Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

“Mapalus Kamtibmas”, Esensi atau Sensasi dari Sistem Aman Negara?

21 Februari 2012   10:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:22 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329820056285579501

[caption id="attachment_164188" align="aligncenter" width="490" caption="Launching Program Mapalus Kamtibmas Prov. Sulut (foto dari google)"][/caption]

Bagi masyarakat Minahasa, menjaga rasa kebersamaan dan kerja sama di antara warga sangat penting. Itu sudah menjadi tradisi dan budaya turun temurun. Maka, tak heran kalau ada salah satu warga sedang “beking sabuah” atau mengadakan hajat perkawinan, pestanya sangat meriah. Kesan pesta pora dan banyak tamu yang datang, bukan hal yang aneh bagi mereka. Sudah semestinya begitu.

Kegiatan untuk melestarikan rasa kebersamaan itu, disebut “mapalus”. Tak ada yang tahu, asal  kata mapalus itu. Yang jelas munculnya mapalus, dimulai dari sebuah kebiasaan dalam menggarap lahan pertanian orang secara bersama-sama. Ketidakmampuan pemilik tanah menggarap sendiri lahan pertanian atau perkebunan, memunculkan ide untuk digarap dan diolah secara bersama-sama mulai dari bersih-bersih, penanaman bibit, hingga memetik hasil panen. Namun, tergantung pemilik mau mapalus yang mana. Mapalus bersih-bersih atau menanam saja.

Mapalus sudah menjadi tradisi karena alat-alat pertanian belum modern seperti sekarang. Tak ada traktor. Perlengkapan pertanian seperti alat memberantas hama atau racun rumput, juga belum ada. Yang ada saat itu, selain Sapi, adalah warga masyarakat yang siap membantu untuk mengolah lahan pertanian. Begitu seterusnya sehingga gotong royong itu disebut mapalus hingga sekarang ini.

Dalam perkembangan selanjutnya, rasa kebersamaan itu tak hanya ramai-ramai mengolah lahan pertanian saja, tetapi juga menyangkut soal makan bersama. Jadi setiap penggarap membawa makan sendiri-sendiri dari rumah dan pada waktu istirahat disajikan dan dimakan bersama. Kebiasaan inilah kemudian juga berarti mapalus. Tidak setiap hari begitu tetapi bisa seminggu sekali.

Mapalus kemudian membudaya dalam hajat perkawinan. Jika ada warga sedang mengadakan hajat, maka warga lain datang membantu entah dalam bentuk uang atau makanan. Kalau saya membantu dalam bentuk uang maka nanti kalau saya hajatan, ia juga akan membantu dengan uang yang nilai nominal sama dengan ketika saya membantu.

“Kalau dia memberi 10 ekor ayam, maka ia wajib memberi bantuan 10 ekor ayam kepada yang membantu. Semua jenis bantuan itu dicatat, agar besok kalau saya hajatan mendapat bantuan yang sama jenis dan beratnya. Begitulah rasa kebersamaan itu dijaga hingga sekarang. Dulu mapalus juga terjadi saat membangun rumah, sekarang sudah tidak berjalan karena warga membangun sendiri-rumahnya” ungkap Bucek, teman kantor, asli orang Minahasa.

Bagaimana kalau ada warga yang tidak baku balas dalam mapalus. “Biarlah masyarakat yang memberikan sanksi sosial padanya” lanjut Bucek. “Karena itu, dibentuk kelompok mapalus yang anggotanya hingga 30 orang dan warga setempat yang baku kenal satu sama lain. Semacam arisan namun dengan cita rasa budaya kebersamaan orang Minahasa. Jadi, dalam mapalus terjadi baku atur secara otomatis dengan dilandasi saling percaya.”Lanjut Bucek.

Mapalus Kamtibmas

Masih ingat “siskamling”? Sistem keamanan lingkungan yang sudah berjalan lama hingga akhirnya muncul dengan istilah “ronda” di waktu malam hari? Hampir mirip dengan siskamling, GubenurSulut baru-baru ini (1/2/2012), me-launching “Mapalus Kamtibmas” bagi masyarakat wilayah provinsi Sulut.

“Satu desa satu polisi, adalah salah satu program dari Mapalus Kamtibmas. Asa dari program ini adalah menciptakan rasa aman, tenteram dan nyaman bagi warga masyarakat dari gangguan ketertiban dan keamanan, namun dalam prateknya melibatkan rasa kebersamaan antara masyarakat dan pemerintah daerah” kata Gubenur Sulut, Sarundajang dalam acara launching Mapalus Kamtibmas.

Tampak hadir dalam acara launching Mapalus Kamtibmas, Wakapolri Komjend Nanan Sukarna, Kapolda Sulut Brigjen Pol Carlo Teuw, Korem, Lantamal, Kepala-kepala Daerah Kabupaten/Kota se-Sulut.

“Mapalus Kamtibmas Sulut, adalah dalam rangka deteksi potensi bencana mulai dari tingkat yang paling bawah (desa), seperti bencana alam, bencana non alam, bencana sosial yang berpotensi menimbulkan masalah kamtibmas dan melakukan pencegahan serta pembinaan secara dini agar potensi gangguan kamtibmas tersebut dapat diredam sebelum terjadi masalah besar” tegas Kapolda Sulut dalam presentasinya.

“Besar kemungkinan apabila Mapalus Kamtibmas ini bisa berjalan sesuai dengan koridor yang berlaku, koruptor-koruptor di tingkat desa bisa ditangkap melalui koordinasi dengan Kapolres setempat. Mana mungkin KPK bisa menangkap koruptor di tingkat desa dan kecamatan? “ ujar Kapolda Sulut, dalam kesempatan terpisah.

Dalam praktiknya, peranan perangkat desa/kabupaten dan kota sangat diandalkan mengingat esensi dari Mapalus Katibmas adalah mengangkat kearifan lokal mapalus yang sudah menjadi budaya khas masyarakat Sulawesi.

Jadi, Mapalus Kamtimbas itu esensi atau sensasi? Karena program itu baru saja dilaunching, maka marilah kita tunggu apa yang terjadi di kemudian hari dengan Kamtibmas bangsa ini (National Security) seiring dengan bergulirnya dari waktuke waktu hingga Pilpres 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun