Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dermaga

9 Desember 2011   02:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:39 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148317" align="aligncenter" width="622" caption="Ombak dan Karang"][/caption]

Lelaki setengah baya itu tampak kusut rambutnya. Rupanya lelaki itu baru saja bangun tidur. Lalu, dengan piyamanya yang masih menempel, ia berdiri dan berjalan lunglai mendekati jendela kamarnya. Ia tidak memperdulikan ranjangnya yang masih berantakan karena semalam ia tiduri. Tanpa berniat untuk merapihkan terlebih dahulu, lelaki itu kini duduk di jendela.

Dari jendela itu, sinar mentari pagi menyapu sebagian rona wajahnya. Tampakjelas, lelaki itu kurang tidur. Kerutan pada dahinya masih begitu tebal. Mencetak alur-alur hampa pada kegundahannya. Mungkin, semalam ia diterpa mimpi buruk sehingga wajah segarnya tak nampak lagi.

“Kabut putih lagi! Setiap kali aku bangun pagi, selalu berkabut” gumannya sambil menarik napas dalam-dalam, menatap keluar jendela.

Tatapan matanya menerawang jauh. Menembus kabut dan menerobos pohon-pohon hutan dari balik jendelanya. Lelaki separuh baya itu, diam. Tapi pikirannya berputar seperti putaran jam dinding yang terletak persis di muka ranjangnya. Ada sesuatu yang ingin ia katakan. Atau ada sesuatu ya ia pendam. Entalah, yang jelas lelaki itu selalu menyalahkan kabut pagi yang terlihat dari jedela hatinya.

***

Perkenalan dengan Adinda, gadis berambut lurus sedikit berombak hingga pundak, memang sudah lama. Sama-sama aktivis kampus dulu. Adinda seperti sekretaris. Secara formal organisasi, ia hanyalah aktivis tanpa menjabat apa-apa. Lelaki itu menyukai Adinda karena rajin mengikuti hampir semua acara yang ia siapkan. Kehadiran Dinda, demikian lelaki itu lebih suka menyebutnya, diakui memberi spirit tersendiri dalam setiap kiprahnya di kampus.

“Bagaimana kesan acara tadi, Dinda” Tanya lelaki itu kepada Dinda yang duduk di sampingnya

“Sayang partisipasi mahasiswa sekarang kurang. Agaknya diskusi panel tadi, bukan menjadi minat mereka”

“Mahasiswa ramai-ramai datang kalau ada showbiz.” Kata lelaki itu sambil memandang mata Dinda penuh harap. Dinda pun memadang mata elang lelaki itu, dan berusaha menutup rasa canggungnya dengan mengangguk-angguk kepalanya tanda setuju.

Kebiasaan berdiskusi dengan Dinda setelah selesai kegiatan kampus, membuat lelaki itu makin tidak canggung bergaul dengannya. Dinda pun menerima kehadiran lelaki itu dengan ramah dan bahkan sopan seperti kakaknya sendiri. Padahal Dinda, perempuan yang selalu menjaga tubuhnya dengan jogging pagi, adalah anak pertama dari tiga bersaudara.

Begitulah keakraban bercampur persahabatan bersemi di antara mereka. Hal itu berlangsung hingga mereka lulus dan bekerja di tempatnya masing-masing. Kesibukkannya, membuat komunikasi di antara mereka mulai jarang. Entah berada di mana Dinda sekarang. Sementara lelaki itu mulai menginjak separuh baya. Rambut putihnya mulai menghiasi di antara hitamnya rambut lurusnya.

***

Tiba-tiba handphone bordering, lelaki tua itu berdiri. Ia pun segera bangkit meninggalkan jendela pagi yang berkabut. Diraihnya handphone yang tergeletak di meja di sebelah kiri ranjangnya.

“Hallo”, kata lelaki itu.

“Apa saya berbicara dengan Daga?” terdengar lembut seorang perempuan dari hp-nya. Agak sedikit ragu, di dalam hatinya untuk melanjutkan pembicaraan itu. Tak ada orang yang memanggil lelaki itu dengan nama Daga, kecuali Dinda. Itu pun sudah hampir 20 tahun yang lalu ketika ia masih aktivis kampus.

“Hallo. Daga ya?” seru perempuan itu kembali bertanya.

“Ya ya ya. Siapa ya? Dinda?” kata lelaki itu lansung menebak lawan bicaranya.

“Betul Mas, saya Dinda. Apa kabar Mas? Baik-baik aja kan? Sekarang di mana Mas. Oh ya saya dapat nomer telpon ini dari teman kita sekampus dulu. Itu aja kebetulan ketemu di Mall. Sorry ya Mas, apa saya mengganggu?” bak rentetan peluru disemburkan lewat senjata otomatis, Dinda langsung nyerocos di hadapan Daga. Mungkin karena rasa kangennya membuat Dinda nyerocos begitu.

“Din, aku baik-baik saja. Sama seperti dulu.” Jawab Daga, lelaki separuh baya itu, kepada Dinda. Ia berharap kata-kata yang baru saja ia sampaikan dimengerti oleh Dinda. Sama seperti dulu, setiap katanya selalu mudah dimengerti Dinda, meski kadang menggunakan bahasa simbolis.

“Ah, yang bener aja Mas. Jadi belum kawin?Eh, belum berumah tangga? Beda dengan saya, anak saya sudah kelas 6 SD. Sebentar lagi masuk SMP.”

“Dinda, sorry saya potong, tadi nelpon saya ada apa ya?” Tanya Daga penuh penasaran.

“Iya Mas. Begini, saya nelpon Mas karena tadi malam saya bermimpi tentang Mas. Masih ingat Pantai Kuta?Tadi malam serasa kita berada di pantai itu. Deru ombak dan pasir pantai terdengar jelas seperti alunan musik klasik Mozart. Indah dan membuat gemetaran seluruh tubuhku. Tanganku terasa dingin sedingin memori kita.” Kata Dinda dengan nada datar.

“Lalu, maksudmu apa? “ Tanya Daga makin penasaran.

“Just, to tell you about my dream. Remember our song, “Because of You, Boyce Avenue, keyboard-piano acoustic”. Udah gitu aja ya Mas Daga. Saya udah lega bercerita ini. Suami dan anakku sudah nunggu di mobil, mau berangkat kerja dan sekalian antar anakku ke sekolah” setelah mengatakan itu, Dinda langsung menutup telponnya.

****

Daga atau nama lengkapnya Dermaga, berdiri termangu menatap jendela yang tadi ia duduki. Di luar kabut mulai menipis seiring dengan munculnya mentari pagi. Bersamaan dengan itu, pohon-pohon di dekat rumahnya makin jelas terlihat kokoh berdiri dengan angkuhnya. Kesejukan hawa pegunungan mulai menipis diganti dengan hangatnya sinar pagi.

Pantai Kuta. Begitulah Dinda mengingatkan sebuah memori kepada Daga. Mengingat kata itu, bulu kuduk Daga tiba-tiba berdiri meradang sama seperti ketika ia membuat sebuah puisi yang baru saja di upload di media sosial yang beranggotakan para jurnalis warga itu.

Puisi yang barusan selesai dibuatnya, judulnya “Nyanyian Ombak dan Karang”. Bagi Daga, puisi itu puis true story antara dia dengan Dinda yang sudah terjadi 20 tahun silam saat mereka sama-sama masih aktivis kampus.

Daga masih ingat peristiwa Pantai Kuta, seperti yang diceritakan Dinda dalam telpon tadi. Bahkan tadi malam ia pun bermimpi hal yang sama seperti mimpinya Dinda. Tentang indahnya musik Pantai Kuta yang membuatnya tidak bisa tidur nyenyak. Ditambah, rasa penasarannya, kenapa mimpi Dinda sama dengan mimpinya tadi malam. Kebetulan? Ah, masak. Sudah 20 tahun lebih tidak berkomunikasi kenapa mimpi Dinda sama dengan mimpiku semalam?

Pertanyaan itu makin membuat penasaran hatinya. Daga kemudian meletakkan kembali handphonenya di atas meja. Langkah kakinya kini mendekat lagi ke jendela. Di tariknya kursi lalu duduk di dekat jendela sambil memandang langit di luar yang mulai terang membiru ditinggal pergi kabut pagi.

Lamunannya tersentak ketika Daga mengingat kata-kata Dinda.

“Kalau nanti hamil bagaimana Mas?” tiba-tiba Dinda bertanya pada Daga ketika Daga mulai mendekatkan wajahnya ke wajah perempuan yang menganggapnya kakaknya sendiri.

Tersentak oleh kata-kata Dinda itu, Daga langsung diam seribu bahasa. Cuaca panas di ruangan itu tiba-tiba mendingin. Membekukan kasih sayangnya. Suara ombak pantai Kuta terdengar harmonis sekali seperti musik klasik Mozart yang menggelitik di setiap ruang batin para penggemarnya. Pergumulan hati Daga mulai berkecamuk, meski diredanya dengan isapan rokok putihnya. Daga pun duduk sendiri di teras memandang Pantai Kuta yang ramai dikunjungi wisatawan domestik dan asing.

***

Sejak itu, Daga ingin sekali menelpon Dinda. Tetapi selalu ragu. Rasanya ada yang menyumbat seluruh tenggorokannya hingga tidak bisa sedikit pun keluar kata. “Feeling guilty” mungkin itu kata yang tepat yang mau disampaikan kepada Dinda. Tetapi tidak hanya itu yang mau disampaikannya.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Daga membukanya dan seorang laki-laki berdandan rapih dengan senyum menggoda langsung mendekati Daga. Setelah saling berpelukan, harum wangi lelaki berpakain rapih itu tertinggal di dada Daga. Tak lama kemudian, mereka berdua pergi ke Café di pinggir kota untuk bercengkerama berdua.

Daga dan Boy, nama lelaki tadi, adalah sepasang kekasih yang sering menghabiskan malam di Café langganannya. Mereka asyik bersenda-gurau, sambil membasahi tenggorokannya dengan minum “float-beer” kesukaan Daga. Lagu “You are My Inspiration”menghangatkan suasana malam itu. Daga, sebenarnya ingin mengatakan kepada Dinda bahwa ia memang “sama seperti dulu”. Belum mau berumahtangga. Tapi semua itu tersimpan dalam ruang batinnya.

(Desember, 2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun