Fajar menyingsing, bukan membawa cahaya mentari, melainkan bayang-bayang keraguan. Di balik tirai pagi, segerombolan orang bergerak diam-diam, bagaikan ninja politik, menyusup ke rumah-rumah warga.Â
Misi mereka? Bukan menebar benih kebaikan, melainkan menyebarkan "serangan fajar": amunisi politik uang yang siap menodai demokrasi.
Serangan fajar, sebuah istilah yang akrab di telinga masyarakat Indonesia, menjelma menjadi momok dalam setiap perhelatan demokrasi. Ibarat virus mematikan, ia menggerogoti nilai-nilai luhur demokrasi, mereduksi suara rakyat menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Bentuknya bermacam-macam. Uang tunai, sembako, voucher belanja, hingga janji-janji manis, semua dikerahkan untuk memikat hati dan suara para pemilih.Â
Tak jarang, serangan fajar dibungkus dengan kedok bakti sosial atau kegiatan keagamaan, seolah-olah si pemberi adalah pahlawan kesiangan yang tanpa pamrih.
Di balik tirai kemurahan hati semu ini, tersembunyi agenda terselubung. Politik uang, dalang di balik serangan fajar, bertujuan untuk memanipulasi suara rakyat, mengantarkan kandidat tertentu ke kursi kekuasaan, bukan berdasarkan kapabilitas, melainkan atas dasar kekuatan finansial.
Dampak serangan fajar tak hanya sebatas pada individu. Demokrasi secara keseluruhan terancam terjerumus ke dalam jurang kemunduran. Suara rakyat yang seharusnya menjadi penentu arah bangsa, direduksi menjadi komoditas yang diperjualbelikan.
Pemilih dihadapkan pada dua pilihan: menerima godaan sesaat atau menjunjung tinggi nilai demokrasi. Dilema ini tak mudah dipecahkan.Â
Di satu sisi, kebutuhan ekonomi yang mendesak dapat mendorong seseorang untuk menerima serangan fajar. Di sisi lain, suara hati dan kesadaran akan pentingnya demokrasi yang bersih dan adil, berkecamuk dalam batin.
Menerima serangan fajar sama artinya dengan menjerumuskan diri ke dalam lingkaran setan politik uang. Uang yang diterima hari ini, akan menagih harga yang jauh lebih mahal di masa depan.Â