Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

WPC 29: Mata Melotot, Muka Garang, Ciri Khas Tari Kabasaran

9 Desember 2012   10:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:57 2589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_220527" align="alignnone" width="600" caption="Tarian Keprajuritan Di Laga Perang"][/caption]

Suara tambur, yang dipukul berirama dengan gong kecil, lama-lama makin terdengar keras. Meski hanya mendengar alunan musik tambur dan gong kecil, namun saya sudah hafal kalau di bawah sana sedang dilaksanakan Tarian Kabasaran, tarian adat tradisional Minahasa. Kami pun sepakat meninggalkan hunting macro dan berburu ke lokasi di mana tambur dan gong kecil tadi dibunyikan.

Tak kurang dari lima menit kami sudah sampai di lokasi. Rupanya mereka memilih lokasi yang backgroundnya menghadap Gunung Lokon. Spot ini sering saya sambangi ketika Gunung Lokon meletus karena sangat strategis tempatnya untuk memotret.

[caption id="attachment_220529" align="alignnone" width="400" caption="Pemimpin Dalam Kabasaran"]

1355050191507305546
1355050191507305546
[/caption] [caption id="attachment_220531" align="alignnone" width="400" caption="Anak Buah"]
13550502521022513332
13550502521022513332
[/caption]

Tarian Kabasaran adalah tarian adat orang Minahasa yang menggambarkan kegarangan dari para prajurit sehingga disebut juga sebagai tarian keprajuritan. Alat musiknya sangat sederhana. Saya lihat ada empat tambur dengan beda nada. Suara bas, alto dan sopran serta gong kecil. Mereka menyebut alat musik ini “Pa Wasalen”.

Sedangkan penarinya yang berpakaian serba merah dengan menggunakan tombak dan pedang serta bertopi khas yang saya lihat terbuat dari bulu-bulu ayam dan diselaraskan dengan paruh burung enggang. Para penari yang semua laki-laki itu disebut “Kawasalan”. Gerakan tarinya meniru gerakan ayam jantan yang sedang bertarung. Koregrafi tarian seperti ini mengingatkan saya dengan tarian Cakalele dari Maluku.

[caption id="attachment_220511" align="alignnone" width="600" caption="Persiapan Ritual Tari Kabasaran"]

1355049258774356154
1355049258774356154
[/caption]

Setibanya di lokasi, bunyi tambur berhenti. Rupanya tadi sedang pemanasan sebelum disyuting oleh salah satu sinemais dari Jakarta. Pikal salah satu sekuriti Bukit Doa Mahawu bercerita bahwa mereka sudah jauh hari dipesan untuk menari tarian kabasaran karena akan disyuting. “Sekarang dorang menunggu bahan-bahan untuk acara ritual sebelum mereka lanjut menari” lanjut Pikal. Dari omongan itu saya lalu tahu bahwa bahan yang dibutuhkan untuk ritual itu adalah buluh (bambu) yang dipotong kecil-kecil untuk isi saguer (minuman yang ditiris dari pohon aren), pinang, menyan, rokok, daun sirih, sekeping uang logam. Ritual ini dipersembahkan untuk “Opo Lokon” yang semalam sekitar pukul 23.15 wita meletus lagi hingga menggetarkan pintu dan kaca rumah saya.

Jika Minahasa sedang perang, maka para penari tadi disebut “Waraney”. Tarian Kawasalan kemudian berkembang menjadi tarian Kabasaran yang mengandung arti gabungan dari “Kawasalan” yang berarti mengikuti gerakan tari dan “Sarian” pemimpin perang yang memimpin prajurit dalam keadaan perang. Tarian Kabasaran sekarang ini dipakai untuk menyambut tamu-tamu besar yang datang berkunjung atau menjadi pembuka pada acara-acara khusus bertaraf Internasional dan Nasional.

Mengambil tempat di belakang Chapel, tarian Kabasaran itu mulai beraksi. Saya melihat ada empat kameraman yang menggunakan kamera professional dengan lensa berpita merah, asyik mengikuti setiap gerakan tarian ke sana ke mari. Tak hentinya secara bergantian cameramen mengambil angle low, datar dan high untuk mendapatkan yang terbaik. Sementara art directornya tampak memberikan pengarahan baik penari maupun anak buahnya.

[caption id="attachment_220513" align="alignnone" width="600" caption="Turis Suka Menonton"]

1355049333168046816
1355049333168046816
[/caption] [caption id="attachment_220516" align="alignnone" width="600" caption="Saat Jeda, Dimanfaatkan Foto Bersama"]
1355049415998754334
1355049415998754334
[/caption]

Uniknya performance art di Minggu pagi ini (11/12) tak hanya mengundang kami, tetapi saya melihat para pengunjung berdatangan untuk melihat dan sekaligus memotretnya. “Ha ha ha, ada turis bule ikutan memotret dan minta dipotret bersama penari. Bisa go international nih” kata Tommy yang tak lewatkan memotret moment gratis itu.

“Ada empat gerakan dalam tarian Kabasaran. Pertama berlompat-lompat bak ayam bertarung. Ini namanya Cakalele sebagai symbol tarian perang. Yang kedua namanya Kumoyak. “Koyak” berarti ayunkan senjata tajam pedang dan tombak dalam gerakan turun naik untuk membujuk roh dari pihak musuh yang tewas dalam peperangan. Yang ketiga, Lalaya’an. Penari menarikan gerakan riang dengan komanda pemimpin tari yang disebut “Tumu-tuzuk” dan “Sarian”.

Ketika mereka menari kadangkala mentari yang tadi bersembunyi di balik gumpalan awan menampakkan diri dan sinar cahayanya menyinari para penari hingga suasana terkesan anggun dan mitis. Gunung Lokon dari lokasi itu kelihatan masih berselimutkan awan putih dan langit birunya hanya terbuka sedikit. Landskap Gunung Lokon pun tampak suram.

Dalam setiap gerak tari, para penari mengekspresi kegarangannya dengan mimik muka marah, mata melotot dan sambil berteriak histeris. Gesture para penari makin garang saat melompat-lompat selaras dengan irama tambur yang membahana. Warna muka kegarangan mereka terlihat seperti “kepiting rebus” bisa jadi mereka sudah “trance” atau pengaruh minuman arak saguer yang diritualkan tadi. “Hati-hati sebentar kemasukan roh lho” lanjut Pikal menakut-nakuti saya yang asyik memotret gesture para penari.

[caption id="attachment_220517" align="alignnone" width="600" caption="Pedang dan Tombak, Mengayun Dalam Tarian"]

13550495161079590795
13550495161079590795
[/caption] [caption id="attachment_220519" align="alignnone" width="600" caption="Garang Mukanya"]
13550496532131996874
13550496532131996874
[/caption] [caption id="attachment_220520" align="alignnone" width="600" caption="Gaya Perang"]
13550497261297085501
13550497261297085501
[/caption]

Terus terang agak sulit memotret gesture penari yang sedang menari. Dibutuhkan ketekunan dan setting kamera yang pas serta tak melewatkan momen khasnya. Lensa yang saya gunakan adalah lensa tele (55-250mm) untuk menangkap detil gesture para penari sambil tidak ingin mengganggu mereka yang sedang syuting. Alasan tidak mengganggu aktifitas mereka, lampu flash pun saya simpan dalam tas.

Membandingkan gesture para penari garang murka itu, saya lalu membayangkan tarian-tarian yang lembut slow halus yang sering saya lihat di Yogya Solo. Tak ada kelembutan dalam tarian Kabasaran Minahasa ini yang sudah bercokol di Minahasa sejak tahan 1830 seperti yang dicatat di buku Alfoersche Legenden.

[caption id="attachment_220522" align="alignnone" width="600" caption="Pa"]

1355049922529119473
1355049922529119473
[/caption] [caption id="attachment_220524" align="alignnone" width="600" caption="Penabuh"]
1355050013960410955
1355050013960410955
[/caption]

Kini tarian Kabasaran sudah menjadi tarian idola budaya Minahasa. Ketika pawai tujuhbelasan yang lalu saya melihat sekolompok ibu-ibu menarikan tarian Kabasaran. Tak hanya itu, anak-anak usia SD pun tak ketinggalan berpakaian tarian kabasaran ikut dalam pawa bocah jelang tujuh belasan. Tarian Kabasaran sekaraang ini adalah tarian merakyat yang digemari oleh ibu-ibu dan anak-anak dan tak hanya didominasi kaum dewasa laki-laki. Regenerasi budaya memang perlu untuk melestarikan kekayaan khazanah budaya Nusantara sebelum diklaim hak cipta kreasi budayanya oleh negara tetangga.

WPC 29, Gesture Photography klik DI SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun