunungan kapur Gunung Kidul terasa di badan. Yang bermain air terjun pun tak merasa kedinginan. Segar rasanya. Sambil menunggu perahu karet menjemput kami, Ahmad petugas yang menaikkan dan menurunkan penumpang, bercerita banyak tentang objek wisata alam ini. "Sebenarnya namanya bukan Gethuk (makanan yang terbuat dari ubi ketela) tetapi tepatnya adalah kethuk, alat untuk menabuh gamelan. Konon, kethuk milik Jin Anggo Meduro, di simpan di air terjun. Di saat tertentu, terdengar sepoi-sepoi lirih bunyi gamelan ditabuh. Itu tanda sedang ada upacara. Pada hari tertentu, ada yang menyempatkan diri untuk bertapa kungkum (beredam) untuk mencari wangsit atau kekuatan magis" jelas Ahmad. [caption id="attachment_303754" align="alignnone" width="600" caption="Papan Petunjuk Jalan"]
[/caption] Dikatakan, bukan karena angkernya Sri Gethuk, objek wisata ini terkenal sejak 2010 yang lalu. Tetapi karena setelah terbukanya akses jalan menuju air terjun. Dulu masih sulit dijangkau. Karena terhalang oleh perbukitan bebatuan dan hutan kayu putih milik perhutani. Sekarang, pengunjung bisa betah lama di lokasi ini karena selain tempat parkir yang luas, juga tersedia wahana permainan seperti flying fox, berenang pakai ban sambil mengikuti arus tak begitu deras dari sungai. "Kami sediakan ruang ganti, sekaligus toilet dan kamar mandi. Masyarakat juga buka usaha jual makanan dan minuman. Oleh-oleh dan souvenir berupa kaos pun juga ada" kata Paijo sedikit promosi. Sebelum melanjutkan wisata ke Gua Pindul, saya berhenti sejenak di salah satu warung kecil untuk minum air kelapa muda. Saya suka minum air kelapa muda karena organik dan langsung dipetik dari pohon. Olive, Rina, Malik, Edho he he he tertarik ikut pula minum air kelapa muda original bukan botolan. [caption id="attachment_303753" align="alignnone" width="600" caption="Masih Ada Yang Datang"]
[/caption] "Saya mau datang lagi ke Sri Gethuk bukan pas airnya coklat, tapi pada saat air sungainya yang hijau jernih" janji saya sambil menyeruput air kelapa muda dan mengunyah degannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya