Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sampah Tak Bertuan, Di Museum Fatahilah

25 Juni 2012   11:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_190586" align="aligncenter" width="600" caption="Sumur Bersejarah Ini Jadi Tempat Buang Sampah"][/caption] Sebenarnya Museum Fatahilah, di kawasan Kota Tua Jakarta itu sudah tutup. Namun, berkat guide tour akhirnya rombongan siswa study tour yang saya dampingi, diperkenankan masuk untuk menimba petilasan sejarah Hinda Belanda. Bayangkan saja, seandainya kami tidak bisa masuk ke museum itu, sia-sialah kami datang jauh-jauh dari Tomohon Sulut. Pembelajaran tentang sejarah kota Jakarta sudah dimulai ketika kami berada di bus Pariwisata yang menjemput kami di bandara Soeta pada hari Minggu, 17 Juni 2012, sekitar pukul 11.00 siang. Dalam perjalanan menuju kota Tua, kami diajak untuk mengingat kembali sejarah terbentuknya kota Jakarta. “Nama Jakarta diambil dari Pangeran Jayakarta, Kerajaan Pajajaran yang menguasai pelabuhan Sunda Kelapa sejak jaman Portugis. Namun sejak munculnya VOC, Hindia Belanda, Jakarta lebih dikenal dengan nama Batavia yang berasal dari salah satu suku di Belanda, Batavier. Karena itu, Jakarta juga disebut Batavia. Untuk lebih lengkapnya kita akan kunjungi museum batavia atau dikenal dengan museum Fatahilah di kawsan Kota tua Jakarta”, demikian Aal guide tour kami menjelaskan di hadapan 32 siswa Lokon yang memanfaatkan liburan sekolah untuk study tour ke Jawa hingga Bali selama seminggu. Setelah bus yang kami tumpangi parkir di belakang bus pariwisata lainnya, kami pun turun dan menuju ke pintu masuk museum kota tua. Ada sedikit negoisasi antara guide tour dan penjaga museum untuk masuk ke kawasan sejarah itu. Rupanya, kami terlambat datang karena museum sudah tutup. Namun berkat guide tour kami akhirnya kami diperbolehkan masuk. Sementara itu, ada rombongan wisatawan lain yang ingin masuk saya lihat tidak diperkenankan oleh satpam. [caption id="attachment_190587" align="aligncenter" width="600" caption="Petugas Museum Menjelaskan Nilai Sejarah Sumur"]

1340622690196906593
1340622690196906593
[/caption] Siswa-siswi kami kemudian dikumpulkan dan diberi penjelasan tentang sejarah museum Fatahilah ini oleh petugas Museum. Ada banyak petilasan yang kandungan sejarahnya  sangat pekat dengan terbentuknya kota Jakarta. Penjara-penjara di bawah gedung menjadi saksi betapa kerasnya penjajahan Belanda saat itu. Simbol kekerasan lainnya bisa dilihat dari meriam-meriam yang terpajang di halaman. Ada satu meriam yang di pangkalnya menandakan seksualitas. Tak heran petilasan ini diserbu oleh siswa untuk berfoto ria. Selain itu ada juga sumur, yang di bibirnya ditutup dengan terali besi agar pemberontak yang dipenjara di sumur ini tidak bisa melarikan diri. Sayangnya ketika kami menengok lubang sumur itu, ada sampah yang mengapung di permukaan air itu. Beberapa siswa menanyakan tentang sampah itu. Lalu dijawab oleh petugas museum bahwa tak mudah memberitahukan tentang buang sampah pada tempatnya kepada pengunjung. [caption id="attachment_190588" align="aligncenter" width="600" caption="Tempat Sampah Belum Menjamin Kebersihan"]
1340622782477066329
1340622782477066329
[/caption] Banyak tempat sampah disediakan di lokasi museum itu, tapi tetap saja tidak menjamin kepada pengunjung untuk buang sampah pada tempatnya. Lalu bagaimana dengan “cleaning service’? Rupanya ini menjadi kendala karena menyangkut upah tenaga kerja. “Harus ada kesadaran bersama sejak dini” kata petugas museum. Udara panas di kawasan Kota Tua Jakarta siang menjelang sore itu membuat gerah siawa kami yang terbiasa hidup di daerah sejuk di kaki Gunung Lokon. Para penjual minuman di depan museum di sepanjang trotoar laris manis diserbu siswa kami. Sembari menanti mereka membeli minuman, saya melihat kebersihan lingkungan kawasan kota Tua itu sebagai lokasi wisata yang banyak dikunjungi baik oleh pelajar maupun wisatawan asing. [caption id="attachment_190589" align="aligncenter" width="600" caption="Para Pedagang Berkontribusi Dalam Sampah"]
1340622843439392485
1340622843439392485
[/caption] Kesimpulan saya, banyaknya  para pedagang yang menjajakan makanan dan minuman bisa jadi menjadi sumber sampah. Namun di pihak lain, sampah menjadi ada karena ulah para pembeli yang membuang sampah sembarangan. Tempat sampahpun perlu ditambah. Tapi menambah tempat sampah kadang hanya solusi sementara jika tidak ada petugas pengangkut sampah. Berjubelnya sampah di tempat samnpah juga menjadi pemicu enggannya pengunjung buang sampah di tempat sampah. Ulah pembeli makanan dan minuman perlu disadarkan terus supaya tempat wisata tidak identik dengan jamban sampah yang berserakan. Semakin lokasi wisata itu bersih, makin nyaman dan menjadi daya tarik pengunjung untuk menikmati liburan.  Sayang kalau ketidaknyamanan wisata itu disebabkan hanya karena sampah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun