Sariawan termasuk penyakit mulut yang sangat saya benci. Sama bencinya dengan sakit gigi. Saking pilunya, kadang saya berfikir lebih sakit hati daripada sakit mulut itu.
"Sus, ada obat sariawan?" tanyaku pada Suster Ani yang bertugas di klinik sekolah.
"Sudah berapa hari pak?" Jawab Sus Ani sambil meletakkan kaca mata bacanya di atas meja kantornya yang penuh dengan data-data pasien.
Dalam hati, saya sedikit kesal. Minta obat kok ditanya sudah berapa hari. Harapan saya segera ditindaklanjuti secara medis. Alasan saya supaya tidak meninggalkan terlalu lama jam kerja kantor.
"Saya kasih obat vitamin C ya. Sariawan itu tanda tubuh memerlukan lebih banyak vitamin C" ujar Sus Ani sambil berjalan menuju lemari obat.
"Redoxon, punya nggak?" balas saya sedikit mendesak. Sus Ani saya lihat, menggelengkan kepalanya.
"Ya sudah. Vit C aja" jawab saya. Tak berapa lama vitamin C itu sudah berpindah dalam genggaman tangan saya.
Itulah pengalaman saya bagaimana saya berusaha mengobati sariawan saya yang berada di bawah gusi dekat bibir dalam saya.
Saya juga heran. Mengapa sariawan itu menjadi pelanggan hidup saya sama seperti flu? Ia bak teman hidup saya. Bukan teman yang membahagiakan tetapi membuat sengsara hidup ini. Menjengkelkan sekali.
Betapa tidak. Perut lapar, tapi gara-gara sariawan makan jadi tidak nyaman. Enaknya makan sirna. Rasa kulinernya setiap makanan jadi hambar karena sariawan yang mematikan cita rasa bumbu rempah setiap makan.
Tak hanya makan. Minum pun terganggu olehnya khususnya minuman bersoda dan sejenis es teler.
Saya juga terbuka terhadap masukan nasehat teman-teman saya soal pencegahan atau bagaimana "melenyapkan" luka sariawan di mulut saya.
"Coba makan makanan yang pedas. Atau basahi sariawanmu dengan air jeruk hangat. Dijamin cespleng" kata sahabat saya. Ada juga yang memberi saran pada saya supaya kumur-kumur dengan obat kumur (rasanya seperti pala) sehari tiga kali.
"Kalau mau cepat hilang tapi sakit sekali ada obatnya. Sekali lagi ini obat bikin perih sekali. Tapi setelah itu sembuh. Mau?" tantang sahabat saya.
Mendengar tantangannya dan rasa penasaran yang membuncah di hati karena ingin cepat-cepat sembuh dari sariawan, saya pun menganggukan kepala tanda setuju.
"Oleskan sariawanmu dengan obat luka yang namanya abothil. Tapi ingat ya rasanya akan pedih perih sesaat" kata sahabat saya sambil kembali mengingatkan resiko pengobatan dengan abothil.
Alih-alih sariawan itu bukan tanpa sebab berdiam di mulut saya. Biasanya sariawan muncul karena tergigit oleh gigi saya sendiri. Kok bisa? Kenapa tidak bisa. Lha saya mengunyah makanan dengan buru-buru dan kurang menikmati makanan yang sedang saya santap.
Buru-buru tanda saya sedang merisaukan sesuatu. Mencemaskan sesuatu secara psikologis termasuk gejala psikis yang kurang baik. Ketidakharmonisan antara pikiran hati dan emosi yang kemudian menimbulkan reflek tubuh dan sensor-sensor ritmis pengunyahan, menjadi penyebab banyak orang terkena sariawan.
Sebab lain juga karena panas dingin dalam tubuh karena perubahan cuaca sehingga tubuh khususnya mulut belum bisa beradaptasi dengan kondisi alam di mana kita berada. Semisal, di gunung yang dingin sekali atau di pantai yang panas terik.
Sebelum saya meninggalkan klinik sekolah, saya diminta untuk tanda tangan di log record riwayat kesehatan saya dan tanda terima obat. "Terima kasih Sus Ani" pamit saya dan melanjutkan pekerjaan saya yang terganggu oleh ketidaknyamanan mulut saya gara-gara mulut saya kena sariawan.
Sepulang dari kantor, saat di rumah, obat vit C saya minum. Abothil pun saya oleskan di luka sariawan saya. Dalam hati, saya pun takut efek samping yang nanti ditimbulkan ketika obat luka itu saya gunakan.
Inilah pengalaman sariawan saya selama ini. Terus terang saya belum pernah menggunakan Kuldon Sariawan produksi Kuldon Deltomed untuk menyembuhkan sariawan saya secara herbal. Lain kali kalau saya terkena sariawan (sekarang sih masih aman-aman saja) saya akan coba pakai Kuldon Sariawan yang herbalis.
Bagi saya, cara-cara penyembuhan sariawan yang saya share itu adalah pengobatan artifisial yang bersifat instan tanpa memperhatikan penyembuhan sariawan dari dalam tubuh sendiri atau kurang herbalis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H