Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Bukit Doa Mahawu, Dipesan Orang Singapore

12 Oktober 2012   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:53 1603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Father Jo melambaikan tangan ke arah saya di tapal batas para pengantar pintu keberangkatan Bandara Sam Ratulangi Manado.  Sementara, Pak Stephanus terlihat sedang antri check in di loket Silk Air, maskapai penerbangan Singapore yang melayani penerbangan ke Manado lima kali dari Senin hingga Jumat. Burung besi itu sebentar lagi membawa  pulang beliau ke Singapore dan meninggalkan tanah Nyiur Melambai Sulawesi Utara. Secara refleks, saya pun membalasnya dengan lambaian tangan. Senyum keakraban dan rasa perpisahan yang mendalam terasa membuncah di dada ini, bersamaam dengan peluh menetes  dari dahi karena teriknya matahari siang. Dalam lubuk hati, terasa sekali ada ruang rindu selepas kepergian Father Joseph Nathan OFM dan Pak Stephanus kembali ke parokinya St. Mary Angel di Singapore. [caption id="attachment_211286" align="aligncenter" width="480" caption="Chapel Mother of Mary Mahawu, Jadi Wedding Chapel (dok.pri)"][/caption] Hutan tropis Indonesia masih terus dijaga kelestariannya agar fungsinya sebagai paru-paru dunia bermanfaat terutama memberi keseimbangan alam akibat global warming. Kesadaran akan dampak pengaruh pemanasan global, setidak-tidaknya melandasi pengetrapan konsep “sinergitas alam bangunan dan rohani” di lokasi wisata rohani Bukit Doa Mahawu, Tomohon, Sulawesi Utara. “Karena itu tak heran banyak wisatawan dan masyarakat datang ke Bukit Doa Mahawu Tomohon yang berada di ketinggian 900 hingga 1200 meter di atas permukaan laut (dpl) ini, untuk berbagai macam kegiatan yang bersifat rohani. Jarak Manado ke lokasi ini hanya ditempuh 45 menit. Lokasi wisata rohanu ini, mudah ditemukan karena sudah banyak orang mengunjungi, sejak dibuka tahun 2006, tepatnya 14 September, bertepatan dengan Hari Raya Salib Suci” kata Pak Lorens, General Manager Bukit Doa Mahawu.

[caption id="attachment_211288" align="aligncenter" width="480" caption="Pemberkatan Oleh Uskup Manado, Mgr. Josep Suwatan (dok.pri)"]

1350044646926911276
1350044646926911276
[/caption]

“Suatu saat ada yang datang hanya untuk foto-foto prewed. Kalau ditanya alasannya mengapa memilih tempat ini, mereka menjawab karena chapel, amphiteater, pemandangan alam serta nuansa hutan tropisnya unik dan indah untuk foto prewed. Kebanyakan orang datang untuk kegiatan rohani seperti retreat, rekoleksi, ibadat padang, ibadat devosional. Tersedia fasilitas ibadat seperti chapel, jalan salib, gua Maria, rumah retreat. Bentuk Chapelnya yang unik mirip kapal Nabi Nuh terbalik dengan 9 kerangka bak tulung rusuk ideal sekali untuk pemberkatan pernikahan. Gara-gara seringnya dipakai untuk pemberkatan nikah Chapel itu disebut Wedding Chapel” lanjut Pak Lorens.

Senin siang (8/10) seperti yang telah ditulis dalam email, Father Joseph, imam Fransiscan  yang lahir di Singapore meski keturunan India, dan Pak Stephanus akhirnya tiba di Manado.  Setelah dijemput di bandara, mereka kemudian diantar ke Alamanda Retreat House di Bukit Doa Mahawu Tomohon, sebagai objek wisata rohani yang banyak dikunjungi oleh peziarah tak hanya dari Sulawesi saja tetapi dari luar Sulawesi dan Manca negara. “Father Jo akan memimpin retreat para imam dan frater bulan Desember nanti. Beliau datang untuk survei keadaan dan melihat langsung tempat dan lingkungan di sekitar ini” ujar Pak Stephanus, Director Revival Network Singapore, memberitahukan maksud kunjungan kepada saya. “Orang Singapore terkenal perfect dan terbiasa dengan keadaan bersih. Kalau tidak bersih pasti dia ngomel komplain” lanjut Pak Stephanus dengan nada mengingatkan saya jika sewaktu-waktu Father Jo menyinggung soal kebersihan. Saya pun mengiyakan dan siap menerima kritikan beliau. [caption id="attachment_211290" align="aligncenter" width="600" caption="Alamanda Retreat House (dok.pri)"]

13500447531696574733
13500447531696574733
[/caption] Mendampingi para tamu dari Singapore ini, tak mudah juga. Pasalnya, mereka datang dari negara yang menjunjung tinggi budaya bersih dan suka pada alam terutama gunung. Ketika melihat Gunung Lokon dengan kisahnya yang aktif meletus akhir-akhir ini, makin menggoda adrenalin Father Jo untuk mendekati Gunung Lokon. Selain berfoto berlatarbelakang gunung saya antar mereka jalan-jalan hingga dipenghujung aspal arah ke gunung itu. Saya hanya membatin, berita letusan yang digembor-gemborkan itu sebenarnya masih aman bagi wisatawan asing. Itulah mengapa Father Jo minta diantar untuk mendekati gunung. Namun yang paling pokok bagi mereka adalah menyiapkan kedatangan rombongan Father Jo  yang akan menggunakan lokasi wisata rohani Bukit Doa, khususnya Alamanda Retreat untuk retreat 30 Pastor dan Frater dari Ordo Fransiskan (OFM) yang berkarya di Singapore dari tanggal 3 hingga 6 Desember 2012 nanti. Kedatangan orang Singapore untuk acara rohani di Alamanda retreat bagi saya menjadi momen yang sangat istimewa. [caption id="attachment_211292" align="aligncenter" width="600" caption="Salah Satu Interior Alamanda Retreat (dok.pri)"]
1350044813313705964
1350044813313705964
[/caption] Seluruh bagian rumah retreat Alamanda mulai dari tempat tidur, ruang pertemuan, ruang makan dan kamar mandi dicek dan difoto oleh Father Jo.  “Saya akan bikin report buat  Propinsial dan Master Retreat. Sekaligus mengatur pembagian kamar dan tempat tidur untuk 30 participant” kata Father Jo, bersemangat sekali setelah melihat suasana alam dan bangunan yang ramah lingkungan, sambil mencatat dan membuat denah pembagian kamar di atas kertas. Mengedepankan konsep “Sinergitas Alam, Bangunan dan Rohani” di kompleks wisata rohani Bukit Doa ini, bukanlah isapan jempol. Seluruh bangunan di Alamanda Retreat dijuluki pengunjung sebagai “rumah pohon”. Penyebutan rumah pohon itu, terkait dengan tata ruang dan bentuk rumahnya yang mengadopsi rumah panggung adat Minahasa. Tak hanya itu, berada di tengah hutan dan kanan-kirinya masih mempertahankan pohon-pohon besarnya. Sejak dibangun pada tahun 2006, di atas tanah seluas 4 ha yang berkontur berbukit –bukit  dan berada di ketinggian antara 900 hingga 1020 dpl, Alamanda retreat yang bisa menampung rombongan berjumlah 80 orang, banyak dipakai untuk berbagai macam kegiatan. Acara rohani seperti retreat, rekoleksi, seminar nasional, rapat pimpinan dari berbagai instansi gereja, perusahaan dan pemerintah. Lingkungannya terasa segar dan fresh di pagi hari dan malam hari. Kesejukan dan kadang cenderung dingin, memaksa setiap tamu yang menginap untuk diingatkan membawa baju hangat agar tak kedinginan. Rombongan peziarah dari Jakarta, Bandung, Samarinda,Bontang, Makasar, Jawa Tengah, pernah menginap di Alamanda retreat ini. [caption id="attachment_211294" align="aligncenter" width="600" caption="Ruang Meeting Alamanda Retreat (dok.pri)"]
13500448961082226833
13500448961082226833
[/caption] Ada enam unit bangunan di kompleks Alamanda retreat ini. 4 unit dipakai untuk istirahat. Sedangkan 2 unit lainnya untuk ruang meeting dan ruang makan.  Unit-unit itu memang didesain untuk rombongan yang ingin bermeditasi  dan berkontemplasi  dari kebisingan dan rutinitas keseharian.  “Suasana yang sepi dan lingkungan yang asri, sangat cock untuk retreat atau rekoleksi. Apalagi lokasi rumah retreat ini berada di kompleks Bukit Doa Mahawu yang luasnya mencapai 80 ha dan jauh dari pemukiman penduduk yang berjarak sekitar 5-6 km dari rumah rumah retreat “ ujar Ibu Yovita pengelola rumah retreat. “Oh ya jangan kaget kalau di pagi hari terdengar ayam hutan berkokok dan aneka macam burung hutan berkicau nyaring bak musik alam sambil mengiringi terbitnya matahari dari balik Gunung Mahawu” lanjut bu Vita menuturkan pengalaman kesehariannya menjaga rumah retreat ini. Alamanda Retreat adalah salah satu fasilitas wisata rohani Bukit Doa Mahawu yang secara fungsional terpadu dengan fasilitas yang lain. Tak jauh dari rumah retreat, hanya berjalan kaki sekitar tujuh menit, dapat dijumpai Chapel Mahawu, Amphiteater, Gua Maria dan Jalan Salib. Di hari-hari libur Nasional, atau Sabtu Minggu, tak jarang rombongan tour ziarah atau pengunjung biasa memakai fasilitas-fasilitas itu untuk ibadah padang, ibadah devosi kepada Bunda Maria (Mei-Oktober) dan Jalan Salib (Masa Prapaskah).  Keberadaan fasilitas rohani itu di puncak bukit Mahawu ini dengan arsitekturnya yang menyatu dengan alam, juga menjadi daya tarik sendiri bagi para fotogrtafer professional untuk dijadikan spot dalam session prewedding. Berkunjung ke Bukit Doa Mahawu selain untuk berdoa dan beribadat juga menyempatkan diri untuk menikmati wisata alam. “Ada spot di belakang chapel yang bisa nonton langsung Kawah Tompaluan Gunung Lokon yang paling aktif di Sulawesi. Semburan material pijar dan awan debu vulkanik saat meletus tampak indah di lihat di spot belakang Chapel ini” lanjut bu Vita. Saya pun sering mengambil foto saat Lokon meletus di spot ini. Father Jo mengajak saya untuk jalan kaki dari rumah retreat menuju ke Kapel. Katanya selain mengukur jarak tempuh antara Alamanda ke Kapel, saya dikenal tentang kebiasaan orang Singapore yang suka jalan kaki untuk kesehatan. Apalagi udara di kompleks Bukit Doa ini bebas polusi dan bersih. [caption id="attachment_211295" align="aligncenter" width="600" caption="Bagian Dalam Dari Chapel (dok.pri)"]
13500450101690892366
13500450101690892366
[/caption] Sesampainya di  Chapel Mahawu, hal yang pertama dikagumininya adalah interior Chapel yang unik dengan kerangka “tulang rusuk”nya. Ini mengingatkan penciptaan manusia di Kitab Kejadian. Beliau berpesan agar nanti kalau saatnya retreat tiba, minta altarnya dihiasi dengan bunga. Setelah dari Chapel, kami menuju ke gua Maria melewati ruang “serba guna” Amphiteater yang berkapasitas 1000 orang. Amphiteater ini pernah dipakai untuk Tomohon International Choir, performance art yang dishooting oleh TV Swasta untuk episode jalan-jalan. Tak jarang rombongan pengunjung memanfaatkanya untuk acara kebaktian. Setibanya di depan Gua Maria, Father Jo berbisika kepada saya tentang rencana untuk misa di gua pada malam hari. Karena itu beliau bertanya soal penerangan lampu, dan saya jawab bisa. Saya jelaskan juga bahwa setting untuk lighting di seluruh lokasi Bukit Doa ini dibuat remang-remang (dim light) untuk menimbulkan kesan art pada setiap komposisi bangunan, pepohonan dan jalan. Bahkan ketika langit bertabur bintang dengan kawalan bulan purnama, nuansa spiritual bukit doa ini makin meneduhkan hati dalam nada khidmat. [caption id="attachment_211298" align="aligncenter" width="600" caption="Tour Ziarah Dari Jarkarta Di Depan Gua Maria (dok.pri)"]
1350045091756406077
1350045091756406077
[/caption] Saya menjelaskan kepada Father Jo dan Pak Stephanus bahwa jembatan di depan Gua Maria ini adalah jalan penghubung antara kisah kesengsaraan Yesus yang disebut  “via dolorosa” (jalan Salib) dengan kehidupan riil manusia di dunia yang mebutuhkan pertolongan Bunda Maria agar disampaikan kepada Tuhan. Untuk itu, gundukan tanah dengan terowongan berpintu dua saling terhubung, di dalamnya adalah makam Yesus. Di dalam gua ini, diletakkan batu-batu sebagai simbol kuburan kosong tanda Yesus telah bangkit. “Ini perhentian ke 14, dan sebelum ini secara berurutan perhentian 13 hingga pertama. Kalau dari atas, jalan salib dengan lebar satu meter ini konturnya menurun ke bawah. Sebaiknya mulai dari perhentian pertama, supaya pengenangan akan jalan penderitaan Yesus hingga ke puncak Golgota bisa terhayati dengan baik” jelas saya sambil menambahkan informasi bahwa jalan salib Mahawu ini jarak tempuhnya sekitar 30 menit sambil beribadat Jalan Salib. [caption id="attachment_211299" align="aligncenter" width="600" caption="Para Suster Jalan Salib Di Bukit Doa Mahawu"]
13500451631300943279
13500451631300943279
[/caption] Cerita mendampingi Father Josep Nathan OFM dan Pak Stephanus dari Singapore, sejak Senin dan Selasa yang lalu (9/10) menjadi gambaran umum tentang sebuah tempat di kaki Gunung Mahawu yang dulunya hutan belukar, kini disulap menjadi tempat wisata rohani dengan fasilitas yang cukup lengkap. Setiap hari objek wisata rohani ini dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun luar Sulawesi dan luar negeri yang sedang berlibur ke Manado dan sekitarnya. Jadi tak hanya untuk retreat saja namun bisa juga hanya berkunjung dan menikmati pemandangan alam sambil berfoto-foto. Di Bukit Doa Mahawu ini pengunjung juga bisa beristirahat sejenak untuk menikmati kopi atau minuman lainnya sambil mencicipi hangatnya ubi goreng atau pisang goreng yang sangat sedap kalau dicocol dengan rica rowa (sambel khas Minahasa). Disediak dua tempat dengan nama Mahawu café yang berada di muka Amphiteater dan Moyaporong Café yang berlokasi di tanjakan pertama pintu masuk Utara dengan view mengarah ke Gunung Lokon. [caption id="attachment_211300" align="aligncenter" width="600" caption="Amphiteater, Ruang Publik Untuk Membangun Komunitas Rohani (dok.pri)"]
13500452381833258860
13500452381833258860
[/caption] “Kalau sudah sampai di Tomohon jangan lupa singgah berwisata rohani di Bukit Doa Mahawu” pesan saya buat wisatawan dari luar Sulawesi. Kalau ada rombongan yang mau menginap di Alamanda retreat, silahkan kontak dulu agar disiapkan dengan baik. VIDEO KESAKSIAN FATHER JO bisa diklik di SINI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun