Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Foto BW, Pendidikan Nasional

29 April 2012   14:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:58 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_178033" align="aligncenter" width="640" caption="Kelompok Presentasi Global Warming (foto: dok.pri Trilokon)"][/caption]

Entah mengapa. Setiap kali teman-teman Kamprets berbicara tantangan foto BW (Hitam Putih), pikiran saya selalu tertuju pada pendidikan di Indonesia. Apakah karena menjelang peringatan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei nanti (dua hari lagi)? Atau karena perasaan saya saja yang ingin mengatakan bahwa bukan hanya foto yang BW tetapi dunia pendidikan kita pun juga ada BW-nya?

Yang jelas aroma Hardiknas sudah terasa di sekitar saya. Jumat dan Sabtu kemarin saya diminta untuk mengisi session “Character Building” bagi 112 siswa kelas X SMA berasrama. Dalam dua hari itu, saya disuruh untuk membentuk karakter para remaja itu dengan sebaik-baiknya. “Pokoknya terima beres”, kata salah satu guru BK sekolah itu.

Bukan tanpa alasan kalau sekolah menunjuk saya untuk “mengisi” kegiatan Character Building. Mulai dari angkatan 5 hingga angkatan 9, saya bersama tim selalu mendampingi dalam setiap kegiatan outbound dari pagi hingga sore. Sekarang mereka minta untuk dua hari. Siang, sore dan malam harus ada kegiatan yang berfokus pada pembentukan karakter.

[caption id="attachment_178034" align="aligncenter" width="640" caption="Pos 7, Jembatan Manusia (foto: dokpri Trilokon)"]

13357094261249643124
13357094261249643124
[/caption]

Ketika sedang menjamu guru BK dan Wakasek Bidang Kesiswaan itu, tedengar dari kejauhan suara marching band yang sedang latihan. “Nah, suara marching band itu menjadi tanda bahwa Hardiknas makin dekat. Biasa, setiap Hardiknas ada pawai pendidikan. Siap-siap marching band, drum band, musik bambu, kolintang dan tarian tradisional dari setiap sekolah, ikut pawai” kata pak Tommy, Wakasek Bidang Kesiswaan, saat ketemu dengan saya untuk acara Character Building.

Apakah kegiatan Character Building ini juga dalam rangka untuk memperingati Hardiknas? Yang jelas memang dari segi waktu berdekatan dengan Hardiknas, 2 Mei. Setelah mereka pulang, lalu saya mulai berpikir tentang materi pembentukan karakter bagi 112 siswa sekolah berasrama itu.

Kemudian saya ingat ada seorang dosen filsafat yang mengatakan bahwa “Hidup yang berhasil itu berbeda dengan hidup yang bermakna. Lazimnya keberhasilan seorang diukur dari apa yang dicapai dan diperoleh. Sedangkan seseorang hidupnya bermakna terletak pada kemampuannya untuk memberi. Jadi, seorang guru yang sejati adalah seorang pribadi yang ingin memberikan dirinya agar hidup orang lain (siswa) menjadi bermakna”.

[caption id="attachment_178040" align="aligncenter" width="640" caption="Mengawasi Menara Pendidikan Adar Tidak Jatuh (Foto: dokpri. Trilokon)"]

13357102671363978239
13357102671363978239
[/caption]

Tak jauh dari arti itu, pepatah dalam bahasa Latin menyebutnya, “Non scholae sed vitae discimus” (saya belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup). Karena itu, pemaknaan tentang pendidikan tak hanya untuk meraih prestasi setinggi mungkin di bidang akademis, (termasuk lulus UN 100%) tetapi aspek budi pekerti, etika moral, spiritual dan fisik termasuk dalam ranah intelgensia yang penting untuk pembentukan kepribadian siswa.

[caption id="attachment_178035" align="aligncenter" width="640" caption="Membangun Kelompok Berbasis Teman Angkatan (foto: dokpri Trilokon)"]

13357095271527855199
13357095271527855199
[/caption]

“Pendidikan memang harus diprioritaskan oleh negara. Saat ini yang dibutuhkan adalah revitalisasi persekolahan dan pendidikan secara umun untuk kembali pada tujuannya.Karena itu, ada tiga syarat agar negara ini bisa maju. Yang pertama, pendidikan. Yang kedua, pendidikan dan yang ketiga pendidikan.” kata owner sekolah berasrama. “Mengapa pendidikan? Karena esensi dari pendidikan itu adalah pembentukan anak cucu bangsa yang utuh dan berkualitas serta takut akan Tuhan. Kalau pendidikannya saja tidak berkualitas, mana bisa membentuk manusia secara utuh dan berkualitas sebagai penerus bangsa ini?” lanjutnya dengan nada sedkit menggerutu terhadap sikon pendidikan di Indonesia dewasa ini.

Referensi itu, lalu saya jadikan bahan dasar untuk membuat materi pembentukan karakter selama dua hari itu. Hari pertama peserta yang terbagi dalam 10 kelompok, saya ajak untuk mengikuti Mahawu Jungle Trekking di hutan kaki Gunung Mahawu. Dalam trekking itu, setiap kelompok harus melalui 10 pos dan di setiap pos setiap kelompok mengerjakan tugas seperti asah otak, jembatan manusia, kapal pecah, estafet balon, menara air dll.

[caption id="attachment_178042" align="aligncenter" width="494" caption="Seragam Sekolah, Pendidikan Tak Seragam (Foto: dokpri Trilokon)"]

1335710872609746256
1335710872609746256
[/caption]

Dalam kegiatan itu, metode learning by doing atau sering disebut juga Experiential Learning kami pakai karena dengan cara itu, peserta bisa belajar banyak hal seperti leadership, kekompakan, team work, kecepatan memecahkan masalah, kepedulian, kebersamaan, motivasi, kreativitas, bela rasa dll. Sejauh pengamatan saya, saat mereka mendapatkan tugas di pos, setiap kelompok bisa menunjukkan sebagai team work dan leadership yang bagus.

Sebelum makan malam, diadakan pengayaan dan refleksi atas kegiatan trekking, di ruang meeting. Tema “Global Warming” dipilih terkait dengan kegiatan pengalaman perjalanan mereka di hutan. Kemudian benang berah trekking dan global warming diolah dan diekspresikan pada sebuah lukisan di atas karton Manila yang sesudah makan malam dipresentasikan. Monitoring pembentukan karakter dilakukan dengan cara menayangkan lewat proyektor foto-foto kegiatan mereka tadi.

Hari kedua, kegiatan berfokusnya pada pembentukan karakter berbasis angkatan, bukan kelompok-kelompok lagi. Di Amphiteater terbuka, semua kegiatan seperti oposite, Pedang Samurai, Maju Mundur, Bangun bersama, Komunikasi, Folding Carpet, Labirin, dll dilaksanakan hingga sore hari.

[caption id="attachment_178037" align="aligncenter" width="640" caption="Berjalan Bersama, Jika Tidak Mau Gagal (Foto: dokpri Trilokon)"]

13357096731376721971
13357096731376721971
[/caption]

Malam harinya kami adakan api unggun untuk menilai Yel-yel terbaik dan pementasan setiap kelompok. Hadiah bagi yang terbaik sudah kami siapkan dan kami beritahu sejak awal untuk memotivasi mereka bahwa fun games itu sebuah permainan namun tidak main-main. Sebelum api unggun, dikumpulkan di ruang meeting untuk merefleksikan melalui foto-foto kegiatan pagi hingga sore hari. Sesudah itu, saya mengajak mereka untuk bergandengan sambil menyanyikan lagu-lagu kebersamaan.

Proses pembentukan karakter itu tidak semudah membalik tangan. Menjadi sebuah tantangan besar ketika saya mengetahui bahwa asal-usul siswa berasal dari Timika, Kaimana, Jayapura, Manado, Maluku, Makasar, Palu, Kotamobagu, Bitung, Sangir Talaud, Jawa, Kalimantan. Dalam pluralitas itulah pembentukan karakter harus dijalankan agar mereka paham bahwa untuk menjadi seorang pemimpin mereka harus bisa memimpin dirinya sendiri kendati keanekaragaman budaya, ekonomi, bahasa, watak itu berbeda-beda.

Saya pun terpaksa dengan nada marah menggertak siswa-siswa yang berbicara sendiri ketika temannya sedang mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Masuk melalui telinga kiri keluar dari telinga kanan, dan tidak peduli serta kurang berpatisipasi terhadap setiap kegiatan, sudah saya pikirkan sejak awal seiring dengan perkembangan keremajaan mereka yang masih labil dan emosional.

[caption id="attachment_178038" align="aligncenter" width="640" caption="Api Unggun Simbol Kebersamaan (foto: dokpri. Trilokon)"]

13357097901585958669
13357097901585958669
[/caption]

Cerita pendidikan ini rasanya tak sesuai bagi mereka yang karena miskin lalu tidak bisa bersekolah. Miris memang jika mendengar bahwa sekolah itu mahal, sementara jumlah orang miskin makin bertambah seiring dengan minimnya lapangan pekerjaan. Kendati ada istilah arisan pendidikan, namun toh bukan solusi instan. Lebih ironis, apabila diketahui, subsidi pendidikan yang seharusnya untuk memajukan pendidikan dan memberikan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu, ujung-ujungnya dikorupsi. Hati siapa yang tak galau ketika tersiar kabar dana BOS dipakai untuk plesiran ke luar negeri oleh segelintir wakil rakyat?

1335710547569467519
1335710547569467519

Catatan:

Foto-foto dibuat BW sesuai dengan Judul tulisan dan tantangan Kamprets.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun