[caption id="attachment_209997" align="aligncenter" width="504" caption="Kawah Tompaluan Gunung Lokon Sumber Bencana (foto: dokpri)"][/caption]
Tadi malam sekitar pukul 21.37 wita, masyarakat dikejutkan dengan meletusnya Gunung Lokon. Suara dentuman letusan terdengar hingga tiga kali. Saya pun sempat keluar rumah untuk menyaksikan letusan itu. Sejauh mata memandang, sembari menembus gelapnya malam, tampak di bibir Kawah Tompaluan api lava pijar menyala merah. Demikian juga tebing Gunung tampak terbakar.
Sayang pemandangan letusan malam itu, tak bisa terabadikan lewat kamera seluler saya. Menunggui apa yang terjadi sesudah letusan, itulah yang bisa saya buat tadi malam. Sementara itu, berita letusan mulai ramai dibicarakan di group messenger. “Manado hujan abu” katanya. “Kita terbangun gara-gara suara Opok Lokon tadi” “Susah ambil gambar, awan hitam menutupi”, itulah celoteh mereka.
Kesan “sudah biasa” dan tak terkejut lagi dengan letusan Gunung Lokon, juga saya rasakan saat pagi tadi berjumpa dengan teman karyawan dan para siswa yang sementara sedang menjalani ulangan Mid-Semester.
“Sempat foto tadi malam, tapi burem hasilnya Pak” ujar seorang siswa. “Nggak, nggak terkejut kan sudah biasa. Semalam suaranya nggak keras Pak!” cerita siswa yang lain. “Depe abu ke arah Gunung sebelah Barat, sekitar Koha dan Malalayang, Manado” sambung teman saya.
Lontaran material pijar dan tiga kali meletus yang terjadi semalam, diakui oleh Farid Ruskanda Bina Kepala PVMBG di Pos Pengamatan Gunung Lokon dan Mahawu di jalan Okoy, Kakaskasen Tomohon. Meski masyarakat di sekitar, termasuk siswa-siswa berasrama, sudah menganggap biasa terhadap kejadian letusan itu namun diharapkan tetap siaga mengantisipasi dampak letusan terutama hujan abu vulkanik yang bisa mengakibatkan sesak napas. Demikian himbauan dari pihak-pihak terkait seperti BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Kapolres Tomohon dan lainnya seperti yang dikutip oleh media pagi ini.
[caption id="attachment_210000" align="aligncenter" width="400" caption="Kawah Itu Dekat Dengan Pemukiman (foto: dokpri)"]
Pagi tadi, aktivitas masyarakat menunjukkan hal yang biasa. Dalam perjalanan menuju ke kantor, saya melihat para petani sedang bekerja di sawahnya yang sedang menghijau. Anak-anak SD pun tampak riang memasuki kelas-kelasnya di salah satu sekolah yang saya lewati. Mikrolet, kendaraan umum, bersliweran di jalan raya membawa pelajar dan ibu-ibu yang pulang berbelanja. Satu dua mobil pribadi, saya lihat kaca dan bodinya tersiram abu vulkanik yang belum dibersihkan.
Dalam perjalanan ke kantor dari lereng Gunung Mahawu menuju ke Lokon, tampak kawah Tompaluan pagi ini masih mengeluarkan abu vulkanik yang menggulung-gulung namun tak terlalu hitam pekat warnanya. Langit pagi yang bersih biru, cukup jelas membedakan warna awan vulkanik itu.
Dari berbagai tanggapan masyarakat tentang meletusnya Gunung Lokon semalam, saya menangkap adanya pembentukan sikap yang “sudah terbiasa” dan akhirnya tenang-tenang saja. Bukan menjadi hal yang mengejutkan lagi ketika Lokon meletus. Hujan abu yang turun di sekitar gunung dan mengenai pemukiman, seharusnya diwaspadai bisa menggangu kesehatan, namun kali ini terkesan biasa-biasa saja. Rutinitas keseharian tetap berjalan.
[caption id="attachment_209998" align="aligncenter" width="560" caption="Kawah Tompaluan, Dari Dekat (foto: dokpri)"]
Boleh jadi kondisi ini sangat tergantung dari besar kecilnya letusan. Di sisi lain, pemberitaan media pagi ini secara serempak mengingatkan akan bahaya dari dampak letusan Gunung Lokon sehingga harus disikapi dengan sikap waspada. Memang bencana kadang tak mudah diprediksi khususnya bencana alam seperti gunung meletus.
Inilah cerita pagi ini pasca letusan semalam. Bagaimana pun juga antisipasi bencana yang sewaktu-waktu terjadi secara mendadak sudah dilakukan dan simulasinya pun sudah dilatih. Tak heran dibuat sebuah komunitas baru dengan nama sekolah tangguh bencana dan sekolah penyangga bencana yang terkoneksi dengan para punggawa “siaga bencana” dari instansi terkait yaitu BPBD dan Pemkot Tomohon, Polres, TNI serta masyarakat.
Terbiasa dengan letusan Gunung, bukan berarti terhindar dari bahaya. Meski sudah berkali-kali mengadakan simulasi dan latihan siaga bencana, namun sikap “tenang-tenang saja” warga itu perlu juga ditumbuhkan sikap “reaksi cepat” terhadap kewaspadaan akan datangnya bahaya yang lebih besar. Baik juga kiranya kalau para punggawa bencana mengatakan warga harus siaga dan waspada, warga menerjemahkannya dengan bersikap siap “bereaksi cepat” seperti membagikan masker atau menggunakan masker yang dibagikan atau menghubungi petugas tanggap darurat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H