Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mendaki Kawah Tompaluan Gunung Lokon

30 Juli 2014   19:57 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:50 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_335666" align="alignnone" width="600" caption="Lubang Kawah Tompaluan Gunung Lokon (trilokon)"][/caption]

Truk Elf putih pembawa pasir batu, tiba-tiba berhenti di dekat saya. “Om pulang ke mana?” tanya sang sopir. Lalu saya jawab, “Pulang ke asrama Lokon” “Marjo naik” ajak sang sopir. “Mo antar kita kah?” jawab saya. Sang sopir mengangguk. Saya pun segera duduk di samping sopir. Siswa-siswa lain berdiri di bak truk.

Dalam perjalanan dari Galian C ke sekolah, saya bercerita bahwa baru pertama kali ini saya turun ke lubang kawah. Lalu Om Dapu, sang sopir, berkomentar “ Kalau bapolote (meletus) habis sudah. Mau lari ke mana, tak ada tempat berlindung”.

Ucapan Om Dopu memutar balik perjalanan “trekking” kami ke kawah Tompaluan yang baru saja saya lalukan bersama 30 siswa dan dua guru fisika. Kawah itu berada di antara gunung kembar Gunung Lokon (1.580 m dpl) dan Gunung Empung (1.340 m dpl) Tomohon. Dari pusat kota Tomohon, Gunung Lokon berjarak sekitar 5,3 km. Terakhir meletus 10 September 2013.

[caption id="attachment_335669" align="alignnone" width="600" caption="Laskar Lokon Berpose di Jalur Lahar (trilokon)"]

14066992201744335944
14066992201744335944
[/caption]

Selasa pagi (29/7) sehabis sarapan, saya ke asrama. “Siapa yang mau ikut naik ke Gunung Lokon” teriak saya di hadapan anak-anak asrama yang sedang liburan Lebaran dari Sabtu (26/7) hingga Minggu (3/8). “Ikut Bapa. Ikut Bapa” jawab mereka spontan. Di antara para siswa ada yang pernah mendaki hingga ke lubang. Saya berharap merekalah penunjuk jalan.

Sebenarnya, selain mengisi waktu liburan dengan kegiatan positif, tujuan saya adalah membiasakan mereka dalam kondisi sesuai dengan amanah Kurikulum 2013 (K-13) yaitu mengajak peserta didik untuk aktif dan mengalami materi pelajaran baik secara personal maupun berkelompok.Kali ini saya ingin mengajak mereka untuk mensyukuri alam ciptaan Tuhan berupa Gunung Lokon dan kawah Tompaluan yang masih mengepulkan asap putih belerangnya.

Pukul 08.15 kami mulai meninggalkan asrama. Moliu dan Octo siswa asal Papua menjadi pemandu kami. Mereka mengarahkan rute pendakian melalui sungai kering bekas aliran lahar. Kondisinya cukap enak dilalui karena berupa batu-batu memanjang dan bercampur pasir. Jadi, kami tidak perlu menyibakkan alang-alang setinggi manusia. Meski jalan pendakian kami anggap mulus, tapi lumayan juga melelahkan karena konturnya naik terus.

“Sebentar Bapa mo istirahat dulu. Masih jauh kah?” tanya saya kepada Moliu. “Kurang dari satu jam lagi. Tapi kalau tidak istirahat boleh perjalanan satu jam” jawab Moliu yang pernah mendaki. Saya istirahat sejenak minum air putih.

[caption id="attachment_335671" align="alignnone" width="600" caption="Ini Jalan Pendakian (triloon)"]

14066993041344337576
14066993041344337576
[/caption]

Kami berpapasan dengan tiga turis dan satu pemandu. Wajah-wajah kelelahan membuncah di raut wajah mereka. Ketika saya tanya dari mana asalnya dalam bahasa Inggris, mereka hanya berguman saja. Mungkin turis asing ini tidak pandai bahasa Inggris.

“Kawan kita sudah berhenti lima kali nih” ujar saya kepada beberapa siswa dan dua guru yang berdekatan dengan saya. “Bapa kalau trada berhenti torang so sampai Bapa” komentar Andre si kurus yang lincah. “Ah kau beking Bapa malu, Bapa kalau so rasa lelah pasti berhenti. Nggak main paksa. Ko tahu Bapa so tua?” jawab saya. Andre pun tersipu-sipu.

Langit biru cerah dan terik matahari masih terasa hangat di badan yang sudah berpeluh. Jam menunjuk pada angka 09.45 wita. Begitu melihat bibir kawah, tanpa di komando para siswa langsung berlari. Sementara saya dan Octo ditinggal begitu saja. Saya maklumi saja, karena saya berjalan lambat melawan kelelahan badan.

[caption id="attachment_335673" align="alignnone" width="600" caption="Panorama Minahasa dari Bibir Kawah Tompaluan (trilokon)"]

14066993661786934521
14066993661786934521
[/caption]

Tiba di pinggir kawah, mata saya langsung melihat sekeliling. Amazing Indonesia, batin saya. Sambil bediri tegap, saya melihat ke arah Timur. Gunung Mahawu, Minahasa Induk, Danau Tondano, Kota Tomohon sambung menyambung menjadi satu panorama alam yang mempesona. Sementara di sebelah kiri saya berdiri, Gunung Empung seperti pasang badan menjaga lubang kawah Tompaluan dari setiap letusan.

Dengan memutar badan dan sekaligus mata tertuju pada lubang kawah Tompaluan, saya bersyukur asap sulfur kawah tampak tipis saja. Bau beleran g pun tak memancar ke mana-mana hingga tak menganggu pernapasan. Lalu, kepala mendongak ke atas dan menatap puncak Gunung Lokon yang tampak tegap. Berada di dekatnya, saya menggambarkan Gunung Lokon itu seperti raksasa dengan perutnya yang sedang terluka mengeluarkan bau busuk belerang. Kawah Tompaluan itu memang berada di perut Gunung Lokon. Bukan di puncak seperti gunung-gunung berapi lainnya.

[caption id="attachment_335675" align="alignnone" width="600" caption="Jelang Sampai Kawah (trilokon)"]

1406699460356055588
1406699460356055588
[/caption]

[caption id="attachment_335677" align="alignnone" width="600" caption="Mendekati Lubang Kawah Tompaluan (trilokon)"]

14066996582079394256
14066996582079394256
[/caption]

Batu-batu besar, bebatuan kecil dan pasir vulkanik abu-abu gelap menjadi hamparan kering. Tak ada tanaman tumbuh di area sekitar bibir kawah. Teriknya matahari, membuat padang bebatuan sekitar kawah itu seperti berada di dunia lain.

Sepasang muda-mudi terlihat sedang asyik menikmati suasana dengan berfoto. Kawah Tompaluan dalam kondisi sekarang ini memang menarik dikunjungi terlepas dari bahaya letusan. Apabila kondisi sedang “batuk” alias statusnya siaga berwaspada, tentu kami dilarang mendaki oleh petugas. Hanya sejak tadi saya belum berjumpa dengan petugas penjaga gunung. Justru saya berpapasan dengan pendaki dari Manado dan Jerman.

[caption id="attachment_335676" align="alignnone" width="600" caption="Berfoto dengan turis asal German (trilokon)"]

1406699543306535301
1406699543306535301
[/caption]

Mendaki Gunung Lokon tepatnya melihat kawah Tompaluan, sangat berarti bagi saya. Gunung Lokon yang sering diberitakan heboh karena letusan dan hujan abunya hingga sampai di bandara, ternyata lubangnya tidak terlalu besar. Saya sempat melihat air hijau tosca dalam kawah dan sesekali mengeluarkan asap belerangnya, namun diameter lubangnya saya mengira hanya sekitar 100 meter lebarnya.

[caption id="attachment_335678" align="alignnone" width="600" caption="Ekspresi Kegembiraan Laskar Lokon (trilokon)"]

14066997481422035591
14066997481422035591
[/caption]

“Makase ya Om, torang so diantar sampai di muka pintu masuk” ujar saya kepada Om Dopu. Tanpa dia, saya harus berjalan kurang lebih 30 menit dari Galian hingga ke asrama. Kami tiba di asrama pukul 13.00 wita. Ya sekitar 6 jam perjalanan santai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun