Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalis Pra Bayar, Sebuah Kisah Teman

13 Juni 2012   00:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:03 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_187678" align="aligncenter" width="600" caption="Foto Minimalis: Mangkok (dok.pri)"][/caption]

Ada berbagai macam cara agar sebuah iven atau tempat wisata semakin banyak menarik perhatian masyarakat luas. Selain membuat iklan (advetorial) di surat kabar juga bisa ditempuh dengan cara menghubungi jurnalis atau wartawan untuk dibuatkan sebuah liputan tentang iven yang akan, sedang berlangsung.

Objek wisata yang secara operasional tergantung dari banyaknya kunjungan wisatawan, bisa dibuatkan tulisan juga dan kemudian “dikorankan” agar supaya jumlah pengunjungnya semakin meningkat.

“Tempat wisata ini tergantung pengunjung. Tanpa ada pengunjung tidak ada pemasukan. Kalau tidak ada pemasukan kasihan karyawannya mau digaji dengan apa dan tentunya pemasukan itu untuk maintenance pemeliharaannya. Mengapa tempat wisata ini bersih ya karena ada cleaning service-nya” ungkap salah satu staf bagian keuangan objek wisata swasta.

Berkembangnya teknologi informasi yang diwakili dengan canggihnya perangkat komunikasi seperti smartphone dan internet, makin memudahkan siapa saja untuk kirim berita atau liputan dengan cepat, praktis dan hemat ke meja redaksi. Bahkan dalam hitungan detik sudah sampai menjangkau ke berbagai tempat khususnya dalam berita on line.

[caption id="attachment_187682" align="aligncenter" width="280" caption="Block Note (dok.pri)"]

13395464841790426894
13395464841790426894
[/caption]

“Dulu, sejauh saya tahu, seorang wartawan itu dalam meliput berita, terlebih dahulu mendatangi sumber berita entah itu berupa peristiwa, kejadian atau mencari narasumber terpercaya. Supaya lebih aktual dan menarik, biasanya wartawan melengkapinya dengan foto-foto yang diambilnya sendiri” kata teman saya yang bekerja sebagai sekretaris Yayasan.

“Tapi sekarang, agak berbeda prosesnya. Telpon wartawan, bikin kontrak liputan. Ketika wartawan yang dikontak itu datang, tinggal diberi press release lengkap dengan fotonya. Jika itu berupa acara yang sedang berlangsung, wartawan bisa menggunakan hape-nya untuk sms atau mengirim email fakta dan data yang dia lihat atau sesuai dengan press release yang dia terima dari pihak penyelenggara (kalau ada). Tak perlu menyusun dan menyunting berita sendiri. Serahkan saja ke meja redaksi nanti ada yang mengolah beritanya” lanjut teman saya dengan antusias karena sudah terbiasa dengan pola seperti itu.

Mendengar kisah teman saya itu, saya semakin penasaran dengan apa yang dia sebut dengan istilah “kontrak liputan”. Sebelum saya bertanya lebih lanjut, teman saya tadi juga berujar tentang wartawan tanpa surat kabar.Yaitu, orang yang mengaku wartawan tetapi tidak memiliki ID Surat kabar yang jekas dan terpercaya alias meragukan. Beberapa kali teman saya ditelpon dan didatangi oknum seperti itu.

[caption id="attachment_187679" align="aligncenter" width="600" caption="Kerei Jendela (dok, pri)"]

13395458082128857368
13395458082128857368
[/caption]

Baru-baru ini saya juga mengalamai hal serupa. Meski saya masih ragu-ragu apa betul mereka itu wartawan tanpa surat kabar atau tidak. Yang jelas ada kemiripan dengan “modus operandi” seperti yang diceritakan oleh teman saya tadi.

Suatu ketika, saya dihubungi oleh seorang lewat hape yang intinya ingin mewawancari saya soal tempat wisata yang kami kelola agar makin dikenal oleh masyarakat luas. Janjian ketemu sudah disepakati dan mereka pun datang ke kantor. Berbagai informasi yang diperlukan sudah saya berikan, termasuk brosur-brosur yang saya punyai.

“Bapak suka liputan atau advertorial?” tanya salah satu dari mereka yang mengaku koordinator liputan, yang hendak mengakhiri perjumpaan kami. Sejenak saya diam tidak menjawab, tetapi otak saya berputar sambil teringat dengan kisah teman saya tadi sekaligus berusaha keras memahami maksudnya.

“Maksudnya bagaimana?” jawab saya. “Begini pak sekarang ini dalan dunia press hanya dikenal dua istilah. Liputan dan advertorial. Kalau liputan itu tulisan apa adanya sesuai dengan informasi yang bapak berikan dan kemudian ditulis ulang oleh rekan kami. Sedangkan advertorial adalah iklan dengan menggunakan bahasa jurnalistik dan dilenkapi dengan foto-foto. Karena itu, ya terserah bapak, maunya yang mana, kami siap membantu” sambungnya sambil memperlihatkan selembar koran yang diterbitkan seminggu sekali.

Perbincangan di siang hari yang sedikit gerah itu pendeknya hampir mirip apa yang dikisahkan oleh teman saya tentang kontrak liputan. Intinya, untuk bisa masuk koran atau menjadi berita dimuat dalam koran perlu menyediakan dana yang diberikan kepada wartawan. Lama sedikitnya pemuatan tergantung kontrak yang disepakati. Teman saya bercerita begitu santainya karena berprinsip win-win solution atau saling menguntungkan. “Ya, era sekarang, tanpa pencitraan yang baik, tak banyak orang yang melirik apalagi mau datang atau memilihnya ulang menjadi figur politik” lanjutnya.

Bagi saya kejadian itu merupakan pengalaman baru yang tidak saya kira sebelumnya. Lalu berapa jumlah dana yang harus disiapkan. “Yah, rata-rata tiga ratus ribu per liputan sekali terbit. Tergantung oplah koran dan brand image koran tersebut serta luas jangkauan koran itu”, katanya.

[caption id="attachment_187680" align="aligncenter" width="600" caption="Setetes Air Bisa Membasahi Dahaga (dok.pri)"]

1339545892880191205
1339545892880191205
[/caption]

Pengalaman ini kemudian makin menambah wawasan saya tentang jurnalis prabayar sambil ingat akan sebuah iklan salah satu provider, “isi pulsa dulu baru dapat signal”. Bagaimana dengan jurnalis warga?Aapakah jurnalsi warga minta imbalan kalau tulisannya kemudian dicopas dan diterbitkan di media cetak atau on line? Sstt.....(jangan keras-keras ya)  saya pernah dapat honor dari tulisan saya di Kompasiana yang kemudian dimuat di koran cetak, tapi ada juga yang memberi pujian saja lewat telpon he he he

Namun, yang jelas jurnalis warga adalah murni seorang sukarelawan pewarta yang berasal dari masyarakat. Karena itu, bolehkah menyebut diri sebagai pahlawan (baca: penulis) tanpa tanda jasa he he he he…

[caption id="attachment_187684" align="aligncenter" width="400" caption="Kampretos"]

1339547043909416845
1339547043909416845
[/caption]

Klik di huruf tebal ini untuk lebih tahu tentang WPC8 Minimalist Photography dan tulisan kompasianer lainnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun