[caption id="attachment_326940" align="aligncenter" width="600" caption="Gunung Berapi Karangetang (dok.pri)"][/caption]
Calaca memperhatikan langkah kakiku sejak turun dari mikrolet biru jurusan Malalayang. Kota Manado gerah. Butir-butir peluh mulai meluncur dari dahi. Langkahku sedikit melambat. Kuusap peluh dengan tisu supaya tidak membuat buram kaca mata plus yang kupakai.
Tiket VIP kapal cepat Express Bahari, sudah kupegang sejak kemarin. Untuk tiket itu, kurogoh kocekku sebesar 220 ribu satu kali jalan. Penumpang boleh pilih tiket kelas eksekutif atau ekonomi. Yang jelas Siau, Ibukota Kabupaten Sitaro (Siau Tanggulandang Biaro) adalah lompatan langkah kakiku yang perdana sejak berada di Sulawesi.
Ada dua jenis kapal yang melayani rute antarpulau di Sangihe. Kapal ferry dan kapal cepat. Aku memilih kapal cepat. Waktu tempuhnya, kurang lebih lima jam perjalanan dari Manado ke Siau. Begitu info yang aku dengar.
Gerahnya Manado terasa banget, hingga membasahi baju. Aku sudah duduk di dek ruang VIP kapal Express Bahari yang sejuk oleh AC. Terletak di belakang ruang nahkoda. Ruang sejuk berkapasitas 60 orang itu dilengkapi TV LCD 46 inchi.
Kulihat sedang memutar film cowboy. Penumpang dengan tujuan Tagulandang, Siau dan Tahuna sudah duduk di kursinya. Tayangan film cowboy menyedot perhatian para penumpang untuk tidak beranjak dari tempat duduk. Sementara aku sendiri masih bengong dengan suasana kapal merah. Kesan bersih, sejuk dan lega melintas di benak.
Calaca tak lagi memperhatikanku. Ia menatap kapal merah itu bergerak pelan tapi pasti. Kapal meninggalkan dirinya pukul sepuluh kurang lima belas menit. Tenang dan nyaris tak ada goncangan. Cuaca lagi cerah hingga laut tak ada alasan bergejolak. Aku bersyukur semua itu tidak membuat aku mabuk laut.
[caption id="attachment_326943" align="aligncenter" width="600" caption="Tagulandang (dok.pri)"]
Tagulandang
Pelabuhan Tagulandang ada di depan mata. Sekitar dua jam berlayar. Kapal merah itu singgah sejenak di Tagulandang. Beberapa penumpang yang turun sudah mendarat. Beberapa Warga Tagulandang masuk ke kapal merah. Mataku melihat pelabuhan itu tiba-tiba menjelma menjadi pasar kaget. Terjadi transaksional antarawarga dan penumpang.
"Om salaknya, cuma 25 ribu," teriak seorang Ibu ditujukan kepada para penumpang kapal. "Boleh 20 ribu?" tawar seorang Bapak. Ibu berkulit legam akhirnya merelakan salaknya dibeli.
Tagulandang terkenal dengan salaknya yang dagingnya tebal manis tapi berbiji kecil. Tak heran menjadi buruan penumpang kapal. Aku melihat beberapa ibu berdiri di samping gerobak dagangannya. Kulihat Ibu tadi berjualan juga nasi kuning, keripik tela, aqua, halua kenari. Selain para pedagang gerobak, aku lihat beberapa lelaki kekar menawarkan jasa angkut barang. Juga dengan gerobak angkutnya.
Kapal merah hanya sekitar15 menit di Tagulandang untuk sebuah pelayanan publik lewat jalur laut. Untuk sebuah pasar kaget yang sarat dengan jual-beli antara warga dan penumpang.
[caption id="attachment_326946" align="aligncenter" width="600" caption="Hulu Siau (dok.pri)"]
Hulu Siau
Pelabuhan Hulu Siau di Siau Timur menyambut kedatanganku dengan senyum. Ada dua kapal ferry lebih dulu berlabuh. Perjalanan dua jam dari Tagulandang tak terasa lama. Aku pun bersiap-siap untuk turun.
Inilah pertama kali aku menginjakkan kakiku di pulau penghasil Pala terbesar. Suasana ramai. Para penjemput berbaur dengan penumpang yang ingin pergi ke Tahuna. "Masih dua jam lagi kapal merah ini berlayar ke Tahuna," kata Tias, teman saya.
Mendekati kerumunan orang di pelabuhan, tukang ojek dan sopir angkot menawarkan jasanya. Aku dan Tias terus melangkahkan kaki. Melihat ada agen kapal di dekat pintu keluar pelabuhan, Tias mengajakku untuk beli tiket pulang untuk besok. Kami pun beli tiket kelas yang sama dengan harga yang sama.
Kata petugas, tak jauh dari pelabuhan ada hotel. Kami pun bergegas mencari hotel itu. Hanya sepuluh menit jalan kaki, kami sudah tiba di hotel. Kami ambil kamar twin bed dengan harga 350 ribu (tanpa breakfast). Kami pilih kamar yang punya view gunung berapi Karangetang daripada view laut.
Tak lama setelah meletakkan barang, kami langsung keluar hotel untuk jalan-jalan. Beruntung kami bisa sewa angkot yang mau mengantar jalan-jalan hingga ke Ondong, pusat pemerintahan Kabupaten Siau. Aku merogoh kocek 200 ribu untuk angkot yang kami gunakan.
[caption id="attachment_326944" align="aligncenter" width="600" caption="Pantai Ondong dan Gunung Karangetang (dok.pri)"]
Ondong Siau
Perjalanan dari Ulu Siau ke Ondong tidak terlalu jauh. Hanya sedikit ekstrim karena harus melalui aliran lahar Gunung Karangetang dan kontur jalan yang berkelak-kelok naik turun perbukitan dengan tikungan tajam yang ekstra hati-hati apabila bertemu dengan kendaraan lain.
Sepanjang jalan aku melihat pohon pala yang sedang berbuah lebat. Tak sedikit di pekarangan rumah, warga menjemur biji pala. Pala menjadi komoditi unggulan Siau selain buah kenari.
Ternyata Ondong berada di pantai sebelah Barat Siau. Jika sore tiba, tak sedikit wisatawan berburu sunset di pinggiran Pantai Ondong. Di situ aku mendapatkan spot untuk melihat Gunung Karangetang yang tak hentinya menyemburkan asap putihnya ke langit.
"Yang bahaya kalau gunung itu tak berasap. Bisa sewaktu-waktu meletus dan menimbulkan banjir bandang lahar vulkanik seperti 8 Desember 2009" cerita Deny, sopir angkot. Oleh BMG, status gunung berapi ini dinaikkan menjadi waspada. Namun status itu tidak membuat takut warga yang menambang pasir di aliran lahar.
Di Ondong aku puas memotret gunung berapi Karangetang yang sedang mengeluarkan asap vulkanik. Sejak tiba di Pulau Siau, gunung api ini seperti raksasa berbadan kekar hitam pemilik Siau. Raksasa ini rasanya mencibirku terus kemana langkahku melangkah. Beda dengan Gunung Tamata di sebelah Barat daya.
"Gunung api berhadapan dengan gunung air. Karangetang hadap muka dengan Tamata. Harmonis. Karangetang keluarkan lahar panas. Tamata keluarkan sumber air. Warga tak pernah mengeluhkan kekurangan air bersih," cerita Denny dalam perjalanan pulang ke hotel.
[caption id="attachment_326948" align="aligncenter" width="600" caption="Patung Pala di Ondong (dok.pri)"]
Objek Wisata
Siau memang membuat silau siapa saja yang ingin traveling. Mulai dari kapal cepat yang nyaman, hingga tatapan raksasa berbadan kekar hitam yang suka mencibir pendatang dengan asap vulkanik dari lubang bibirnya di puncak. Kadang di malam hari, pengunjung disuguhi semburan lava pijar yang eksotik.
Oh ya ada yang unik di Siau. Di rumah-rumah terdapat kuburan keluarga. Aku lihat kuburan beradadi samping, di depan, di belakang rumah. Bahkan ada yang menguburnya di dapur. Tergantung keluarga masing-masing. Ini bukan karena tidak ada lokasi pemakaman umum. Sudah adat kebiasaan orang Siau, demikian kisah Pak Andrey saat bertemu di depan gereja.
"Sebaiknya dua malam di Siau. Hari pertama menyusuri jalan mengelilingi keliling pulau. Hari kedua kunjungi permadian air panas di Lehi atau wisata kw danau Makalehi di pulau Makalehi. Yang tertartik snorkling bisa menyebrang ke Pulau Maharo," ujar Tias yang pernah di usia mudanya pergi ke Siau.
[caption id="attachment_326951" align="aligncenter" width="600" caption="View Dekat Pasar Hulu Siau (dok.pri)"]
Asa itu terkubur ketika kapal merah itu datang. Aku pun cepat-cepat berdiri dan melangkah kaki kembali ke Pulau Sulawesi. Tias pun seperti patah hati meninggalkan Siau. Pukul 12.30 wita kapal merah cepat itu menjauh dari Pelabuhan Hulu Siau.
Ini kisahku semalam di Siau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H