Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Watu Pinawetengan: Batu Tempat Pembagian Suku Minahasa

30 Juli 2012   08:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:27 2870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_197173" align="aligncenter" width="420" caption="Mengunjungi Watu Pinawetengan, Tompaso"][/caption]

Tulisan ini lanjutan dari tulisan yang berjudul, “Mengunjungi Tugu Toleransi Di Bukit Kasih Kanonang” yang beberapa hari lalu saya posting.

Jumat, 27 Juli 2012. Bus mini ELF bermesin diesel warna silver itu, pelan-pelan meninggalkan tempa parkir Bukit Kasih Kanonang. Arah yang dituju tidak melewati pos penjagaan karcis masuk, akan tetapi belok kiri menyusuri jalan beraspal sempit dan kanan kiri ditumbuhi semak belukar lebat.

“Kalau berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan bagaimana ini?” tanya salah satu tamu yang rupanya memperhatikan arah jalan bus mini sejak tadi. “Ya, kalau berpapasan dengan kendaraan dari arah muka, salah satu berhenti dulu, supaya bisa jalan. Kalau pas di sini ya sulit, caranya ya mundur dulu hingga cari lokasi yang bisa untuk berpapasan” jawab Om Willem sopir bus mini itu.

[caption id="attachment_197187" align="aligncenter" width="420" caption="Sesajian (Pawetengan) Di Sudut Batu Altar"]

1343638265429955739
1343638265429955739
[/caption]

Jalan menuju ke Watu Pinawetengan dari Bukit Kasih beraspal halus, hanya lebar jalan pas untuk satu kendaraan. Kekuatiran akan berpapasan dengan kendaraan lain ternyata tidak terjadi hingga kami sampai ke Watu Pinawetengan. Hanya tadi sedikit melambat karena ada Kuda yang terikat dan makan rumput di seberang jalan. Klakson dibunyikan dan kuda yang menghalangi jalan itu langsung menyingkir.

[caption id="attachment_197175" align="aligncenter" width="420" caption="Batu Ini, Altar Suci Berbentuk Seperti Pulau"]

13436372381686336336
13436372381686336336
[/caption]

Tak kurang dari 10 menit dari Bukit Kasih, kami akhirnya tiba di lokasi Watu Pinawetengan yang masuk wilayah desa Pinabetengan, Tompaso, Minahasa. Turun dari bus mini, kemudian kami mendekati sebuah bangunan bertuliskan Watu Pinawetengan berwarna kuning keemasan. Sebelum memasuki rumah itu, kami diingatkan agar melepas alas kaki karena tempat ini adalah tempat suci dan tempat adat istiadat orang Minahasa.

Hampir sebagian tamu saya langsung mendekatkan diri ke “papan pengumuman” untuk membaca informasi yang tertempel di situ. Tampak mereka serius membaca dan akhirnya diketahui bahwa informasi itu bercerita tentang asal-asul Watu Pinawetengan.

Secara singkat, kami dapat informasi bahwa, Watu Pinawetengan itu sebuah batu yang digunakan sebagai altar suci untuk mempersatukan kembali anak-cucu keturunan Toar dan Lumimuut yang tinggal di daerah pegunungan bernama Wulur Mahatus, selatan Malesung (Minahasa). Keturunan Toar Lumimuut semakin banyak hingga dikelompokkan menjadi beberapa golongan.

[caption id="attachment_197176" align="aligncenter" width="420" caption="Papan Pengumuman Berisi Informasi Sejarah"]

13436373381554533790
13436373381554533790
[/caption]

“Golongan Makarua Siou (2 X 9), yang mengatur kegiatan keagamaan dan adat istiadat, yaitu para Walian dan Tonaas, golongan Makatelu Pitu (3 X 7), yaitu golongan Teterusan, yang terdiri dari para Waranei (prajurit) dan pemimpinnya, yang mengatur keamanan, dan golongan Pasiowan Telu, yang terdiri dari rakyat biasa, petani, dan pemburu” seperti yang tertulis di papan pengumuman tadi.

Makin bertambahnya keturunan dari Toar dan Lumimuut, makin jauh mereka berpencar-pencar ke segala penjuru di Minahasa ini. Karena itu, Toar Lumimuut minta kepada Maketelu Pitu untuk mengumpulkan kembali semua golongan yang telah berpencar kemana-mana.

“Di sebuah batu di bawah kaki pegunungan Tonderukan, diadakanlah musyawarah tentang pembagian wilayah dan tanah pencaharian, dan pembagian suku. Maka munculkah suku-suku, Touwtewoh (Tounsea), Touwsendangan,Touwrikeran (Toulour), Touwmayesu, dan Toukinembut, Toukembut, Toupakewa (Tountemboan). Pada batu tempat musyawarah inilah Tou (orang) Malesung berikrar untuk bersatu, walaupun hidup berkelompok dan berbeda wilayah, juga bersatu untuk menghalau serangan-serangan dari luar, termasuk tekanan dan serangan dari daerah Bolaang-Mongondow pada waktu itu (sekitar abad 15), dan kemudian bangsa Spanyol (Tasikela atau Kastela) pada tahun 1617 sampai 1645, sehingga muncul perubahan dari “Malesung” menjadi “Maesa” atau “Mina Esa” yang berarti “menjadi satu” yang kemudian berkembang menjadi “Minahasa”.

Sejak itu penduduk mulai menyebar ke seluruh Minahasa, berkembang menjadi suku dan bahasa: Tonsea, Toumbulu, Tountemboan, Toulour, Tounsawang kemudian penduduk pendatang dengan nama Bantik, Pasan, dan Ponosakan” kata teman saya menambah informasi dari papan pengumuman tadi.

[caption id="attachment_197177" align="aligncenter" width="420" caption="Watu Pinawetengan, Selalu Diberi Pawetengan (sesaji)"]

1343637422874652544
1343637422874652544
[/caption]

Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, bentuk batu ini seperti orang bersujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, bentuk batu ini juga seperti peta pulau Minahasa. Batu ini menurut para arkeolog, dipakai oleh nenek moyang orang Minahasa untuk berunding. Maka tak heran, namanya menjadi Watu Pinawetengan yang artinya Batu Tempat Pembagian.

Batu ini bisa dikatakan tonggak berdirinya sub-etnis yang ada di Minahasa dan menurut kepercayaan penduduk berada di tengah-tengah pulau Minahasa. Bahkan beberapa orang yang rutin mengunjungi Watu Pinawetengan, ada ritual khusus yang diadakan tiap 3 Januari untuk melakukan ziarah. Sementara itu, karena nilai sejarah dan budaya yang kental, tiap 7 Juli dijadikan tempat pertunjukan seni dan budaya yang mulai terkikis di Minahasa. (sumber: Wikipedia)

[caption id="attachment_197179" align="aligncenter" width="420" caption="Cagar Budaya Yang Dilindungi Oleh Undang-undang"]

13436376611523744010
13436376611523744010
[/caption]

Sebagian cerita itu saya sampaikan di dalam bus ini dalam perjalanan ke tempat sejarah Watu Pinawetengan itu. Tujuan saya agar orang luar (bukan orang Minahasa) memperoleh gambaran historis tentang adat istiadat dan asal-usul Minahasa secara jelas. Informasi awal ini penting supaya ketika sampai di objek wisata sejarah itu, apa yang digambarkan di benak mereka menjadi sinkron dengan kenyataan yang dilihatnya.

Wisata ke Watu Pinawetengan ini selain melengkapi kunjungan ke Tugu Toleransi Bukit Kasih juga berupaya memperkenalkan historitas orang Minahasa dan adat istiadatnya.

[caption id="attachment_197180" align="aligncenter" width="420" caption="Baliho Sisa-sisa Pentas Seni Budaya (7 Juli 2012)"]

134363775610587895
134363775610587895
[/caption]

Cerita sejarah Minahasa, dikutip dari berbagai sumber dan perbincangan dengan Om Willem Potu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun