Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ini Caranya Desa Tenganan Lestarikan Adat dan Wisatanya

3 Januari 2015   13:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:54 648
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_362886" align="aligncenter" width="600" caption="Pintu Rumah dan Informasi Wisata (dokpri)"]

14202408601005766048
14202408601005766048
[/caption]

Kain Gringsing, produk lokal, adalah kain mahal yang diburu oleh wisatawan. Bila dibandingkan dengan kain soket atau batik, kain Gringsing ini permukaannya kasar dan berpola tetap. Harga per kainnya mulai dari 500 ribu hingga mencapai 20 juta. Saya terkejut mendengar mahalnya kain Gringsing. Namun, setelah mengetahui bagaimana proses pembuatannya yang susah, ribet dan unik, harga mahal itu ya wajarlah.

Teknik dobel ikat dan ditenun 2 hingga 5 tahun menjadi salah satu alasan mahalnya kain tenun Gringsing. Tak hanya itu. Konon, Dewi Indra, sebagai pelindung dan guru kehidupan warga Tenganan, sangat menyukai keindahan langit Tenganan dan menuangkannya dalam motif kain tenun. Kain Gringsing juga memiliki kekuatan magis yang bisa dipakai untuk tolak bala. Lebih mengejutkan lagi, pewarnaan kain Gringsing dulu menggunakan darah manusia, namun kini diganti dengan pewarna dari pohon asli bukan pewarna kimia.

[caption id="attachment_362887" align="aligncenter" width="600" caption="Ini Kain Tenun Gringsing (dokpri)"]

1420240964749688387
1420240964749688387
[/caption]

[caption id="attachment_362888" align="aligncenter" width="600" caption="Alat Tenun Manual Tradisional (dokpri)"]

14202410381924724622
14202410381924724622
[/caption]


Sebelum bertemu dengan pak Nyoman, teman saya mengajak untuk melihat salah satu toko warga yang menjual aneka kain tenun, ata basket, patung-patung kayu dan batu dan souvenir lainnya. Memasuki toko, aroma dupa sejaji menyerbak menyambut kedatangan kami. Itulah mata pencaharian warga di samping bertani padi. Saya lihat wisatawan asing sedang melihat-lihat kain tenun yang dipajang dalam terlibat dalam percakapan.

Toko dan sekaligus rumah keluarga, saya tinggalkan. Kaki melangkah ke rumah pak Nyoman, kenalan teman saya. Tak jauh dari toko tadi kami sudah di rumah pak Nyoman. Saat kami tiba, pak Nyoman dan istrinya sedang melayani tamu yang datang dari Jawa Timur. Setelah bertutur sapa salam, pak Nyoman kemudian berkisah sambil mengantar kami jalan keliling kampung.

"Dulu sewaktu saya kawin, saya tidak punya tanah untuk bangun rumah. Oleh adat kami diberi tanah secara gratis. Ukurannya lumayan besar untuk ruang tamu, pawon dan ruang tinggal. Adat melarang saya untuk kawin dengan orang luar desa. Apabila dilanggar, saya rela diusir dari desa dan orangtua terkena hukuman berupa sanksi administrasi sebesar biaya adat perkawinan. Istri saya ini tetangga saya" kisah pak Nyoman.

[caption id="attachment_362889" align="aligncenter" width="600" caption="Pak Nyoman dan Pandan Duri (dokpri)"]

1420241145998584762
1420241145998584762
[/caption]

[caption id="attachment_362890" align="aligncenter" width="600" caption="Repro Perang Pandan (dokpri)"]

14202412031039759133
14202412031039759133
[/caption]

Kami jalan-jalan mengeliling desa adat Tenganan. Tiba-tiba pak Nyoman berhenti. "Ini pandan berduri yang digunakan dalam adat mageret pandan atau perang pandan. Perhatikan duri pandannya. Mereka akan saling sayat saat menyabet punggung lawan dengan menggunakan duri pandan ini" cerita pak Nyoman berkobar-kobar sebagaimana dia pernah terlibat dalam perang pandan. Biasanya perang pandan dilaksanakan setiap bulan Juli. Tujuan perang tak lain untuk melatih mental dan fisik pemuda yang nantinya bakal calon pemimpin desa.

Sambil keliling desa, pak Nyoman, yang sering ikut pameran widata mewakili desanya, bercerita tentang kearifan lokal warganya. "Pola hidup warga berdasarkan gotong royong. Misalnya kalau ada warga yang punya hajatan perkawinan, balai desa ini boleh dipakai untuk dapur dan warga lain ikut membantu masak" ujar pak Nyoman. Balai desa itu saya perhatikan seksama. Ukurannya kira-kira 10x10 m dan tersedia gazebo-gazebo serta alat-alat masak yang lengkap beserta tungkunya. Pak Nyoman bilang warga yang memakai wajib isi kas desa

[caption id="attachment_362892" align="aligncenter" width="600" caption="Balai Desa untuk gelaran acara (dokpri)"]

14202413011900101826
14202413011900101826
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun